Mohon tunggu...
Novita Nurfiana
Novita Nurfiana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Eccedentesiast, ichthyophobia, gamophobic, Cynophobic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gemala

18 Juni 2014   18:54 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:14 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Pada akhirnya, selalu akan ada tiga sisi cerita, ceritamu, ceritaku, dan kebenaran itu sendiri – anonym-“

Aku ingin seperti Gemala, dia bisa menentukan kapan dia akan pulang ke rumah Tuhan, apa saat mentari panas memanggang bumi, atau seperti hari itu, saat kami menemukan tubuhnya menggelung di di atas kasur dengan mulut dipenuhi buih dan beberapa butir obat tidur di telapak tangannya, hari di mana cendawan raksasa memayungi bumi, menutupi sinar surya membuat angin berhembus lembut menggelitik anak rambut di tengkukku.

Hari itu bumi serasa bergoyang di bawah kakiku, hidupku serasa meluruh, bersatu dengan telapak kakiku, tapi anehnya , aku tidak menangis. Atau mungkin aku menangis, namun tanpa suara dan isak tertahan. Kuperintahkan beberapa pekerja di rumahku untuk membantuku membenarkan posisi tubuh Gemala, dengan perlahan seolah takut membangunkan tidur abadinya. Kubelai perlahan anak rambut di pelipisnya setelah kami membenarkan posisi tubuhnya.

Tidak ada waktu untuk menangis, tidak ada waktu untuk berduka, setidaknya bagiku, karena semuanya lumpuh, Ayah hanya terus membacakan yasin di samping jenazah, Ibu masih meraung di sambil memeluk tubuh Gemala, sedangkan Eka, aku tidak bisa menemukannya di manapun. Aku sibuk memberikan instruksi kesana kemari kepada semua asisten rumah tangga Ibu, sungguh hari yang melelahkan.

Kutemukan Eka duduk termangu di ruang kerja Ayah, dihadapannya semua album foto kami sekeluarga, kuhampiri dia, kutarik kursi agar aku bisa duduk di sampingnya. Kuusap lembut punggung abangku tercinta itu, sambil terus menatapnya yang lunglai di depan sebuah album foto, foto hari ulang tahun Gemala yang kelima.

Keluarga ini sudah rusak dari awalnya Tari.” Katanya membuka percakapan denganku.

“Semuanya sedang membaca yasin di luar Ka, kenapa justru menyepi di sini.” Jawabku membelokkan arah pembicaraannya.

“Keluarga ini sudah meranggas sejak awal, kita semua terlalu pintar bersandiwara, itu yang membuat kita tetap bertahan.”

“Kenapa kau menganggap kita pintar bersandiwara?” Tanyaku akhirnya menanggapi pernyataannya.

“Kita bersandiwara seolah semuanya baik-baik saja, padahal tidak.”

“Kenapa semuanya tidak baik-baik saja, apa gerangan menurutmu yang membuat kita tidak baik-baik saja?”

“Btari, apa tidak bisa kau lihat koondisi keluarga ini, atau kau hanya mencoba untuk membuatnya terlihat lebih mudah dengan menafikkannya?”

Aku menghela nafas, membiarkannya menatapku nanar.

“Ekalaya, aku tahu benar bagaimana kondisi keluarga ini, tapi bukan berarti aku berpura-pura saat mengasihi kalian, bukan berarti aku bersandiwara dalam mencintai kalian, kenapa kau begitu berburuk sangka?”

“Apa kau tahu kenapa Gema memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, hidup kami yang kotor?”

“Aku tahu, namun untuk menghormatinya, bagaimana kalau kita anggap saja begini, Gemala pergi karena dia berpikir kalau ini adalah hari yang indah untuk pulang ke rumah Tuhan.”

Lalu tanpa bisa kuduga, Ekalaya memelukku erat, seolah aku akan hilang menguap dan terbang bersama angin yang berhembus dari sela-sela jendela kamarnya.

Hingga pemakaman selesai aku tak kunjung meneskan air mata, kantung air mataku seolah kering kerontang. Aku hanya bisa tertunduk menatap tanah coklat yang menggunduk di depan mataku, membayangkan seperti apa rasanya terbaring di bawah sana, ditimbun tanah.

Kami berduyun pulang ke rumah dari pemakaman, Ibu diam tertunduk dan tak sekalipun menatap mataku, Eka selalu berdiri di sampingku, dan Ayah, entah ada di mana beliau, mungkin saat ini beliau tengah tepekur dalam diam atau mungkin pula sudah kembali ke dunianya, dunia di belakang kamera.

Sudah sepekan Gemala berpulang, sudah sepekan pula Ibu berhenti bicara dan hanya mengurung diri di kamar, dan aku sendiri bagai terasing di rumah sendiri, hanya Eka yang sesekali mengunjungi kamarku untuk sekadar mengobrol, seperti malam ini. Sudah hampir lima jam kami berbicara ngalor ngidul di tengah kesibukanku membereskan pakaianku ke dalam tas.

“Yakin pulang lusa, Ri?” Tanyanya saat aku memasukkan sepotong kemeja ke dalam tasku.

“Iya, sudah terlalu lama aku pergi, aku harus segera kembali ke rutinitasku.” Jawabkusambil berfikir apakah semua barangku sudah masuk.

“Lalu, aku akan sendirian?”

“Kembalilah ke Bandung, kalau kau taknyaman dengan keluargamu, maka buatlah sendiri, bukankah kau punya teman-teman yang sangat baik?”

“Aku ingin kau di sini.”

“Tunggu aku selesaikan sekolahku, aku akan kembali pulang ke Jakarta.”

----

Bagiku, kehilangan keluarga ini bukan suatu hal yang menyedihkan atau menakutkan, namun mungkin menjadi hal yang suatu saat harus dihadapi, bukan hanya aku, tapi semua orang di dunia ini. Seperti sejak saat Gemala memutuskan “pulang”, otomatis tanpa peringatan, hidup kami terpecah belah, keluarga kami terpisah. Ayah dan Ibu memutuskan bercerai beberapa bulan kemudian, sementara Eka memilih menghilang dari radar dan peredaran, lalu aku yang memilih untuk hanya memantau dari perantauan.

---

“Halo, Eka?” kataku begitu sambungan telepon di seberang sana diangkat.

“Iya, dengan siapa saya berbicara?” tanya suara di seberang.

“Ka, ini Btari, aku di Bandung sekarang.” Jawabku

“Di mana kau, biar kujemput kau sekarang juga.” Kata-katanya penuh dengan semangat yang menggebu.

“Aku di jalan R.E Marthadinata, mau jemput, aku tunggu di Heritage ya?”

“Ya, tunggu aku di sana, semoga tidak macet jadi kamu tak harus menunggu lama.”

---

Di sini aku berada, Bandung, setelah beberapa tahun aku berusaha mencari kebenaran. Dan kini, seolah mendapatkan suatu akhir, aku duduk di sini, menanti kakak laki-lakiku yang sejak lama menolak tahu kebenaran ini.

Lalu rasa ampa menjalariku tanpa peringatan, membuat wajahku kebas dan air mataku luruh, pertahananku selama tiga tahun ini berhasil diterabas. Air mata yang sudah kutahan sejak pertama menemukan Gemala tak bernyawa, seolahmendesak minta ditumpahkan, maka tanpa rasa malu lagi atas semua mata yang memandangku bingung, aku menangis, mengeluarkan semua lara yang menggumpal tanpa bisa dikeluarkan. Terngiang dan terbayang semua pembicaraan dan interaksi yang menjawab semua pertanyaanku namun meninggalkan luka berdarah menganga.

---

“Saya Btari, putri Btara dan Sawitri, apa Pak Nico kenal orang tua saya?” tanyaku pada laki-laki tampan seumuran Ayahku yang duduk di hadapanku saat ini.

“Ah, ya, sudah pasti aku mengenal mereka, mereka itu….ehm….sahabatku”, jawabnya sedikit terbata. “Jadi kamu yang hubungi saya tadi, siapa namamu, ah iya Btari”, katanya menyembunyikan canggung dalam suaranya.

“Panggil saya Tari, Pak, atau boleh saya panggil Oom saja, seperti bagaimana saya memanggil banyak kawan dan rekan Ayah?”

“Silakan Nak, panggil aku dengan sebutan yang kamu mau”, jawabnya sambil tersenyum memamerkan deretan gigi rapi nan putih untuk ukuran laki-laki berumur senja sepertinya. “Ada apa Tari mencari, ehm..Oom?” Katanya kurang nyaman menyebut dirinya dengan sebutan “Oom”.

“Saya hanya ingin mencari jawaban dari semua pertanyaan saya, Oom”, kataku menimbulkan kerut di dahinya.

“Pertanyaan?” tanyanya menegaskan.

“Ya, pertanyaan tentang bagaimana dua orang yang tidak pernah saling memiliki bisa menikah, dan bahkan memiliki tiga orang anak, Oom pasti sangat mengerti akan apa yang saya maksud,” kataku mendesak.

Wajahnya sedikit terkejut, namun cepat berubah tersaput sendu dan sedih. Diubahnya posisi duduk dengan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi yang sangat tidak nyaman ini, dan helaan nafas panjang yang seolah menggambarkan seorang pejuang yang menyerah pada gempuran lawannya.

“Kami berhubungan dan saling mencintai, Nak. Maksudku, aku dan Ibumu, kami saling mencintai,” jelasnya seolah mengerti kernyitan di dahiku saat dirinya menyebut “kami”.

“Lalu, mengapa kalian berpisah, mengapa tak kau nikahi saja Ibu,”

Tersungging senyum getir di bibirnya.

“Kami menyembah yang beda, Nak, belum lagi memang suku kami yang berbeda”, katanya lagi.

“Lalu, apa yang kalian lakukan, kalian berani berbuat dosa, kalian lakukan yang dilarang-Nya, lalu setelah benih kalian tumbuh subur di ladang Ibu, kalian sepakat menjalani hidup yang dirancang orang tua kalian atas nama agama.”

Wajahnya seketika pias, ekspresi kalut menggelayut di wajah tuanya yang masih terjaga tampan. Matanya kini digenangi air mata setelah mendengar ledakan amarah yang menggerogoti hatiku sejak kecil, dan kian memuncak saat Gemala memutuskan bunuh diri.

“Kalian tahu, kalian berdua terlalu pengecut untuk berjuang, bukankah kalian sudah melakukan satu dosa besar, menjatuhkan diri dengan sukarela dalam balutan nafsu dan birahi, lalu apa salahnya melakukan dosa yang lainnya dengan mempertahankan apa yang kalian anggap penting, dan bukannya melarikan diri dan menuntut orang lain yang tak tahu apa-apa menanggung semua najis kalian”, seruku lagi.

“Kami terlalu muda, Nak. Kami terlalu takut dimusuhi keluarga, dimusuhi dunia”, jawabnya tergugu kini dengan butiran air mata mulai bergulir di pipi tirusnya.

“Lalu bagaimana dengan Ayahku, dengan sahabat yang harus mengakui anak-anakmu,” tanyaku mencecarnya. “Bagaimana dengan Gemala, darah dagingmu sendiri, yang selalu merasa kotor dan berpikir lebih baik mengakhiri nyawanya sendiri.”

Yang kutahu pasti kata-kata terakhirku adalah pukulan telak bagi tubuh senjanya, dia terus menangis dalam diamnya, dan entah mengapa rasa puas menjalariku. Mungkin aku jahat, saat ini aku tidak lagi peduli dengan norma, yang perlu kulakukan saat ini adalah menyampaikan perasaan Gemala, meneriakkan suara ayah, atau mungkin memuntahkan kerinduan Ibu. Dan yang paling penting dari semua itu adalah, menutup rapat semua utang masa lalu yang jalin Ayah, Ibu dan Oom Nico sekadar untuk menenangkan hatiku, menyembuhkan lukaku.

“Aku menghadiri pemakamannya, juga pengajiannya. Putriku diperlakukan dengan sangat baik oleh sahabatku, oleh kekasihku. Namun justru aku yang menyakiti putriku dengan keberadaanku, dengan kenyaataan bahwa akulah ayahnya, dan yang membuatku kian terpuruk dan merutuki nyawaku adalah aku tak dapat memeluk tubuhnya, sejak saat dia dilahirkan ke bumi, hingga jejak napas terakhirnya berhembus”, katanya dalam isak tertahan, menunjukkan luka seorang ayah.

Perbincangan kami mungkin lebih banyak searah, tanpa memedulikan wajahnya yang kuyu dan letih, aku terus melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti yang kulemparkan kepada Ibu saat aku mengonfrotasinya, dan seperti yang kuduga, tidak ada perbedaan dari pengakuan mereka.

Ah..Gemala, betapa saat ini aku ingin sekali mengambil keputusan yang sudah kau ambil, betapa ingin aku menghilangkan rasa pedih di dadaku ini. Kenapa kau terlalu lemah untuk menghadapi takdirmu.

---

Mungkin lukaku tak serta merta menutup, juga tak mungkin Gemala bangun dari kematiannya, namun yang pasti untukku, aku tahu mengapa selama ini aku tidak pernah hidup dalam bentuk keluarga, kenapa Ibu dan Ayah memilih tinggal terpisah, dan yang pasti alasan kenapa Gemala memilih pergi sendiri mendahului kami.

Kenyataan dan kebenaran walau sesakit apapun, bagiku, selalu terasa lebih melegakan dan menenangkan. Setidaknya aku tahu ada hal-hal yang harus kita perjuangkan sampai napas terakhir, namun kita tetap harus siap kapan saja saat kehilangannya. Hidup.

Ah… aku ingin seperti Gemala, dia bisa menentukan kapan dia akan pulang ke rumah Tuhan, apa saat mentari panas memanggang bumi atau saat cendawan raksasa memayungi bumi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun