Sejak 2017, lebih dari 1,1 juta etnis Rohingya hidup di kamp-kamp pengungsian di Cox's Bazar, Bangladesh, setelah terusir dari Myanmar akibat diskriminasi dan kekerasan. Situasi ini menjadikannya salah satu krisis pengungsi terbesar di dunia.
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) menjadi aktor utama dalam memberikan perlindungan dasar: tempat tinggal, air bersih, layanan kesehatan, dan pendidikan darurat. UNHCR juga berperan membawa isu Rohingya ke panggung internasional, mendorong solusi jangka panjang seperti repatriasi sukarela dan penempatan di negara ketiga.
Dalam 18 bulan terakhir, Bangladesh menerima tambahan 150 ribu pengungsi baru, memperberat beban yang sudah ada. Sementara itu, kebutuhan dana untuk tahun 2025--2026 mencapai 934,5 juta USD guna membantu 1,48 juta orang, namun kontribusi donor masih jauh dari target. Akibatnya, bantuan pangan, layanan kesehatan, dan perbaikan infrastruktur kamp semakin terbatas.
Contoh nyata adalah program cash for work di kamp Rohingya, di mana pengungsi diberi insentif untuk memperbaiki jalan dan menstabilkan lereng demi menghadapi musim monsun. Program ini vital, tetapi sangat bergantung pada dana internasional.
UNHCR mampu menyelamatkan kehidupan sehari-hari pengungsi, tetapi tidak berdaya mengatasi akar masalah: ketiadaan kewarganegaraan di Myanmar dan sikap Bangladesh yang enggan memberi status permanen. Perhatian dunia yang kerap bergeser ke konflik lain juga membuat krisis Rohingya terancam dilupakan.
UNHCR adalah penopang utama pengungsi Rohingya, meski terbatas oleh politik dan pendanaan. Krisis ini seharusnya menjadi tanggung jawab bersama komunitas internasional untuk memastikan bahwa kemanusiaan tidak berhenti pada batas negara atau kepentingan politik semata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI