Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mas, Emak Sudah Siuman

14 Juni 2019   21:40 Diperbarui: 14 Juni 2019   21:42 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://img.kitabisa.cc/ 

"Mas, bisa pulang nggak? Emak dari sore nggak sadar, katanya koma," kata adikku di ujung ponsel.

Selama hampir sebulan ini, Emak hanya terbaring di rumah sakit. Aku baru pekan lalu pulang ke rumah istri di Pekalongan setelah tiga minggu menemani Emak di sebuah rumah sakit pemerintah di Tegal.

Aku pusing memikirkan kondisinya. Sebab, Emak masuk ke rumah sakit sebetulnya bukan lantaran sakit serius. Dia hanya menjalani operasi ambeien, karena benjolannya semakin membesar. Itupun setelah setengah kupaksa agar dioperasi. Karena benjolan itu cukup mengganggu proses BAB nya. Tetapi saat masuk rumah sakit, Emak memang kondisinya sehat dan bugar.

Masalah muncul saat dokter menyatakan proses operasi belum bisa dilakukan karena kadar HB Emak yang rendah. Atas saran dokter pula, Emak diminta tetap di rumah sakit sambil mengupayakan penambahan HB. Kami, anak-anaknya pun bergantian menyiapkan menu makan terbaik untuk menggenjot HB Emak. Tak terkecuali suplemen-suplemen macam sari kurma dan lainnya.

Tapi, satu minggu berlalu, HB Emak memang mengalami kenaikan. Sayangnya, volumenya masih belum memenuhi ambang batas untuk menjalani operasi. Emak pun mulai tertekan. Situasi ruangan di mana Emak dirawat ikut menambah pikiran. Pasien silih bergenti, keluar masuk. Yang sakitnya membaik pamit pulang. Di sisi lain, ada pasien yang mengeluhkan sakitnya ke Emak. Ada juga yang berteriak kesakitan di malam hari karena tak tahan sakitnya. Besoknya, di pasien dimaksud tak lagi terdengar suaranya. Oleh tetangga kamar, Emak diberitahu kalau lelaki penderita Diabetes Melitus itu sudah meninggal. Dan banyak kisah-kisah sejenis yang lalu lalang di hadapan emak.

Minggu kedua berlalu, kondisi Emak pun drop. Tubuhnya menyusut, karena mulai sering tak bernafsu makan. Mungkin benar kata orang, kondisi pikiran memang amat menentukan proses penyembuhan. Emak yang datang ke rumah sakit dengan fit, kini justru melemah.

Hingga Minggu ketiga berlalu. Kondisi Emak kian memburuk. Tubuhnya benar-benar mengurus, karena sulit sekali diasupi makanan. Aku sebetulnya ingin lebih lama menemani Emak, tetapi apalah daya, sudah terlalu lama aku bekerja jarak jauh. Pimpinan kantor mulai mengingatkan. Dengan berat hati, akupun kembali ke Pekalongan, meninggalkan Emak yang kian susah makan. Dan seminggu setelah aku bekerja normal, kabar Emak yang koma masuk lewat ponsel.

***

SEMUA tahu, aku tak terlalu intim dengan Emak. Dibanding empat anak-anaknya yang lain, Emak paling segan terhadapku. Entah, sebab pastinya aku tak tahu. Mungkin seperti pembawaan sejak kecil, aku memang amat sulit berbasa basi, terlebih terhadap orang yang aku tak cocok.

Atau, mungkin juga karena aku anak paling rewel dengan Emak. Bukan rewel manja, tapi sering menyampaikan uneg-uneg setiap kali tak cocok dengan perilaku Emak.. Yang jelas, karena kebiasaanku berpendapat berbeda itu membuat Emak dianggap segan denganku.

Ini situasi yang simalakama. Satu sisi, saat dua kakak dan dua adikku kesulitan menasehati Emak tentang suatu hal yang kurang baik, akulah yang diajukan. Karena omonganku dianggap efektif. Tetapi di sisi lain, hubunganku dengan Emak menjadi terasa kurang hangat. Entahlah, apakah ini hanya perasaanku saja atau seperti apa. Sebab, tak jarang juga Emak menanyakan kabarku melalui adikku, yang memang tinggal serumah dengan Emak.

"Mas, ditanyain Emak, kapan pulangnya," begitu pesan yang sering disampaikan adik lewat ponsel.

***

Aku menutup telepon sambil menitikkan air mata. Membayangkan Emak, satu-satunya orang tua kami tersisa, kini terbaring lemah tanpa kesadaran. Sore itu, aku terpaksa tak berangkat ke kantor, izin pulang ke Tegal. "Yang sabar ya Yah. Jangan lupa, beri sugesti ke Emak agar bertahan dari koma dan lekas siuman. Bisikan pesan-pesan yang membuatnya optimis dan bangkit," pesan istri melepasku pulang.

Selepas Maghrib, aku sampai di rumah sakit. Setelah ngobrol sebentar dengan adikku, akupun langsung memeluk Emak. Secara fisik, Emak mungkin tak terjaga. Tetapi kami memiliki hati dan pikiran untuk berkomunikasi. Setidaknya, itulah keyakinanku, seperti juga dipesankan istriku.

"Emak, ini Akhmad. Aku sudah di sini. Emak dapat salam dari Diela (istriku). Tadi Sayeva juga titip salam kangen loh untuk Emak. Katanya Sayeva pengen main ke Mbah, tapi Mbah harus sehat dulu. Sehat ya Mak,"

Pesan itu beberapa kali kuulang. Emak belum juga merespon. Dia seperti tertidur lelap dengan sedikit dengkuran. Tapi aku tak berhenti membisikan semangat ke Emak, sesekali bergantian dengan adikku.

"Oiya Mak, sebentar lagi kan Hari Raya Qurban, Emak nanti ikut kurban ya. Nanti aku belikan kambing buat Emak," itu pesan terakhirku sebelum ikut terlelap di samping Emak.

Aku terbangun oleh tepukan tangan adikku di bahu. Adzan subuh berkumandang. Aku meninggalkan Emak yang masih tak sadarkan diri. Selepas shalat, aku berdoa cukup lama, sampai suara adikku yang ngos-ngosan menghampiriku. "Mas, Emak sudah siuman, Emak sudah bangun. Emak nyari Mas Akhmad, ayo," kata adikku terbata-bata.

Spontan aku bersujud. "Terima kasih ya Allah, Kau masih memberiku kesempatan berbakti. Bantulah aku, pantaskanlah aku menjadi anak yang berbakti dengan segala kekuranganku". []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun