Daun jendela  muda.
Setiap kali pandangan mataku merebah ke luar lewat jendela kamarku, mataku lurus menusuk apa saja yang akan mengahalangi tatapanku pada daun jendela tua di ujung timur rumahku. Posisi jendela itu nampak beruban, karena cat pliturnya tlah kandas ditelan hujan dan panas bergantian. Tak hanya itu, dari kejauhan daun jendela itu seperti menderita farises, karena tampak rayap-rayap senang bercinta pada dindingnya hingga membuat baris-baris jalan. Daun jendela itu lebih sering diam membisu tanpa tawa seperti dulu. Hanya sesekali dalam setahun ama[1] atau ena[2] akan membukanya, itu pun hanya sebentar. Kini ia kehilangan cerianya sejak aku melangkahinya sepuluh tahun yang lalu. Setiap hari aku selalu menyempatkan diri berlama-lama memandang ke arahnya, siapa tahu aku beruntung. Siapa tahu ama dan ena sedang ingin membersihkan kamar itu dan aku dapat melihat wajah tua mereka. Sayang, usia tahun ini sudah hampir penuh, namun daun jendela tua itu tak juga terbuka. Dan senja ini harus tetap kututup dengan kecewa dan doa.
Â
***
Â
Daun jendela tua.
Sepuluh tahun lalu kutemukan sebuah cincin terbungkus rapi dalam sapu tangan berenda warna biru langit. Saat aku sedang duduk di atas tempat tidur anak gadisku, tiba-tiba terdengar siulan dan tak lama kemudian sapu tangan itu jatuh tepat di bawah jendela kamar. Hari itu aku mulai menyadari bahwa putriku telah menjalin asmara dengan seorang laki-laki, namun sayang aku tak sempat tahu siapa laki-laki itu. Setelah beberapa menit Lina, putriku masuk dengan tergesa-gesa hingga ia sadar aku ada di kamarnya. Pandangan matanya menuju jendela lalu melihat-lihat keluar. Ia mencari sesuatu. Ya, sesuatu yang ada di tanganku. Lama mencari-cari akhirnya anak gadisku itu membalikkan badan, ia kaget melihatku menyulam di atas tempat tidurnya.
" En[3]...," ungkapnya lirih dalam bahasa dawan.
Aku menyadari kecurigaannya tetap khusuk menyulam sambil menunggu apa yang akan dilakukannya. Beberapa lama ia tampak gelisah. Â Kedua tangannya sibuk menghardik ujung kebaya merah muda yang ia kenakan.Â
" En, ajari saya buat lesu[4],"
" Iya, besok pagi siapkan kain dan benang, nanti ena ajarkan motif  yang sama seperti punya ama".