" Kalau masih ingin menjadi istriku, jangan pernah menagisi anak itu di hadapanku..., kalau dia anak kita, dia pasti mendengarkan kita. Bukan orang lain...", ujarnya lalu meninggalkanku. Sejak itu putriku tak pernah kembali, ia memang tak akan bisa kembali karena suamiku sama sekali tidak mencarinya. Meski kami tahu yang membawa putri kami adalah Lakman, namun ia nampak membiarkan putri kami pergi tanpa syarat.
Â
Kini sepuluh tahun tlah berlalu, Lakman meninggal. Ia jatuh dari pohon kelapa ketika akan memetik kelapa muda untuk istrinya, putriku yang sedang hamil tua. Kudengar putriku pingsan ketika mendapati suaminya tak bernyawa lagi. Duka putriku semakin menjadi, setelah ia dibawa pergi dari rumah ini. Hanya Lakman yang setia menyediakan cinta tak ternilai untuk membuatnya tetap hidup. Meski aku tetap menyayanginya seperti sediakala, namun aku tak sanggup ada di dekatnya seperti saat pertama ia kulahirkan ke dunia ini. Aku tak bisa memeluknya, tak bisa menepis ketakutannya, tak bisa meredakan tangisnya. Iya, kini aku hanya seorang wanita tua yang tak sanggup memperlihatkan cintaku pada putriku.
Â
Hanya pada Lakman, aku menitipkan cintaku pada putriku. Karena cintanya adalah cinta yang dikumandangkan alam pada semesta yang agung. Dan kini menantuku telah pergi menghadap Tuhan setelah berjuang membahagiakan putriku. Ya, ia pergi dengan ketegaran cintanya pada putriku. Harapanku kini kembali pada suamiku, setelah Lakman meninggal semoga ia mau memanggil putri kami kembali, meski kurasa itu hanya igauan laluku semata. Kembali dalam pangkuan rindukuku yang alam.
Â
***
Â
Daun jendela muda.
Â
Suamiku kini telah menghadap sang Maha cinta. Ia tinggalkan ketegarannya untuk mengembalikan aku pada ama dan ena. Malam ketika keesokannya ia akan pergi, banyak dendangan pilu yang ia nyanyikan pada perutku yang kini membuncit.