Mohon tunggu...
Saufi Hamzah
Saufi Hamzah Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswa akhir yang mengisi waktu luangnya dengan menjelajahi dunia baru, dan sesekali membual sana-sini

* Perindu Nabi * Pecinta Kyai * Pengagum Sufi * Sebulir bibit yang sedang bermetamorfosis menjadi pohon yang baik, mengayomi, dan memberikan manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Memoar: Kabar Dari Langit (1)

8 April 2020   22:25 Diperbarui: 10 April 2020   21:05 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Singsingan semburat fajar menyapu ketidaksadaran Torun di suatu Rabu pagi. Sinar yang masuk dari celah-celah kosen jendela kamarnya itu seperti ingin membangunkan dan menjinakkan kantuknya lalu memaksanya menyudahi mimpi yang entah dari mana dan sekonyong-konyong pergi begitu saja. Tanpa pamit sedikitpun. Matanya pelahan mengintip dunia yang sempat ia tinggal beberapa saat, apakah aku melewetkan kejadian yang besar? pikirnya. Seketika pikirannya mencoba menggapai-gapai ingatan tentang mimpi itu tapi dicemari oleh bisingnya lolongan alarm keparat itu.

"bismillah... aku pasti bisa" lirihnya.

"fokuskan pada satu ini dulu, setelah itu terserah!"

Tepat pukul 7.30 Torun akan melakoni satu babak yang mendebarkan. Sebuah resepsi kemenangan besar akan tergelar pagi itu. Babak dimana pertanggunjawaban akademik akan digelar. Jamak orang menyebutnya sidang pendadaran skripsi. Yaa... baginya pukul 7.30 adalah waktu yang paling menentukan sekaligus menjengkelkan bagi mahasiswa akhir yang sudah lama tidak masuk kelas.

"Celaka!"

Ia terkaget setelah melengos ke arah jam tangan yang digantungnya tak jauh dari tempat ia menaruh beban pikirannya semalam.

"Satu jam lagi!"

Torun masih dalam posisinya. Tatapannya kosong ke langit-langit. Ia tak kunjung bangun dan berdiri untuk mengakhiri dekapan kantuk yang tidak tahu diri itu. Torun diburu waktu namun pikirannya jauh meninggalkan perhatiannya pada seonggok kertas di atas meja, sebundal skripsi yang siap dihidangkan untuk dicaci-maki dosen penguji. Ia bergeming. Tidak peduli.

Tatapan kosong itu membawanya kepada isi kepalanya sendiri yang akhir-akhir ini terisi oleh satu kabar langit. Satu kabar langit yang sedang menjalankan tugas yang tak terbantahkan. Beberapa hari ini memang Torun dapat kabar dari keluarganya di kampung halaman kalau nenek semata wayangnya sedang dirawat di rumah sakit dalam keadaan kritis. Sudah beberapa hari dalam keadaan koma. Bak gelombang air bah yang menabrak apa saja di mukanya, Torun hanyut ditelan hempasan dasyat gelombang kesedihan tanpa pertolongan.

Tanpa disadari, ia terlalu jauh masuk ke dalam ingatan alam bawah sadarnya. Pikirannya perlahan-lahan menuntunnya pada satu petak perjalanan hidup di masa lampau. Masa yang baginya sangat berharga.

*****

Torun dilahirkan dari keluarga pelaut sekaligus perantau. Suatu kisah pernah didengarnya kalau kakek buyutnya pernah melaut sampai samudera jauh. Semangat yang juga diteruskan oleh beberapa garis keturunannya sebelum benar-benar beralih menjadi perantau di tanah daratan. Kedua orangtua Torun adalah perantau veteran di negeri seberang. Hampir seluruh keluarga besarnya pernah merantau ke negeri nan jauh. Ia mungkin mewarisi darah itu. Layaknya tradisi para perantau, kedua orangtua Torun pulang sekali setiap tahunnya di bulan Ramadhan dan kembali lagi ke tanah antah-berantah itu setelah datangnya tanda orang-orang saling memaafkan antar sesama tak lagi menjejali jalan-jalan perkampungan. Torun dititipkan ke neneknya di usia yang sebenarnya masih belum lepas sapihan ibunya. Tapi apa boleh buat, anaknya harus didik dan dibesarkan di lingkungan yang kondusif dan agamis. Suatu keputusan yang berat, tapi begitulah hidup, keputusan kadangkala lahir dari situasi yang tidak memihak tapi tetap harus diputuskan.

Torun kecil itu sekarang dibawah ayunan gendong neneknya. Suatu hari kuharap kau menjelma menjadi sosok lelaki yang tangguh, Nak! bisik neneknya.

Di usia yang masih seumur musim kemarau itu, Torun diasuh penuh cinta layaknya anak sendiri. Tak sedetik pun perhatian neneknya terlepas pada Torun kecil. Ia menjadi teman setia di masa-masa senjanya.  Dari sanalah jalinan batin keduanya terjalin kokoh dari hari ke hari secara naluriah. Sebuah rekaman dalam ingatan Torun masih tampak jelas betapa menyamuderanya kasih sayang dan kesabaran neneknya. Perempuan itu adalah pahlawan yang mendapatkan posisi tersendiri dalam hati Torun. Perempuan yang akan selalu diingatnya sampai kapan pun. Mereka hidup bersama dalam tahun-tahun yang panjang. Tahun-tahun dimana mereka menciptakan kepingan-kepingan yang membekas abadi dalam hati dan senantiasa hidup dalam diri keduanya. Bagi Torun, neneknya sama kedudukannya seperti kedua orangtuanya. Suatu kali ia bertekad untuk memberi porsi yang sama dalam hal berbakti.

Dari kecil, apapun yang dilakukannya, neneknya selalu mengetahuinya. Naluri orangtua tidak pernah padam. Di antara cucu-cucu lainnya, Torunlah yang sering kali dinobatkan sebagai pemenang karena menjadi prioritas neneknya. Dia sendiri tak tahu persis kenapa demikian.

Sebagaimana umumnya anak-anak, Torun kecil juga nakal dan bengal. Lihat saja, suatu waktu Torun merengek minta dibelikan air minum oleh neneknya, namun yang ia minta bukanlah satu botol minuman, melainkan 1 galon. Di satu subuh juga ia pernah disuruh neneknya mengaji Al-Qur'an ke salah seorang guru Agama di kampungnya. Jarak rumahnya hanya satu gang ke tempat ngajinya, ia sebenarnya enggan namun karena keterpaksaan ia akhirnya berangkat dan menyiasati supaya akal bulusnya tetap mulus. Agak jauh dari rumahnya, Torun berhenti di salah satu rumah warga beberapa saat sebelum betul-betul sampai di rumah guru Agamanya. Dengan memaninkan tempo dan estimasi waktu ala gelandang pengangkut air, ia bergegas pulang ke rumah dengan gestur kemenangan seakan ingin menunjukkan ke neneknya kalau sudah menjalankan titah suci tersebut. Itu adalah sepotong dari sekian panjang deretan daftar kenakalan Torun yang anomali nan menggelitik.

Meskipun masa kecilnya dikatakan orang gemuk, putih, dan tampan.  Torun kini berperawakan kurus, kulitnya sawo matang, berpostur tinggi, dan masih sedikit terlihat jejak-jejak ketampanannya. Ia dikaruniai mata sayu seperti tidak pernah benar-benar terjaga, juga cara membelalaknya yang sedikit berbeda. Ia acapkali diledek karena terlalu tinggi tapi selalu ditimpali dengan melempar gurau kalau kakek buyutnya berasal dari Turki waktu masa penjajahan dulu dan nenek buyutnya memang asli pribumi. Kamu bisa lihat dari perawakan tinggi, rambut ikal, dan hidung mancungku, itu turunan genetis kakekku. Selebihnya dari nenek.

Sayangnya, masa-masa kebersamaan mereka rupanya harus terhenti saat Torun selesai lulus MTs. Ia terwarisi tradisi keluarganya. Sebuah tradisi yang membuatnya harus menerima kenyataan untuk berpisah dengan perempuan yang selalu di sampingnya. Sebuah awal perpisahan yang memilukan bagi mereka berdua. Perpisahan yang tak terelakkan. Tapi bagi mereka, itu bukan suatu keterpaksaan. Kamu harus mereguk manisnya ilmu agama di luar sana, jadilah orang baik dengan akhlak dan ilmu. Itu akan menjadi bekal hidupmu kelak. Sebuah salam perpisahan yang meneduhkan. Perempuan yang kian renta itu pun memberikan sejumput pasir dalam sekantong plastik kecil yang didapat dari depan rumah. Semoga dengan ini kamu bisa betah dan selalu merasa di rumah meski kamu jauh di luar sana, Nak. Tersenyumlah keduanya. Rembulan malam itu menyinarkan keharuan. 

Torun akan dipondokkan ke luar kota di salah satu pesantren yang menjadi tonggak sejarah berdirinya salah satu organisasi sosial-keagamaan terbesar. Konon di sana tertempa para santri yang tangguh di bawah asuhan para kyai yang bermental visioner.

Masa-masa perpisahan keduanya pun ternyata masih berlanjut saat Torun harus melanjutkan pendidikan tingginya ke luar provinsi. Kini seperti nasibnya dengan orangtuanya. Ia dan neneknya pun harus menanam rindu sebelum bertemu. Biasanya ia pulang saban liburan semester untuk memanen rindu itu. Rindu yang dirasanya selalu semerbak dan berwarna-warni layaknya di taman bunga tak lekang pandang. Baginya perjumpaan dengan neneknya adalah momen spesial dan mahal. Ia tak sabar. 

Namun di tahun ini, ia harus menunggu lebih lama mekarnya kuncup rindu itu, keadaan yang menjadikannya tertahan pulang. Hampir dua musim berlalu ia masih mendekam membusuk menanti kapan tiba waktu ia bisa memetik bunga-bunga taman nan elok itu. Ia menunggu, meratapi, dan mengutuk nasibnya yang tak menentu. Sebuah rindu menjelma renjana saat ia ingat dimana ia biasa membaringkan kepalanya di pangkuan neneknya. Aaah.. Tunggu aku Nek! 

*****

Jarum jam sudah mengangkangi angka 7 lebih, tak ayal ia beranjak dari posisinya yang menyedihkan itu. Torun punya tradisi sendiri, apapun aktivitas di bawah pukul 10 ia enggan mandi. Benar saja, dia hanya menyapu wajahnya dengan air tanpa sekalipun memikirkan bau badannya yang super busuk. Dengan tangkas ia memakai baju ritual khas mahasiswa yang hendak sidang. Kemeja putih selengkap dasi hitam polos.

"Rada iya juga aku kalau berpakaian rapi gini"

Ia siap sekarang.

"Aku pasti bisa!" pekiknya dalam hati

"Jangan sampai tumbang duluan!" tandasnya lagi

Sebagai mahasiswa, Torun terlibat aktif di lingkungan para aktivis. Ia dididik di organisasi pergerakan kemahasiswaan yang punya reputasi malang melintang. Bertemu orang baru, menghadiri kajian-kajian ilmiah, berbicara di depan khalayak, berkhotbah di forum-forum diskusi, dan beradu pendapat bukanlah hal yang sama sekali baru. Ia mantap untuk sidang!

Sebelumnya memang ia sudah mengabari ibunya bermaksud meminta restu untuk kelancaran sidangnya dan juga salat hajat barang 2 rakaat untuk meminta bimbingan dan keterlibatan-Nya.

Detik-detik mendebarkan itu pun sudah di depan mata. Seketika bayangan neneknya yang terbaring lemas di rumah sakit kembali menghantui fokusnya. Sembari memejamkan mata, ia menghela nafas dan mengirimkan sepinta Al-Fatihah untuk neneknya. Ia punya keyakinan bahwa komunikasi yang bisa ia lakukan paling intim saat itu adalah dengan mengirimkan doa-doa pada neneknya yang masih dalam keadaan koma. Betapa sesak nafasnya, tapi mau tak mau ia dipaksa menelan pahitnya keadaan itu.

Ia menjalani sidang skripsi tanpa kesulitan berarti. Revisi minor menurut bahasa kampus. Betapa riangnya ia, satu fokus telah selesai. Selanjutnya? Ia berencana pulang ke kampung halaman dan menengok kondisi neneknya langsung. Ia bersumpah akan menjaga neneknya sampai takdir akan menentukan bagaimana berjalannya perjalanan hidup seseorang. Pantang aku menginjakkan rumah sebelum bertemu dengan nenek. Dia membulatkan tekad.

Begitulah Torun di pagi menjelang siang itu, ia bersuka dalam kedukaan, dan berduka dalam atmosfer yang menuntutnya harus bersuka. Ia melengos menatap pematang sawah persis di depan rumah kontrakkannya. Dibuangnya nafas dalam-dalam. Hatinya berkecamuk harus menuruti perasaan yang mana. Dua perasaan yang saling tarik ulur. Sial. Serapahnya. 

Ia pun kini terdiam, lama terdiam. Hanya itu yang ia bisa lakukan. Pesta itu akhirnya tanpa selebrasi, tanpa upacara, tanpa gelak tawa. Ia mengembalikkan pikirannya pada seonggok tubuh yang sudah mengeriput terbujur tak berdaya di atas kasur. Seonggok tubuh perempuan yang amat dicintainya, pahlawan sejati dalam hidupnya. Sesingkat Al-Fatihah lagi ia tujukan pada perempuan malang itu. Matanya jauh mengawang, kosong.

Berselang saat, Torun mengabari ibunya bahwa dia telah selesai dan sebentar lagi akan pulang untuk memetik rindu dengan neneknya. Dipaksanya bibirnya tersenyum.

Sayangnya waktu itu sudah terlalu siang untuk pulang. Selama pengalamannya, itu tidak cukup untuk bisa sampai ke rumah karena ia harus melewati sedikitnya 3 terminal dan berganti 3 bis juga. Sialnya, pada terminal terakhir itu, bis yang mengantarkan ke kotanya hanya sampai pukul 6 sore. Dan menurut perhitungannya itu tidak akan cukup. Kalau pun dipaksa, ia harus bersedia bermalam di terminal. Torun akhirnya memutuskan untuk menunda kepulangan sampai esok harinya. Pagi-pagi buta aku harus pulang! Ia berjanji pada diri sendiri.

Setelah riuh rendah azan duhur berkumandang, gawainya terdengar suara pekak tangis ibunya yang tak tertahankan. Ia tersentak kaku, seperti sedang dialiri sengatan listrik. Apa gerangan yang terjadi? Batinnya. Ia mencoba menenangkan hati dan mendamaikan pikirannya yang sudah menggapai-gapai pada sesuatu yang paling ia tidak pernah ingin bayangkan. Semakin keras ia menolak pikiran dan perasaan itu, semakin kuat juga apa yang ada dipikirannya itu menjejali kepalanya.

"Kamu sekarang dimana, Nak?"

"Di warung, Mak. Beli sarapan, tadi belum sempat sarapan"

"Yaudah kalau nanti sudah di kontrakkan, telpon Mak ya, Nak?"

Ibunya dicurigai menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang ditimbun dalam-dalam. Torun semakin menerka-nerka semak belukar yang selama ini pantang ia jamah. Tapi siapa yang tidak tahan untuk itu. Setangkas kuli ia selesaikan makan lalu pulang ke kontrakkan. Gawai ibunya tidak bisa dihubungi. Ia ganti menelpon kakak sulungnya.

"Torun, Nak"

Rupanya yang mengangkat telpon adalah bibinya. Adik ketiga dari ibunya.

"Kamu sudah tidak bisa bertemu nenek lagi, nenek sudah meninggal"

"Nenek meninggal pagi tadi!"

Seketika telpon ia matikan. Tanpa mengucap sepatah kata pun. 

Lunglailah sekujur tubuhnya, dilepasnya baju yang dikenakan dan dibenamkan wajahnya dalam-dalam lalu menangis sejadi-jadinya. Tak ingin tangisnya terdengar teman serumahnya. Ia sebenarnya tak pandai menangis, namun hanya itu kemampuannya,  menangis sekuat dan semampu dia bisa. Ia kalap dalam kubangan kedukaan.

Kabar dari langit telah berubah dalam bentuk yang lain. Kabar langit yang seketika bergerak di bawah garis kun fayakun dalam kuasa ketetapan-Nya. Sedangkan ibu dan bibinya adalah pembawa pesan kabar langit itu kepadanya.

Dengan sisa-sisa kesadaran dan kekuatan yang ada, Torun mencoba menengadah dengan tegar lalu memanjatkan doa.

"Ya Allah... ampunilah nenek hamba, rahmatilah dia, bebaskan dan maafkanlah dia"  ia terisak dan suaranya seakan tertelan tangisnya

"Ya Allah... muliakanlah tempatnya, luaskanlah kuburnya, dan mandikanlah dia dengan air, salju, dan es. Bersihkanlah dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih dari kotoran. Berikanlah dia rumah yang lebih baik dari rumahnya di dunia. keluarga yang lebih baik dari keluarganya di dunia, pasangan yang lebih baik dari pasangannya di dunia. Dan masukkanlah dia ke dalam surga dan lndungilah dia dari siksa kubur dan siksa neraka"

Kembali dibenamkannya wajahnya di baju itu. Tangisnya sudah mulai mereda. Terik siang yang memancarkan kesedihan, kemarahan, dan penyesalan.

Ia telah kehilangan pujaan hatinya, tanpa sempat mengucapkan bahasa perpisahan yang dalam, tanpa kecupan untuk terakhir kalinya, tanpa sempat mengantarkannya pada peristirahatan yang hakiki. Perpisahan yang menyakitkan, taman bunga yang hendak dikunjunginya itu kini seketika layu. Gugur dan berhamburan di awang. Sebuah patah hati tak terperi. Pada siapa lagi aku harus pulang? Rumah rindu mana lagi yang aku alamatkan? Gugatnya. 

Perempuan tua yang menjadi sosok penting dalam sejarah hidupnya telah berpulang ke asal-usulnya yang paling suci, menuju alam kepastian bagi seluruh makhluk yang bernyawa. Ya... Perempuan yang tabah, ikhlas, dan penuh kasih itu kini telah dijemput Sang Kekasih Sejati. Mengahadap keharibaan Dzat yang menjadi sumber segala cinta dan kasih. Dzat yang meruah rahmat-Nya. 

Syahdan, Torun sedikit terhibur mengingat itu. Ia punya keyakinan bahwa neneknya akan baik-baik saja di bawah naungan rahmat Sang Maha Rahman-Rahim. Senyumnya mulai menyabit meski dengan nafas yang berat.

Aku ikhlas Ya Allah. pungkasnya

Sekali lagi ia persembahkan sepucuk Al-Fatihah dan bergegas salat gaib.

Di antara banyak hal yang terlintas dalam pikirannya siang itu.  Ada satu hal pasti yang menjadi kegalauannya adalah apakah ia benar-benar masih pada tekadnya untuk pulang atau justru mengurungkannya?

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Allahummagfir laha warhamha wa'afiha wa'fuanha.

 Yogyakarta, Rabu 15 Sya'ban 1441 H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun