Mohon tunggu...
Nurul Fauziah
Nurul Fauziah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai tulis-menulis

Alumni Ilmu Sejarah FIB UI. Mencintai Literasi dan Musik. Menggemari Film dan Anime. Menulis untuk Bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Dilema Bystander Effect dalam "The Witness", Teror Psikopat terhadap Para Saksi Mata

8 November 2021   19:59 Diperbarui: 8 November 2021   22:56 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kwak SiYang sebagai Psikopat | Source: koreanfilm.or.kr

Awas! Artikel ini mengandung Spoiler.

Sinopsis

Bagaimana perasaan Anda apabila menjadi saksi kasus pembunuhan yang naasnya terjadi tepat di depan mata Anda?

Apalagi jika bukan hanya sekedar menyaksikannya saja, tetapi juga saling bersitatap penuh makna dengan pembunuhnya?

Han Sang Hoon hanya seorang pegawai kantoran biasa yang baru pindah ke apartemen baru bersama keluarga kecilnya. 


Suatu hari, Sang Hoon baru pulang ke rumahnya lewat dari tengah malam karena acara minum bersama para rekan kantornya.

Ia mendadak mendengar teriakan dari luar kompleks lalu mengecek beranda. Tanpa disangka, seorang pria tengah memukuli seorang wanita dengan kejam menggunakan palu.

Tentu saja hal itu mengejutkan Sang Hoon. Dengan tubuh bergetar, ia meraih ponsel. Hendak menghubungi polisi diam-diam.

Namun apesnya, lampu apartemennya malah menyala. Istrinya, Soo Jin, rupanya terbangun karena haus.

Sang Hoon yang tersentak kaget menjatuhkan ponsel, lalu berlari ke dalam rumah untuk mematikan lampu sebelum sang pembunuh melihat wajahnya.

Lelaki itu pun lantas kembali ke beranda sambil meringkuk, mencoba mengamati sang pembunuh yang berdiri diam dari celah pot-pot bunga. Tak lama, sang pembunuh berjalan pergi. 

Tiba-tiba, si pembunuh membalikkan badan dan kembali mengamati kawasan apartemen. Ia pun perlahan mengangkat telunjuk sambil menggerakkan mulutnya.

Saat itulah Sang Hoon sadar bahwa pembunuh itu sedang menghitung lantai apartemennya, mencari tahu tempat tinggalnya, dan mungkin bermaksud membunuhnya.

Mengemas Fenomena Bystander Effect dengan Sempurna

Sejujurnya saya kembali menonton film ini setelah tiga minggu lalu, seorang Kompasianer mengulas tentang Bystander Effect.

Lantas seolah mengamini hal tersebut, sebuah berita muncul di beranda gugel saya, mewartakan pelecehan seksual yang terjadi di kereta api pinggiran kota Philadelphia, AS.

Hal yang paling mengejutkan dari berita tersebut adalah fakta adanya beberapa orang saksi mata yang semuanya membisu ketika peristiwa tragis itu terjadi.

Situasi itu dinamakan Bystander Effect. Kondisi menyimpang di mana adanya pengabaian yang dilakukan oleh banyak orang dalam satu waktu terhadap peristiwa buruk/berbahaya yang terjadi tepat di depan mata mereka.

Para saksi mata ini pada dasarnya “memilih” untuk tidak melakukan apapun karena menganggap akan ada orang lain yang mewakili mereka. 

Tentu saja ada banyak faktor x yang menyertai alasannya, contohnya kecemasan pribadi, ogah berurusan dengan polisi, atau memang dari sononya apatis alias tidak peduli.

Dalam hal ini, The Witness memakai teori tersebut sebagai landasan cerita yang digunakan untuk melengkapi premis sinemanya yang sederhana.

Hal ini terlihat dari bagaimana para penghuni apartemen menolak untuk memberi kesaksian pada polisi ketika beberapa di antara mereka sebenarnya mengetahui peristiwa tersebut.

Seorang wanita tanpa hati malah menggilir surat perjanjian ke sesama penghuni apartemen. Menyuruh mereka untuk menutup mulut karena khawatir nilai jual apartemen mereka akan jatuh.

Jahat? Memang.

Sedikit Cerita tentang Kitty Genovese

Cho Kyu Jang selaku sutradara rupanya mengadaptasi peristiwa pembunuhan yang menjadi awal munculnya teori Bystander Effect, kasus Kitty Genovese.

Pada Maret 1964, Kitty Genovese yang baru pulang dari tempat kerjanya diserang secara brutal oleh seorang pria di sekitar lingkungan apartemennya.

Kitty berteriak meminta tolong. Akan tetapi tidak ada satupun penghuni apartemen yang keluar membantunya.

Peristiwa tersebut terjadi sampai beberapa menit. Bahkan sang pelaku sempat melakukan pelecehan seksual terhadap kondisi Kitty yang sudah mengenaskan.

Ketika polisi datang dan menyelidiki kasus, diketahui bahwa ada beberapa tetangga yang meneriaki pelaku dan akhirnya menghubungi polisi.

Namun tidak ada yang keluar atau bertindak tepat di saat Kitty benar-benar membutuhkan mereka. Alhasil, nyawa sang gadis tidak tertolong dan pelaku melarikan diri.

Gilanya, total 38 orang dari jumlah penghuni apartemen tersebut mengaku “mengetahui” kejadian tersebut. 

Situasi ini pun lantas dikemas dan diinterpretasikan secara elegan oleh Cho Kyu Jang melalui babak awal The Witness. 

Awalnya, kita dibuat berdebar saat menyaksikan momen kejar-kejaran sang psikopat dengan korban.

Atensi pun semakin meningkat begitu memasuki momen kucing-kucingan Sang Hoon yang menyaksikan semua peristiwa melalui beranda rumahnya.

Lantas di pagi harinya, Sang Hoon mengetahui fakta bahwa berdasarkan hasil forensik, ada jeda sekitar dua jam antara waktu kematian sang korban dengan saat pertama kali Sang Hoon melihat si pembunuh.

Itu artinya, seharusnya korban berpeluang besar untuk tetap hidup andaikata para penghuni apartemen mengindahkan teriakannya.

Kenyataan itu membuat Sang Hoon terpukul dan frustasi. Ia pun diliputi trauma akan rasa bersalah terhadap korban dan selalu merasa was-was terhadap orang-orang di sekitarnya.

Adegan ini sedikit banyaknya mirip dengan situasi Kitty Genovese yang juga sebenarnya, kemungkinan masih berpeluang hidup apabila para tetangganya segera menghubungi polisi.

Premis film ini nyatanya memang sederhana. Sebatas bagaimana cara Sang Hoon berusaha meloloskan diri dari kejaran sang psikopat yang mengincar dirinya, keluarganya, dan saksi kunci lainnya.

Namun karena dipoles dan diatur dengan baik, The Witness mampu menghadirkan teror memukau dengan eskalasi konflik yang apik serta berhasil membuat saya tetap duduk dengan nyaman menikmati plotnya.

Mungkin karena memakai peristiwa nyata dan teori ilmiah sebagai pijakan dasarnya bercerita, Cho Kyu Jang memimpin plot dengan rapi, tertata, dan solid.

Dilema Sang Hoon sebagai Saksi Kunci dan Seorang Suami

Film ini jelas tidak akan jadi tanpa didukung departemen cast yang mumpuni. Lee Sung Min nyatanya sukses tampil luar biasa sebagai Han Sang Hoon.

Parade perannya yang penuh keraguan dan jauh dari kesan heroik hingga dua pertiga film berjalan sebenarnya membuktikan kualitas aktingnya sebagai aktor senior yang telah malang melintang di industri film Korea Selatan.

The Witness | Source: koreanfilm.or.kr
The Witness | Source: koreanfilm.or.kr

Sebab melalui pengembangan karakternya yang cenderung lambat, kita sebagai penonton sengaja dituntun untuk mengasihaninya sebagai saksi kunci.

Karakter Sang Hoon yang dilematis jelas bersumber dari trauma nyata atas peristiwa tragis yang apesnya Ia saksikan sendiri.

Tentu saja Ia seharusnya bertindak benar dan adil secara norma dan nilai-nilai yang berlaku. Namun saya kira Sang Hoon juga “dengan wajarnya” memikirkan keluarganya sendiri.

Justru saya merasa aneh dan sangsi apabila karakter Sang Hoon langsung digambarkan heroik dan mau-mau saja bekerja sama dengan polisi.

Layaknya menaiki wahana roller coster, sebenarnya selalu ada titik di mana Sang Hoon memiliki kesempatan besar untuk menghubungi atau menyatakan kesaksiannya pada detektif.

Akan tetapi sebagaimana template film thriller biasanya, selalu pula ada momen di mana si protagonis justru terhalang atau dihalangi oleh aspek-aspek kecil yang membuyarkan semuanya. 

Hal tersebut biasanya berguna untuk menunda para protagonis menangkap sang villain. Meski terkadang tidak logis, namun elemen semacam itu berguna sebagai bumbu penyedap ketegangan yang ada.

Mungkin apabila kita meninjaunya dari sudut pandang korban, Kitty Genovese misalnya, apa yang dilakukan Sang Hoon memang laknat tidak masuk akal.

Namun ketahuilah wahai saudara sekalian bahwa ada yang jauh lebih asem dari Sang Hoon, yaitu para penghuni apartemen yang apatis dari sononya.

Ada satu scene ketika seorang anak SMA dengan polosnya memberi kesaksian pada polisi, bahwa ia mendengar teriakan seorang wanita pada pukul dua pagi.

Namun saat ia hendak mengeceknya, lampu rumahnya malah dimatikan oleh sang ibu. Lantas ketika polisi bertanya lagi untuk memastikan, Ibu si anak ini datang dan meneriakinya untuk langsung masuk mobil.

Han Sang Hoon dan Polisi | Source: netflix.com
Han Sang Hoon dan Polisi | Source: netflix.com

Moral Value yang Kuat dan Relevan dengan Dunia Kita

Sebagai penonton atau “orang luar,” kita sering sekali berpandangan bahwa apa yang dilakukan para saksi mata tersebut adalah tindakan pengecut, egois, dan keji.

Dan sepanjang saya riset mengenai Bystander Effect, sejujurnya ada banyak cara/trik berguna yang saya temukan untuk membantu kita menghindari diri sebagai pelaku antipati fenomena tersebut.

Seperti meningkatkan kewaspadaan diri, simpati, empati, dan semacamnya. Namun, terkadang berbicara memang jauh lebih mudah daripada menindaklanjutinya.

Kita terbiasa melihat banyak problema hidup hanya dari satu sudut pandang. Bahkan terkadang walaupun sebuah fakta/kebenaran ada di depan mata, kita masih sering menolaknya apabila bertentangan dengan keyakinan sendiri, sibuk mengedepankan ego pribadi.

Lantas andaikata kita adalah salah seorang figuran di luar apartemen yang melihat berita tersebut di TV, bisa jadi kita akan bertindak sama. Menghujat para penghuni apartemen dengan seluruh kalimat cercaan yang teringat di kepala.

Kita akan buta terhadap traumanya Sang Hoon dan para saksi kunci lain yang mungkin memiliki kondisi sialnya masing-masing. 

Mereka sangat ingin melapor, namun ketakutan terhadap sang psikopat yang mengintai mereka jelas lebih besar.

Apalagi fakta bahwa psikopat di film ini diceritakan bukan tipe manusia yang pandang bulu. Mereka hanyalah entitas yang sejak awal “ketagihan” membunuh saja. 

Dan saya sejujurnya menyukai penggambaran Cho Kyu Jang yang “tidak memanusiakan” sang psikopat itu. 

Mengingat selama ini, normalnya film psikopat selalu diiringi drama yang mencoba memanusiakan mereka. 

Entah sang pembunuh mengidap trauma waktu kecil, KDRT, pelecehan seksual, dan semacamnya. 

Bagi saya, terkadang yang namanya pembunuh itu ya, mereka memang pembunuh saja. 

Tentu saja kita tidak boleh melupakan fakta bahwa memang ada dari beberapa penghuni apartemen di film ini yang memang asli apatis serta beberapa oknum polisi yang justru tidak kompeten menjalankan tugas.

Mungkin memang berguna sebagai penambah bumbu-bumbu cerita semata, tetapi faktanya, situasi yang sama kiranya juga sering terjadi di sekitar kita. 

The Witness secara jelas memotret keresahan sosial tersebut dengan cara yang elegan, relevan, dan bermutu. 

Seolah mengingatkan kita betapa besarnya jurang antara kepedulian dan pengabaian dari seseorang terhadap kondisi di sekitarnya walaupun hanya beberapa menit, atau bahkan sekedar beberapa detik.

Overall

Kendati demikian saya akui bahwa The Witness tetap memiliki kekurangannya sendiri.

Walaupun sebenarnya film ini dibangun secara konsisten mendebarkan hingga babak ketiga, saya pribadi cukup menyayangkan momen klimaksnya.

Terlihat seperti anti klimaks karena atensi yang telah saya rasakan dari awal turun cukup drastis. Membuat saya mengernyit heran seperti, "Huh? Begitu aja?"

Hal ini pun membuat momen penyelesaian konflik tersebut terasa sedikit hambar. Saya jadi merasa Cho Kyu Jang seolah-olah ingin film ini berakhir cepat begitu saja.

Akan tetapi tetap saja. Percayalah film ini begitu worth it untuk ditonton. 

Saya pribadi memberi skor 9/10 untuk The Witness karena saya merasa, dosa-dosa yang dimiliki oleh film ini tidak menutupi nilai-nilai positif yang dimilikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun