Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Moralitas dan Agama sebagai Penyebab Utama Kejahatan?

19 Februari 2017   10:31 Diperbarui: 19 Februari 2017   14:17 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar: sowhatfaith.com"][/caption]

 

Saya dengar ada seorang filsuf di sana yang berteriak-teriak menyalahkan moralitas dan agama sebagai penyebab utama kejahatan. Mungkin dia berestimasi demikian lantaran dia kira moralitaslah yang membuat manusia membunuh, membantai, memotong kepala dlsbnya. Atau dengan kata lain, saya kira dia mau bilang bahwa disebabkan orang-orang yang bertuhanlah semua kengerian itu terjadi.

Saya jadi berpikir, orang pintar ini pasti belum ngerti dengan hakikat dunia. Mungkin dia begitu menginginkan, memimpikan dunia yang damai, tentram tanpa konflik dan peperangan. Tapi, saya justru kok merasa hal yang demikian itu cuma utopis belaka ya? Tak usah jauh-jauhlah, kita dengan diri sendiri saja berperang terus menerus, kok. Lha, namanya juga kehidupan, pasti ada yang baik dan yang buruk dimana hal itu selalu berbenturan.

Lagian, kalau filsuf tersebut menuduh semua itu terjadi lantaran agama, rasanya konklusi semacam itu bukanlah suatu analisis yang bisa dikatakan logis juga. Begini saja, kita mau sebut agama yang samawi atau agama non-samawi, kalau agama-agama itu memang bersubstansi tentang ajaran etika, moral, dan berbagai pranata untuk mengatur aspek-aspek kehidupan manusia, lantas apakah kita bisa mengatakannya salah? Kita tak usah terlalu jauh memperdebatkan soal keyakinan apa yang disembah dari masing-masing penganut agama tadi. Tidak usah sampai ke situ. Kita bicara secara holistik saja dalam konteks utilitas agama dan implikasinya pada sisi kemanusiaan kita.

Jadi, sebenarnya apa dan anasir mananya sih yang salah? Mungkin filsuf tadi tidak memahami kontekstual dan aktualitas sejarah. Kalau di zaman dulu orang-orang pada perang dan bunuh-bunuhan, jangankan mereka yang beragama, karena masyarakat yang hidupnya profan pun juga berperang. Lha, kalau mereka tidak perang kan mereka bisa ditindas; Kan mereka bisa dijadikan budak? Siapa pula yang mau dijadikan budak? Makanya dari konstelasi sejarah tadi bisa dikatakan kalau zaman dulu mau tidak mau masyarakat dalam suatu negeri mesti berperang. Dan dari hal itu, cobalah kita analisis lagi, apakah benar bahwa moralitas maupun agama berimplikasi menjadi penyebab peperangan, pembunuhan dsbnya tadi?

Lagian, persepsi yang salah kalau kita menilai bahwa orang beragama itu sudah pasti benar, sudah pasti suci. Bukannya agama itu diajarkan untuk mensucikan, memperbaiki jiwa personal dan sosial supaya senantiasa berorientasi pada kebaikan dan kebenaran di tengah ketidaktahuan maupun rancunya nilai-nilai? Jadi tentunya orang beragama juga punya dosa dan kesalahan. Lagipula, karena mereka merasa punya dosa dan kesalahan yang besarlah lantas mereka mendekatkan diri kepada Tuhan. Persepsi yang jelas salah kalau kita menilai orang-orang beragama itu tidak boleh berperang. Setidaknya, berperang melawan hawa nafsu pribadi dulu-lah.

Di sisi lainnya tentu orientasi kita tidak lain adalah kebenaran (berdasarkan keyakinan masin-masing). Masalahnya, bukankah kita bisa saja keliru dalam memahami sesuatu, termasuk sebuah kebenaran sekalipun? Mana ada dalam hidup ini kita mendapatkan atau menggenggam kebenaran, terus kita mengklaim "aku sudah benar, aku sudah benar, aku adalah manusia yang tak akan pernah salah!" Mana ada hal yang seperti itu. Rasanya kalau ada orang yang merasa begitu, cocoknya ya diketawain saja.

Lha, soalnya kita di dunia ini kan tugasnya mendekati kebenaran itu tadi? Buktinya, toh dalam agama ada istilah "jalan yang lurus, jalan yang benar" yang tidak lain merupakan jalan untuk berusaha mendekati kebenaran. Tidak ada istilahnya seorang manusia di dunia ini sudah benar secara absolut. Dalam sejarah kan kita juga tahu kisah Nabi Musa yang belajar pada Nabi Khidir. Dan kalau memang para nabi merasa benar, mereka tidak mungkin ingin bermusyawarah, berdiskusi dengan masyarakatnya, dengan umatnya, seperti yang dilakukan Rasulullah saw. Nyatanya, bukankah interaksi intelektual semacam itu juga tetap mereka lakukan?

Saya pikir, filsuf yang teriak-teriak di sana itu terlalu emosional sehingga memandang suatu fenomena dengan analisis yang dangkal. Lha, kalau orang sudah terlampau emosian dalam menanggapi suatu hal, pastinya dia akan susah berpikir secara jernih, secara tenang. Padahal, bukannya berpikir itu mesti mendalam?

Saya heran aja, gitu lho. Ternyata ada filsuf yang begitu emosinya sampai tak lagi berpikir mendalam. Cuma gara-gara emosi terus teriak-teriak di tengah keramaian orang, hilang kefilsufannya, hilang kejernihan pikirannya. Tontonan gratis lagi...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun