Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Beriman atau Tak Beriman, Apa Salahnya?

25 Juli 2019   19:45 Diperbarui: 25 Juli 2019   19:49 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan Bercadar/dokpri

Saya tuh masih aja heran dengan pemahaman kita mengenai agama beserta fenomena keagamaan. Bukannya apa, soalnya kita ini hobi banget melanggar-langgar hak Tuhan. Suka menjustifikasi dan mengadili orang lain. Suka menilai begini-begitu. Apalagi kalau penilaiannya secara hitam-putih. Atau yang paling ekstrim menilai dengan parameter surga-neraka, halal-haram, benar-salah atau yang semacam itu, seolah-olah tidak ada toleransi di tengah-tengahnya. Seolah-olah hidup ini kalau gak salah ya benar. Atau kalau gak benar ya salah. Tidak ada sisi abu-abu di antaranya.

Terutama yang paling mengherankan itu soal keyakinan seseorang. Yang paling klise ya ihwal orang beriman dan orang kafir. Padahal keduanya itu sama saja. Saya bilang "sama saja" karena itu pilihan hidup seseorang. Orang mau beriman pada Tuhan dan Nabi, ya itu pilihan personal dia, pilihan hidup dia. 

Begitu juga kalau ada orang yang mengingkari atau tak mempercayai, itu pun pilihan hidup dia. Jadi, apa salahnya pilihan hidup seseorang? Apa salahnya keyakinan seseorang? Seandainya kita memahaminya sebatas ini --yaitu sebagaimana pilihan hidup seseorang-- permasalahannya gak akan memanjang dan bikin panas. Apalagi sampai bikin sakit hati.

Maksud saya begini: kita memahami sebutan mukmin-kafir tadi terlalu jauh. Bahkan sebutan  "iman" dan "kafir" itu tadi sangat konotatif. Yang beriman itu suci, yang kafir berdosa. Yang beriman sudah pasti baik, yang kafir buruk. Padahal kan gak begitu? Coba aja kita lihat kenyataan. 

Apa sedemikian bersihnya orang beriman? Apa sedemikian buruknya orang yang tak beriman? Tapi karena kelirunya kita memahami ayat-ayat Tuhan, kita akhirnya melanggar batas hak-hak Tuhan. Kalau Tuhan mengatakan si ini akan masuk surga dan si itu masuk neraka, ya itu penilaian dan sikap Tuhan. Itu soal bagaimana Dia akan mengadili nanti. 

Nyatanya kan kita gak bisa  memasukkan orang lain ke surga atau ke neraka? Kita gak punya otoritas untuk melakukan itu. Itu bukan urusan kita. Itu di luar urusan kita. Lalu kenapa kita bisa berani-beraninya menghakimi orang lain masuk surga atau neraka? Seolah-olah diri kita sudah aman dunia-akhirat. 

Yang selalu terjadi ya itu tadi: dimana kita sering menggunakan justifikasi Tuhan. Padahal itu penilaian Tuhan itu penilaian vertikal. Penilaian kita ya cukup secara horisontal saja. Makanya saya gak habis pikir... Manusia mana sih yang pingin lihat orang lain di siksa di neraka? Kalau ada orang mengaku beragama dan dia ingin orang lain masuk neraka, itu kan aneh?

Kalau Tuhan dalam Kitab Suci mengatakan soal surga-neraka, saya sendiri memahami itu sebagai konsekuensi --terutama bagi perilaku saya sendiri. Atau saya juga memahami itu sebagai pengetahuan pribadi. Tapi kita pun tahu bahwa persoalan orang beriman dan orang kafir berikut surga-nerakanya tadi sekarang menjadi pengetahuan umum. 

Kita gak perlu lagi memperingatkan orang soal surga-neraka --apalagi terkait fenomena "tukar tambah" mualaf atau murtadnya orang lain. Anda tidak perlu memperingatkan orang lain bahwa dia akan masuk surga atau masuk neraka. Dia sudah tahu itu dan dia sudah memilih apa yang dia imani dan apa yang dia ingkari. Kita semua sudah tahu. 

Jadi, peringatan semacam itu sekarang bukan lagi sesuatu yang berarti. Apalagi beragama bukanlah suatu paksaan. Buat apa diperingatkan? Buat apa diberitahu apa yang sudah orang ketahui secara umum? Apalagi kalau sampai ada unsur pemaksaan, marah, atau merendahkan. Bahkan kayaknya sekarang ini lantaran pilihan iman seseorang, ujung-ujungnya dia di-bully. Lha yang di medsos-medsos itu kan begitu?

Jadi, nampaknya kita harus kembali lagi memahami agama sebagai persoalan yang sifatnya personal. Sebagai umat beragama kita bukan penjaga yang mengurusi iman orang lain. Bahkan nabi pun tidak mengurusi itu, apalagi kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun