Fenomena ini semakin kuat karena pengaruh media sosial yang mendukung gaya hidup estetik. Banyak anak muda membagikan potret kamar mereka lengkap dengan tumpukan kaset, pemutar vinyl, dan poster musisi lawas. Barang-barang antik tampil sebagai elemen visual yang memperkuat karakter personal mereka. Tak jarang, konten bergaya vintage ini mendapat banyak respons positif karena dianggap unik dan berkelas. Estetika jadul justru terasa segar di tengah dominasi tren digital modern.
Di sisi lain, memiliki rilisan fisik dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap karya musisi. "Kalau dengar di Spotify itu gampang. Tapi punya rilisan aslinya rasanya beda. Ada kebanggaan sendiri," kata Firdaus. Memiliki album fisik membuat pendengar merasa lebih dekat dengan sang musisi. Mereka bisa membaca lirik, melihat desain cover, dan memahami isi karya secara utuh. Hal ini menjadi bentuk apresiasi nyata yang sulit dirasakan dalam format digital yang serba instan.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, generasi baru justru memilih untuk merawat dan menghidupkan kembali warisan masa lalu. Barang antik lahir kembali dalam bentuk tren gaya hidup yang menawan dan berkarakter. Mereka tidak sekadar mengikuti mode, tetapi membangun hubungan emosional dengan benda-benda bersejarah. Inilah bukti bahwa masa lalu tak pernah benar-benar usang, selama ada yang merayakannya dengan cara yang kreatif dan penuh cinta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI