Mohon tunggu...
Syakirun Ni'am
Syakirun Ni'am Mohon Tunggu... Pelajar -

Saya Sudrun adalah nama pena dari Syakirun Ni'am. Sempat aktif di majalah sekolah dan pernah menjadi penyiar radio El Ihya FM, salah satu radio komunitas di Cilacap. Saat ini tengah menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Ilmu Komunikasi kelas C (Caffeine Class)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ongkos Jahat Izin Mengemudi

8 November 2015   19:13 Diperbarui: 9 November 2015   00:50 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada hari ketika kami hendak pulang,  teman Saya mengatakan akan membuat artikel tentang “Tilangan Merajalela, Membuat SIM Dipersulit” . Sedangkan PM pada BBM saya berbunyi : “Di republik Jancukers, polisi dan tilangannya itu MITOS!!”.

Memang tidak lebih dari sebuah banyolan yang biasa Saya buat. Tapi, bagi Saya tulisan itu bukan sekadar ‘guyon’. Mungkin lebih tepat jika ‘polisi dzolim dan tilangannya'. Dan republik Jancukers ada, menurut Saya, antara lain karena kekecewaan terhadap dunia paradoks ini dan segala kepincangan nalar sosialnya. Pertama kecewa, selanjutnya menjawab permasalahan  dengan budaya.  Sehingga, apa yang ada disana merupakan kritik  bagi dunia yang kita tinggali. Lalu, apa masalahnya jika yang mengatakan adalah saya, manusia pribrumi republik Jancukers, bukannya Sujiwo Tejo, presiden kami?

Jika di Indonesia, tentulah itu menjadi soal. Tapi tidak demikian di Canada. Suatu ketika, Sabrang atau Noe Letto,  putra pertama budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sedang kuliah di sana, diminta untuk pindah kuliah di Indonesia karena suatu alasan. Tapi Sabrang menolak pindah kuliah ke Indonesia. Alasannya, di Indonesia, kita harus jadi orang lebih dulu, baru didengar. Tapi, di Canada, kita didengar dulu, baru jadi orang. Itulah salah satu bukti kepincangan nalar sosial kita.

Setelah UTS semester inilah Saya dan teman Saya yang masih satu kabupaten memutuskan untuk pulang bersama menggunakan motor miliknya. Sementara itu, di luar sana Operasi Zebra  sedang berlangsung. Masalahnya, tujuan teman saya pulang adalah untuk membuat SIM. Cegatan rame-rame itu berlangsung dimana-mana. Maka, jadilah kami kucing-kucingan dengan mereka.

Memang, operasi tersebut bukanlah sesuatu yang salah. Dengan dalih menertibkan, mengamankan, dan sebagainya, tentu dibenarkan. Seperti yang kita tahu, salah satu bentuk penertiban itu adalah dengan mengecek surat-surat seperti SIM dan STNK. Sebelumnya, mari kita tarik mundur dulu pada seperti apa fenomena pembuatan SIM itu. Sebab disana sangat menggelitik diri Saya pribadi, yang akhirnya, muncul pertanyaan “Apa bedannya orang yang sudah punya SIM dan belum?”

Untuk membuat SIM, kita terlebih dahulu menjalani beberapa tes seperti mengendarai motor pada medan zig-zag, tes warna, dan lainnya. Pembuatan SIM dengan ‘jalan ini’, kita hanya harus membayar uang yang tidak terbilang banyak. Tapi, menurut pengakuan tidak sedikit orang, tes itu sulit. Sangat sulit. Kebanyakan dari mereka tidak lulus. Akhirnya mereka merasa dipersulit.


Hal yang tidak begitu berbeda juga terjadi pada beberapa lembaga seperti, ketika kita membuat KTP di Kecamatan. Beberapa orang mengaku untuk mendapatkan KTP mereka jadi, mereka perlu menunggu sampai beberapa hari. Padahal, untuk mencetak tidaklah membutuhkan waktu yang lama. Dengan bukti, beberapa orang yang masih kolega bisa dengan cepat mendapatkan kartu tersebut. Fenomena tersebut tidak lain adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Walhasil, karena terdesak agar aman dari tilang dan sebagainya, mereka memilih  ‘Jalan lain’ untuk membuat SIM. Yakni  dengan membayar “ongkos jahat”  dengan nilai sekitar 500 ribu. Itu untuk daerah Saya. Daerah lain mungkin berbeda. Tidak perlu tes dan menunggu lama. Satu hari langsung jadi. 'Jalan lain’ ini telah menjadi rahasia umum. Aduh, bahkan agak lucu jika desebut rahasia.  Dengan cara inilah teman saya mendapatkan SIM. Tidak hanya teman saya yang ini, yang itu, yang disana, yang disini. Ibu dan Kakak saya juga. Dimana-mana yang mengaku bayar ongkos jahat. Bahkan mungkin besok Saya pun begitu. Apa ini namanya kalau bukan penyuapan?

Entahlah. Jika saja untuk mendapatkan SIM tidak dipersulit seperti itu, tentulah lebih banyak orang yang tidak memilih jalan kotor ini. Sehingga, orang yang tertilang karena tidak punya SIM, pantas kita katakan diperas. Memang dipersulit. Lubang yang X ditutup agar air mengalir lewat lubang Y, itu analoginya.

Abraham Samad, yang kini tengah terjerat kasus yang sangat syarat politis, seperti yang telah kita tahu merupakan puncak Cicak V.S. Buaya, pernah mengatakan yang intinya, ketika kita kena tilang kita tidak menyuap saja, merupakan tindak pencegahan korupsi. Tapi bagaimana lagi, Samad, kami dibuat untuk melakukan penyuapan.

Ya, begitulah, pembaca. Sang Pengayom Rakyat, ternyata paling korup nomor dua di negara ini. Emha pernah bilang, di Indonesia, kucing mau dibayar untuk jadi tikus. Pada akhirnya bisa saya simpulkan, perbedaan tipis orang yang punya SIM dan tidak itu setipis lima lembar uang bergambar Bung Karno, sang penyambung lidah rakyat. Mengesankan, bukan? Masih begitu kok ada SE hate speech?

Heuheu

Salam!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun