Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Agama untuk Agama" itu "Nothing"

16 Mei 2018   17:12 Diperbarui: 16 Mei 2018   17:29 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: koleksi punyakuh

Agama bukan pula barang mentah. Agama harus selalu dipahami, diolah oleh akal sehat manusia supaya bisa diimplementasikan ke dalam berbagai permasalahan aktual kita.

Analoginya, yang namanya buah-buahan itu dari dulu ya tetap sama. Tapi karena manusia memiliki akal untuk mengolah, maka buah-buahan itu menjadi berbagai olahan makanan dan akan selalu ada makanan jenis baru yang berbahan dasar buah-buahan, yang tentu esensi dari buah-buahan itu selalu bermanfaat.

Begitu juga dengan berbagai hal mendasar di muka bumi ini. Maka memahami agama tidak seharusnya dilakukan secara tekstual belaka. Juga tidak seharusnya hanya bergantung pada teks-teks keagamaan saja. Ada esensi yang harus selalu ditemukan karena begitu luasnya agama mencakup segala macam permasalahan.

Tapi esensi itu tak akan bisa ditemukan kalau kita membatasi pemahaman kita hanya pada substansi agama. Apalagi kalau menganggap perintah agama sebagai kepatuhan mutlak dan bukan pilihan sebagaimana manusia adalah makhluk yang bebas memilih. Sikap seperti itu sudah cukup untuk dijadikan indikator bagaimana kualitas intelektual dan spiritual.

Agama Tidaklah Hebat!

Bukanlah agamanya yang hebat, melainkan manusianya. Bukanlah dengan banyak membaca kitab-kitab, seseorang akan menjadi pintar. Bukan hanya sekedar menghapal seluruh ayat-ayat saja seseorang bisa dikatakan tahu agama. Karena itu semua hanyalah sarana pendukung. Kalau pun kita mengakui bahwa agama memiliki kehebatan, di situlah kita harus sadar bahwa tanpa kehebatan manusia, kehebatan agama hanyalah nothing.

Ya, yang hebat itu justru manusianya dan apa yang ada di dalam dirinya; kemampuan internalnya. Hebatnya seorang manusia ditentukan oleh seberapa intens dia menggunakan rasionya untuk memahami dan menggunakan hatinya untuk meresapi suatu fenomena (termasuklah di sini ayat-ayat Tuhan).

Di situlah pengalaman akal sehat (pikiran dan perasaan) personal tadi membawa dirinya naik semakin tinggi kepada pemahaman-pemahaman baru yang tak terbatas. Orang yang tak pernah berolah-rasa pasti tak akan ada kesan pada dirinya ketika melihat suatu keburukan terjadi. Baginya itu hanya sebatas tontonan.

Melihat wakil rakyatnya centang-prenang pun dia tak akan acuh, seolah-olah itu bukan urusannya dan tak ada kaitan dengan dirinya sama sekali. Orang yang kurang melatih akal sehatnya untuk mengembara menelusuri fenomena-fenomena kehidupan, tak akan bersikap kritis dan tak memiliki kesan afektif ketika "membaca" suatu fenomena-fenomena tersebut.

Tapi manusia yang hebat tadi bukanlah yang paling hebat. Dia juga bisa keliru. Dan karena dia tahu bawa dirinya memiliki kekurangan, di situlah dia harus berprinsip pada sesuatu yang benar dan menjadikannya sebagai fundamen untuk selalu berusaha berkata dan berperilaku (mendekati) benar. Tapi bukan dengan merasa sudah benar! Ciaaaaaat!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun