Mohon tunggu...
Saujana Jauhari
Saujana Jauhari Mohon Tunggu... -

Kekosongan itu adalah sesuatu yang seharusnya diisi, bukan diabaikan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terkatung di Pulau Tapak Belati bagian II

14 Agustus 2012   15:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:46 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Saya siap, komandan...," layaknya bawahan yang menyanggupi perintah atasan, Pare menyahut demikian. Rebon jangan ditanya, sebab ia sudah tahu kapal mau bergerak kemana. Kulihat Ambur disana mengangguk setuju, Aku yakin dia akan mengangguk karena ia tidak mau pulang dengan tangan hampa. Akupun mengatakan siap karena ini adalah sebuah petualangan, Aku merasa menikmatinya. Hanya Tampan yang geleng-geleng kepala, ia tidak mau ke tengah laut, katanya ia ingin segera pulang malam itu juga. Tetapi kami semua kompak menolak, karena ini sudah separuh perjalanan, dan kamipun membesarkan hatinya, memberinya semangat dan dorongan, serta kami berkata bahwa tidak akan terjadi apa-apa, dan kalaupun terjadi sesuatu apa-apa, kami semua akan menolong satu sama lainnya. Mendengar itu, Tampan agak sedikit tenang dan kamipun melanjutkan perjalanan.

***

Pulau-pulau makin mengecil sehingga hanyalah yang nampak laksana titik di kejauhan. Kami menyusuri arah barat daya dimana pulau-pulau sudah tak nampak lagi batang hidungnya. Akhirnya kami berhenti pas di tengah laut dalam dimana ombak seakan-akan diam. Tenang setenang tenangnya dan diam sediam-diamnya. Bahkan suara desah nafas kami terdengar di telinga. Angin seakan berhenti, bahkan seolah-olah tak berani mendekat pada kami. Tidak beberapa lama kemudian Mualim mengarahkan senternya ke laut dan kami semua terkejut. Ada apakah itu, terlihat seperti tangan tangan yang menggapai menghampiri kami. Jumlahnya tidak karuan, mereka menggeliat-geliat seolah-olah ingin bermain dengan cahaya. Oh, Astaga, mereka adalah cumi-cumi kecil seukuran telapak tangan yang sedang mendekati cahaya, maklum saja, di lautan yang gelap ditemani cahaya bintang, binatang laut sangatlah menyukai cahaya. Itulah pelajaran yang kudapat. Bahwa di kegelapan yang sangat pekat, yang dibutuhkan pertama adalah cahaya, bukan yang lainnya. Dan kamipun memunguti beberapa dari mereka dengan jaring yang kami bawa.

Tidak beberapa lama kemudian, kami mulai memancing dan benarlah apa yang dikatakan oleh mualim bahwa air disana lebih hangat dari air laut biasanya. Pantas saja, ikan banyak kumpul disini, sebab disinilah plankton kebanyakan berkembang biak, dan kemudian planton dimakan ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan sedang, ikan sedang dimakan ikan agak besar, ikan agak besar dimakan ikan besar. Ikan besar, cumi-cumi, gurita, ubur-ubur berlari dikejar ikan hiu. Itu adalah sebuah rantai makanan yang telah diciptakan Sang Penguasa, dan manusia menjadi pemutus ditengah-tengahnya.

Pare kulihat sangat kegirangan, senyumnya merekah. Ia sempat mengabadikan dirinya disana lewat photo kamera, ketika ia mendapat sebuah kakap merah ukuran besar, ia tidak sanggup menarik pancing dan mengangkatnya sendiri. dibantu oleh mualim, berdua barulah ia bisa mengatasinya. Oh, Tidaklah rugi aku pergi kesana, segala daya upaya, letih, lelah terbayar sudah, hatiku merasa senang, seandainya banyak nelayan yang tahu, mungkin berbondong-bondong mereka akan kesini", Pare bersorak seperti mendapat durian runtuh. Aku pun puas dengan beberapa ekor ikan kerapu seukuran telapak tangan. Aku tahu, ikan kerapu adalah ikan yang mahal, kebanyakan nangkring di piring restoran-restoran mahal. Dan ikan itupun susah didapat, ia ada di laut lepas dan sering menjadi incaran hiu sebagai makanannya.

Ambur berdiri teguh di depan kapal. Ia sangat serius dengan buruannya, dari tadi umpan pancingnya sudah dimakan ikan. Hanya saja, kekuatan ikan itu sungguh besar. Badannya yang gemuk masih belum mampu menariknya, ditambah dengan peluh yang mengalir deras. Kami semua berempat berjuang membantunya. Mualim berkata, "Hai kalian, tidakkah kalian tahu, ikan apa yang kalian tarik,..?, Jawab kami serentak, "Tidak",. Yang kalian tarik itu adalah ikan hiu, tenaganya luar biasa, terkadang ketika ia memakan umpan, ia beristirahat sejenak di permukaan, kemudian melanjutkan lagi untuk mencari makan. Ia adalah ikan yang rakus. Sebaiknya putuskan saja pancing kalian,". Mualim melanjutkan pembicaraannya. Tanpa diduga-duga kami berhasil menariknya ke dalam kecil. Seekor hiu totol-totol yang dikenal sebagai hiu macan. Hiu itu tidaklah besar hanya seukuran bantal. Tapi memang giginya yang tajam, ketangguhan dan reputasinya sebagai penguasa laut memang benar-benat terbukti. Ketika kami membawanya di atas kapal, ikan itu masih menggeliat-geliat beberapa lamanya. Akhirnya kamipun membuangnya kembali ke laut.

Cukuplah sudah perjuangan kami, segala ikan sudah terkumpul, dan kamipun membuat panggangan kecil diatas kapal untuk menikmati hasil tangkapan kami. Sungguh sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Makan ikan di tengah laut tengah di malam buta ditemani bintang dan riak-riak ombak yang menyapa.

Jam waktu itu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Kami bergegas ingin pulang. Bintang waluku masih tampak dan timur laut adalah tujuan kami. Pada saat yang demikian, angin seakan menusuk tulang, berlapis jaket dan selimut kami pakai, tetaplah dinginnya sampai ke ulu hati. Tujuan kami merapat ke tepi pantai. Ombak masih tenang, tiba-tiba kami merasakan keanehan. Awan diatas seakan berputar, bukan hanya awan, tetapi langit dan bintang juga ikut berputar. Kapal kami seakan berbalik arah, padahal tujuannya sudahlah benar. Ternyata makin lama-makin jauh dari pantai dan makin mengecil pulau yang kami tuju.

Kami berangkat di waktu yang salah, ternyata kabut putih tipis mulai menyelimuti bumi. bintang tak kelihatan lagi dan kami pun merapat mendekat, agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Kapal kami berputar dan ternyata waktu itu ada sebuah pusaran raksasa di tengah laut yang menyebabkan kami terseret jauh dari tujuan semula. Kami semua cemas, bahkan mualim yang sudah berpengalamanpun menyerah dengan keadaan ini, katanya, kejadian ini belumlah pernah terjadi sebelumnya. Jika memang benar pusaran ini besar, kami akan terdampar di Astarlia, ataupun Indya atau yang lebih parah Kutub Selatan.

Kami semua diam tidak banyak bicara, seolah-olah kami tidak akan kembali lagi ke tempat kediaman kami.

Kami semua menunggu pagi.....................

Bersambung..................

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun