Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bangsa yang Belum Dewasa Menyikapi Ihwal Keagamaan

19 September 2017   16:29 Diperbarui: 19 September 2017   18:00 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: tagged.com

Sesuatu yang terasa aneh, bahkan lucu, kalau ada yang mengatakan semua agama itu benar. Padahal yang pantas hanyalah penilaian bahwa para penganut agama boleh mengatakan kalau agamanya itu benar. Kalau pernyataan demikian ada pada diri kita, itu tak salah karena kita berhak berpenilaian seperti itu. Saya boleh saja menilai agama yang saya anut adalah agama yang paling benar, dan agama selain agama saya adalah suatu kekeliruan. Begitu pun orang yang berbeda agama dengan saya, boleh saja berpenilaian sama.

Masalahnya, tak seharusnya juga para penganut suatu agama merasa benar sendiri lantaran penganut agama lain juga tentu merasa benar sendiri. Kalau memang kita meyakini bahwa kita benar dan yang lain salah, maka itu cukup menjadi pengetahuan pribadi dan tidak usah diucapkan. Padahal bukannya kita tak tahu kalau saja kebenaran subjektif tadi bertemu dengan pernyataan serupa, yang ada selanjutnya adalah pertikaian atas kebenarannya masing-masing. Kecuali, kalau kita sudah bisa bersikap dewasa dan mampu mengarahkan kebenaran subjektif itu kepada perdebatan intelektual daripada pertengkaran emosional.

Artinya, persoalan keagamaan kita belum bisa diterima secara lapang dada. Mungkin saja orang masih akan bersikap apriori ketika seorang penganut agama mempelajari agama lain. Sikap apriori itu bisa berupa kekhawatiran jangan-jangan nanti malah terpengaruh dan pindah agama.

Padahal kalau saja seseorang terlebih dahulu mengenal baik agama yang dianutnya, kekhawatiran itu tak perlu ada. Wajar saja, lantaran kita sudah tahu perbedaan di antara keduanya dan sudah paham mana yang paling benar, paling rasional, dan paling sesuai dengan hati nurani.

Lagipula, bagaimana bisa seseorang mengatakan kalau agamanya adalah yang paling benar kalau dia belum menganalisis agamanya tadi? Semua hal perlu dianalisis supaya seseorang bisa sampai kepada muara keyakinannya, dan barulah dia bisa mempelajari agama lain.

Makanya, seandainya saya tidak mengetahui sedikit banyak tentang teologi agama lain, barangkali saya pun tak akan berani mengatakan bahwa agama sayalah yang paling benar. Apa alasan saya mengatakan agama saya yang paling benar? Apa argumentasi saya ketika ditanya kenapa saya harus menyembah hanya kepada Sang Pencipta, dan  tidak boleh menggambarkanNya kedalam suatu bentuk ciptaan berupa patung, lukisan dan lain sebagainya? Sebenarnya di balik perintah dan larangan agama, itu semua ada alasannya dimana tinggal pribadi-pribadi para penganut agama tadilah yang menganalisis atau memikirkannya. Jadi, bukan hanya sekedar mengimani secara buta tanpa punya argumentasi.

Ditambah lagi, kita tak perlu "geli" ketika seseorang sering menuliskan tentang ajaran-ajaran atau ayat-ayat pada kitab suci agamanya, baik itu di media sosial atau media-media lain. Anggap saja itu sebagai pengetahuan umum, walaupun tentu tak terlepas dari penilaian subjektif.

Pokok tulisan ini sebenarnya hanyalah mengajak kita semua --siapapun itu-- untuk kembali mengenal agama masing-masing dan tidak terlalu cepat "jijik" dengan para penganut agama dan substansi agamanya di tengah-tengah sensitivitas keagamaan saat ini. Karena ini juga berhubungan erat dengan sikap kedewasaan untuk bisa menghargai hal-hal yang tidak sesuai dengan pemahaman kita, tanpa terlepas dari nilai-nilai subjektivitas. Artinya, ini juga terkait dengan sikap moderat antara subjektifitas dan obyektivitas, maupun sikap demokratis untuk kemudian tidak saling mensubordinasi atau memunculkan inferoritas terhadap pihak lain.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun