Mohon tunggu...
Mega Trianasari
Mega Trianasari Mohon Tunggu... lainnya -

Suka menulis dan berkhayal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan di Tengah Garis Absis

23 Maret 2014   17:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13955504931921098406

[caption id="attachment_327964" align="aligncenter" width="632" caption="Seorang seniman asal Jombang, Jawa Timur Holis Sastriawan menggelar aksi melukis di halaman Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (12/12/2013). Aksi ini dilakukannya untuk memberikan kepada KPK dalam rangka Hari Antikorupsi se-Dunia. Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Gandara, apa aku boleh masuk? Aku mengetuk pintu studio Gandara dengan sedikit menggedor, sudah lima menit ia tak membuka pintu studionya.

Can you just stand there, don’t be too close. It would be a master piece!

Ingatan tentang dialog  pada siang di studio Gandara membuatku terhenyak. Dialog terakhirku denganya. Anehnya dia menjawab pertanyaanku dengan garang. Dengan bahasa Inggris. Bahasa yang ia jarang gunakan. Bahasa Inggrisnya jelek. Pengucapannya ketika itu sungguh seperti menak britania, medok seksi.

Mengapa ia mencegahku mendekati ruang kerjanya? Biasanya Ia membiarkanku berbuat apapun  di dalam ruang kerjanya. Bahkan, aku sering menginap di sana. Membawa tugas-tugas kuliahku. Mengganggu kosentrasinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak mungkin ia bisa jawab. Aku belajar bahasa Inggris, Ia benci bahasa Inggris. Aku suka dengan hal-hal berbau Barat. Dia anti-Barat.  Aku sering menceritakan cerita Hamlet dia bilang itu cerita bodoh. Balas dendam itu bodoh, menurutnya.

Aku bilang padanya, andai aku jadi bagian dari keluarga Kerajaan Inggris aku pasti sudah ada di Oxford sekarang.  Dia menjawab dengan ketus, keluarga monarki di mana pun di dunia, adalah lintah. Sistem yang sudah tidak sesuai lagi dengan zaman.

Aku cinta Gandara. Aku sering membombardirinya dengan kata cinta bahkan mengecupnya. Dia hanya bilang. Aku mencintai orang lain, Silaku. Jangan paksa aku mencintaimu. Lebih baik kau kembali pada PR-mu saja.

Aku tanya padanya, siapa dia? Aku tidak pernah melihatnya. Bahkan hanya aku perempuan yang pernah tidur di ranjangmu. Meski kita tidak pernah bercumbu dan bercinta. Aku bilang aku mau saja bercumbu denganmu jika aku menikah denganmu. Gandara hanya tertawa. Ia bilang. Mana mungkin aku menikah dengan perempuan penyuka keripik dan ikan goreng. Aku koreksi, fish and chips. Ia apalah namanya. Aku tidak suka perempuan sok bule. Lihat rambutmu, warnanya sudah menjauhi warna ibu pertiwi. Dan kamu tidak keibuan.

Ya sudah kamu nikahi saja ibu-ibu di kampung sana. Yang tiap hari membilas rambutnya dengan minyak orang aring. Atau kau suka pria ya Gandara. Seleramu terhadap perempuan pribumi itu hanya kamuflase?

Gandara hanya tersenyum dan menjawil hidungku. Jika ia melakukan itu, hatiku menclos. Bahkan ingin menangis.

Sayang sekali, sebelum aku menanyakan siapa wanita yang dia maksud. Pada senja harinya, dia wafat dalam serangan jantung. Dia wafat, tepat setelah dia menyelesaikan proyek rahasianya. Sebuah lukisan abstrak. Ia tidak tidur sejak dua hari lalu. Itu adalah penyebab serangan jantungnya.

Menurut adiknya Tiara. Hanya seseorang yang mengerti maksud dari lukisannya. Tiara bilang orang itu adalah aku.

Tiara bilang, Gandara  minta tolong padaku untuk memberikan lukisan terakhirnya sebuah nama.

Mengapa aku? Aku tidak mengerti sama sekali tentang lukisan. Apalagi lukisan Gandara itu abstrak. Meskipun aku sering menganggu kerja Gandara. Aku tak pernah sekalipun tertarik untuk menanyakan ide di balik tiap lukisannya. Aku hanya mengomentari pilihan warna yang ia pilih, menurutku gloomy. Jika tidak hitam, abu-abu, cokelat, merah bata, ungu tua, dan biru tua.

Dan satu hal lagi, aku selalu melontarkan protesku terhadap kemudahan Gandara mendapatkan uang dari lukisan tidak jelas. Apa yang menarik sih dari lukisan pria yang suka mengaduk cokelat pahitnya dengan batang kayu manis itu? Bayangkan saja, lukisan yang hanya terdiri dari garis, lingkaran benang kusut dan cipratan-cipratan warna muram, laku di pasaran? Lebih bagus gambar pemandangan buatanku yang sering diberi angka delapan oleh guru SD-ku!

Aku belum mampu membuka lukisan yang tertutup tirai warna hitam, ah lagi-lagi pilihan warna yang menyebalkan. Wanita yang dicintai  Gandara, yang sering ia jadikan alasan untuk menolakku, tak datang. Ah mungkin dia memang tokoh imajiner pikiran Gandara yang dijadikan alasannya untuk menolakku.

Di balik rasa cemburu pada tokoh yang aku asumsikan sebagai tokoh imajiner itu, serangan rasa sepi karena kematian Gandara masih memenuhi hatiku yang ukurannya hanya sekepalan tangan. Rasanya hatiku tidak sanggup menerima kenyataan bahwa Gandara sudah tidak ada. Tetanggaku yang sering aku ganggu dari aku kecil. Usia kami memang terpaut jauh. Sepuluh tahun. Namun aku tetap memanggilnya dengan namanya. Tidak dengan sapaan mas, kak ,atau, bang.

Ketika ia meninggalkan studio dan dunia ini, ia berusia 35 tahun. Aku mencintainya sejak ia berusia 25 tahun. Aku menyukainya sejak aku kelas tiga SMP! Sudah sepuluh tahun. Sudah sepuluh tahun juga aku menyatakan cinta padanya. Dan selalu ia tolak. Penolakan pertama adalah ketika dia bilang, aku masih kecil. Ketika aku sudah 17 tahun, dia bilang aku belum cukup dewasa.

Aku tak sanggup menatap studionya, menatap rumahnya, bahkan aku tak sanggup menatap adiknya Tiara. Wajah mereka mirip.

Ketika aku rasa hatiku yang sekepalan tangan mulai memperlihatkan gejala luka parah, aku benci melihat kuas, palet, kanvas, cat minyak, dan galeri lukisan. Aku meninggalkan kota. Untuk pergi meninggalkan kenangan tentang Gandara. . Aku hijrah ke suatu kota kecil yang  warganya dilarang melukis. Aku sengaja memilih tempat itu karena aku juga tak sanggup melihat segala hal yang berkaitan dengan lukisan.

Sepuluh tahun aku lari dari pahitnya kenangan. Orangtuaku menitipkanku pada seorang kerabat yang kupanggil paman. Paman Bishma namanya.

Pada usia 35 tahun, aku kembali lagi ke kota untuk bersama seorang laki-laki yang sanggup mengisi hatiku yang meradang lebam. Ia menggegam hatiku dengan kepalan tangannya yang kuat. Genggaman tangan kuatnya lembut. Mungkin cintanya lebih besar dari ukuran hatiku. Ia adalah seorang petani. Pemilik kebun wortel. Seseorang yang berjasa memasok vitamin A alami.

Studio Gandara masih seperti dulu. Masih sama seperti waktu ditinggalkan. Lukisan itu masih tertutup oleh kain hitam. Aku membukanya. Suamiku Arna. Mengenggam tanganku. Ia tau semua cerita tentang Gandara.

Dalam lukisan itu hanya ada warna putih, abu-abu dan segaris warna merah di tengahnya. Ah orang ini, sudah mati saja masih membuatku bingung. Garisnya seperti benang. Di ujung masing masing benang ada tanda x. Aku bingung, Arna juga bingung.

Di balik samar-samar di balik gradasi warna cokelat, nila, dan abu-abu  yang menjadi latar dari garis merah itu ada bayangan seorang perempuan. Adalah Arna si petani wortel yang menemukannya. Mungkin karena matanya sudah banyak terkena vitamin A.

Sila, aku rasa bayangan perempuan ini kamu.

Aku mendekati lukisan, aku menatap sosok bayangan yang ditunjuk oleh Arna dengan telunjuknya.

Aku kecewa, itu bukan aku.

Aku tidak pernah menyanggul rambutku dan tidak pernah menggunakan rok lebar kampungan seperti itu.

Sekelebat ingatan mendatangi benakku. Ariah!

Perempuan yang ada di tengah garis absis itu, Ariah, ibuku….

Tangerang, 23 Maret 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun