Mohon tunggu...
Saufi Hamzah
Saufi Hamzah Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswa akhir yang mengisi waktu luangnya dengan menjelajahi dunia baru, dan sesekali membual sana-sini

* Perindu Nabi * Pecinta Kyai * Pengagum Sufi * Sebulir bibit yang sedang bermetamorfosis menjadi pohon yang baik, mengayomi, dan memberikan manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Memoar: Kabar Dari Langit (1)

8 April 2020   22:25 Diperbarui: 10 April 2020   21:05 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Torun dilahirkan dari keluarga pelaut sekaligus perantau. Suatu kisah pernah didengarnya kalau kakek buyutnya pernah melaut sampai samudera jauh. Semangat yang juga diteruskan oleh beberapa garis keturunannya sebelum benar-benar beralih menjadi perantau di tanah daratan. Kedua orangtua Torun adalah perantau veteran di negeri seberang. Hampir seluruh keluarga besarnya pernah merantau ke negeri nan jauh. Ia mungkin mewarisi darah itu. Layaknya tradisi para perantau, kedua orangtua Torun pulang sekali setiap tahunnya di bulan Ramadhan dan kembali lagi ke tanah antah-berantah itu setelah datangnya tanda orang-orang saling memaafkan antar sesama tak lagi menjejali jalan-jalan perkampungan. Torun dititipkan ke neneknya di usia yang sebenarnya masih belum lepas sapihan ibunya. Tapi apa boleh buat, anaknya harus didik dan dibesarkan di lingkungan yang kondusif dan agamis. Suatu keputusan yang berat, tapi begitulah hidup, keputusan kadangkala lahir dari situasi yang tidak memihak tapi tetap harus diputuskan.

Torun kecil itu sekarang dibawah ayunan gendong neneknya. Suatu hari kuharap kau menjelma menjadi sosok lelaki yang tangguh, Nak! bisik neneknya.

Di usia yang masih seumur musim kemarau itu, Torun diasuh penuh cinta layaknya anak sendiri. Tak sedetik pun perhatian neneknya terlepas pada Torun kecil. Ia menjadi teman setia di masa-masa senjanya.  Dari sanalah jalinan batin keduanya terjalin kokoh dari hari ke hari secara naluriah. Sebuah rekaman dalam ingatan Torun masih tampak jelas betapa menyamuderanya kasih sayang dan kesabaran neneknya. Perempuan itu adalah pahlawan yang mendapatkan posisi tersendiri dalam hati Torun. Perempuan yang akan selalu diingatnya sampai kapan pun. Mereka hidup bersama dalam tahun-tahun yang panjang. Tahun-tahun dimana mereka menciptakan kepingan-kepingan yang membekas abadi dalam hati dan senantiasa hidup dalam diri keduanya. Bagi Torun, neneknya sama kedudukannya seperti kedua orangtuanya. Suatu kali ia bertekad untuk memberi porsi yang sama dalam hal berbakti.

Dari kecil, apapun yang dilakukannya, neneknya selalu mengetahuinya. Naluri orangtua tidak pernah padam. Di antara cucu-cucu lainnya, Torunlah yang sering kali dinobatkan sebagai pemenang karena menjadi prioritas neneknya. Dia sendiri tak tahu persis kenapa demikian.

Sebagaimana umumnya anak-anak, Torun kecil juga nakal dan bengal. Lihat saja, suatu waktu Torun merengek minta dibelikan air minum oleh neneknya, namun yang ia minta bukanlah satu botol minuman, melainkan 1 galon. Di satu subuh juga ia pernah disuruh neneknya mengaji Al-Qur'an ke salah seorang guru Agama di kampungnya. Jarak rumahnya hanya satu gang ke tempat ngajinya, ia sebenarnya enggan namun karena keterpaksaan ia akhirnya berangkat dan menyiasati supaya akal bulusnya tetap mulus. Agak jauh dari rumahnya, Torun berhenti di salah satu rumah warga beberapa saat sebelum betul-betul sampai di rumah guru Agamanya. Dengan memaninkan tempo dan estimasi waktu ala gelandang pengangkut air, ia bergegas pulang ke rumah dengan gestur kemenangan seakan ingin menunjukkan ke neneknya kalau sudah menjalankan titah suci tersebut. Itu adalah sepotong dari sekian panjang deretan daftar kenakalan Torun yang anomali nan menggelitik.

Meskipun masa kecilnya dikatakan orang gemuk, putih, dan tampan.  Torun kini berperawakan kurus, kulitnya sawo matang, berpostur tinggi, dan masih sedikit terlihat jejak-jejak ketampanannya. Ia dikaruniai mata sayu seperti tidak pernah benar-benar terjaga, juga cara membelalaknya yang sedikit berbeda. Ia acapkali diledek karena terlalu tinggi tapi selalu ditimpali dengan melempar gurau kalau kakek buyutnya berasal dari Turki waktu masa penjajahan dulu dan nenek buyutnya memang asli pribumi. Kamu bisa lihat dari perawakan tinggi, rambut ikal, dan hidung mancungku, itu turunan genetis kakekku. Selebihnya dari nenek.

Sayangnya, masa-masa kebersamaan mereka rupanya harus terhenti saat Torun selesai lulus MTs. Ia terwarisi tradisi keluarganya. Sebuah tradisi yang membuatnya harus menerima kenyataan untuk berpisah dengan perempuan yang selalu di sampingnya. Sebuah awal perpisahan yang memilukan bagi mereka berdua. Perpisahan yang tak terelakkan. Tapi bagi mereka, itu bukan suatu keterpaksaan. Kamu harus mereguk manisnya ilmu agama di luar sana, jadilah orang baik dengan akhlak dan ilmu. Itu akan menjadi bekal hidupmu kelak. Sebuah salam perpisahan yang meneduhkan. Perempuan yang kian renta itu pun memberikan sejumput pasir dalam sekantong plastik kecil yang didapat dari depan rumah. Semoga dengan ini kamu bisa betah dan selalu merasa di rumah meski kamu jauh di luar sana, Nak. Tersenyumlah keduanya. Rembulan malam itu menyinarkan keharuan. 

Torun akan dipondokkan ke luar kota di salah satu pesantren yang menjadi tonggak sejarah berdirinya salah satu organisasi sosial-keagamaan terbesar. Konon di sana tertempa para santri yang tangguh di bawah asuhan para kyai yang bermental visioner.

Masa-masa perpisahan keduanya pun ternyata masih berlanjut saat Torun harus melanjutkan pendidikan tingginya ke luar provinsi. Kini seperti nasibnya dengan orangtuanya. Ia dan neneknya pun harus menanam rindu sebelum bertemu. Biasanya ia pulang saban liburan semester untuk memanen rindu itu. Rindu yang dirasanya selalu semerbak dan berwarna-warni layaknya di taman bunga tak lekang pandang. Baginya perjumpaan dengan neneknya adalah momen spesial dan mahal. Ia tak sabar. 

Namun di tahun ini, ia harus menunggu lebih lama mekarnya kuncup rindu itu, keadaan yang menjadikannya tertahan pulang. Hampir dua musim berlalu ia masih mendekam membusuk menanti kapan tiba waktu ia bisa memetik bunga-bunga taman nan elok itu. Ia menunggu, meratapi, dan mengutuk nasibnya yang tak menentu. Sebuah rindu menjelma renjana saat ia ingat dimana ia biasa membaringkan kepalanya di pangkuan neneknya. Aaah.. Tunggu aku Nek! 

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun