Kini di era disrupsi, perubahan-perubahan sosial tidak lagi mesti berlangsung alamiah, karena masifnya perkembangan teknologi seperti memaksa banyak aspek kehidupan untuk berubah. Perubahan itu bisa jadi tak melulu positif, ekses negatifnya pun mulai dicemaskan sejumlah kalangan.Â
Dalam kaitan perubahan agama misalnya, hasil Tanwir Muhammadiyah Tahun 2018 di Bengkulu sudah menyoroti hal fenomena beragama yang hari ini banyak menggejala, terlebih di jagad maya. Disebutkan, perubahan agama pada era disrupsi akan mengarah pada empat hal.Â
Pertama, komodifikasi agama, yakni ketika agama menjelma menjadi komoditas bisnis.Â
Kedua, over spiritualitas, di manaa segalaa praktik kehidupan "dipaksakan" masuk ranah spiritual. Mungkin semisl wisata ziarah dan umroh yang dilakukaan berkali-kali.
Ketiga, politisasi agama, yakni saat agama dijadikan alat politik. Dan dampaknya adalah poin keempat, yakni polarisasi, masyarakat dibuat terpecah karena perbedaan praktik keberagamaan.Â
Kita mungkin menjadi lebih familiar dengan jargon minhum (mereka) daripada minna (kami). Sebagaimana kita jumpai gejalanya dewasa ini, cara beragama yang terpolarisasi ini menjadikan antar kita diliputi ketegangan. Padahal, seperti sering disentil Gus Baha, beragama semestinya menggembirakan.Â
Tetapi polarisasi telah menciptakan jarak kami dan mereka, dan pada akhirnya kita berpotensi asal beda dan tercerabut dari akar keilmuan. "Sebetulnya masalah kita ini tercerabut dari ilmu. Coba dari awal Anda katakan yang tidak qunut itu Abu Hanifah, yang qunut itu Imam Syafii. Maka melihat orang tidak qunut itu keren karena pengikut madzhan Hanafi. Yang qunut juga keren, karena pengikut Imam Syafii. Tapi kita ndak, di zaman akhir yang qunut dan tidak qunut ini jadi politik identitas. Sehingga yang nggak qunut itu Muhammadiyah misalnya, yang qunut itu NU..." begitu kurang lebih sentilan Gus Baha dalam sebuah ceramahnya di hadapan santri Krapyak. Wallahu a'lam. []