Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masa Depan Pendidikan Kita

2 Mei 2019   23:04 Diperbarui: 2 Mei 2019   23:24 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita baru saja memperingati Hari Pendidikan Nasional. Namun, bukan berarti pembahasan pendidikan telah berhenti sampai di sini. Justru kita harus terus-menerus memikirkan seperti apa pendidikan kita di masa yang akan datang.

Pembahasan mengenai pendidikan memang tidak ada habisnya. Karena pendidikan merupakan ilmu yang terus berubah dan berkembang seiring perubahan zaman. Walaupun sebenarnya kondisi pendidikan di Indonesia tidak banyak berubah sejak dulu. Pendidikan dalam hal ini bisa dalam arti luas maupun dalam arti pendidikan di sekolah.

Perubahan di bidang pendidikan yang terjadi selama ini masih di permukaan saja. Misalnya, penggantian nama kurikulum, sertifikasi guru, dan berbagai perubahan kebijakan. Menurut beberapa pengamat atau pemerhati pendidikan, perubahan pendidikan Indonesia lebih dipengaruhi oleh politik dan kekuasaan daripada kebutuhan pendidikan itu sendiri. Sehingga muncul istilah "ganti menteri ganti kurikulum". Suatu istilah yang cukup membosankan di kalangan pendidik.

Sejauh ini pembahasan mengenai pendidikan masih seputar hal-hal teknis atau rutinitas. Seperti bagaimana cara mengajar yang kreatif, mengelola kelas, melakukan penilaian otentik, menyusun rencana pembelajaran, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut bukannya kurang penting, tetapi itu berpotensi mengaburkan pandangan kita terhadap tujuan pendidikan yang sejati.

Pendidik selalu disibukkan oleh hal-hal teknis. Sehingga lupa memikirkan pertanyaan refleksi, seperti: mengapa saya harus mengajar? Apa tujuan saya sesungguhnya dalam mendidik siswa? Apakah benar saya terpanggil sebagai pendidik?

Jika diperluas lagi, pertanyaannya dapat berupa: masyarakat seperti apa yang akan dihasilkan oleh sekolah? Dunia seperti apa yang akan dialami dan dihadapi oleh peserta didik kelak? Apakah profesi guru masih relevan di masa depan?

Pertanyaan-pertanyaan ini jarang sekali ditanyakan oleh pelaku pendidikan sendiri. Apalagi menemukan jawabannya. Kecuali mereka yang aktif, atas inisiatif sendiri, ikut seminar dan pelatihan di berbagai tempat. Tapi, jumlah mereka ini masih sedikit dan biasanya tersebar di kota besar saja.

Menurut penulis, beberapa pertanyaan di atas penting karena jawaban demi jawaban dari pertanyaan tersebut, jika dipikirkan secara serius, akan menuntun seorang pendidik pada pemahaman yang utuh dan tindakan yang tepat. Dari sana hal-hal teknis menyangkut pembelajaran akan terlihat jelas; apakah aktivitas mengajar selama ini sudah selaras dengan tujuan pendidikan kita. Ibarat melihat dari ketinggian, kita dapat menentukan apakah kita sudah di jalur yang benar atau malah telah jauh menyimpang. Ini yang pertama.

Secara umum atau biasanya, jika seorang calon guru (bahkan mungkin guru berpengalaman pun) ditanyakan mengapa ia menjadi guru, maka jawabannya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk memberikan yang terbaik, menjadi guru adalah pekerjaan mulia, atau ini adalah panggilan hidup saya, dan sebagainya. Jawabannya berhenti di situ. Dan jika ditanyakan lebih lanjut mengapa harus mencerdaskan kehidupan bangsa atau mengapa panggilan hidupnya begitu, rata-rata akan kebingungan menjawab. Artinya, sang calon guru tersebut sebenarnya belum menemukan sesuatu untuk dilakukan bagi pendidikan, selain mengajar saja.

Penulis mengutip sebuah pemikiran dari Paulo Freire, pakar pendidikan kritis, yang mengatakan bahwa tindakan hanya manusiawi jika dia bukan semata-mata sebuah pekerjaan rutin tetapi merupakan suatu perenungan mendalam. Ada tindakan dan refleksi. Refleksi akan mendasari tindakan selanjutnya. Kondisi pendidikan (sekolah) kita saat ini terlalu sibuk dengan pekerjaan rutin (hal-hal teknis, dalam bahasa penulis) dan melupakan apa yang disebut sebagai refleksi. Jika berdasar pada pemikiran ini, apakah aktivitas belajar-mengajar selama ini bisa dikatakan manusiawi?

Hal kedua yang penulis ingin sampaikan mengapa penting menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah dituliskan di atas karena perubahan teknologi yang sangat cepat saat ini hanya bisa dihadapi oleh orang-orang yang mengetahui secara jelas apa yang akan dia lakukan dan perubahan apa yang segera terjadi. Itu hanya bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas. Setelah gambaran besar diperoleh, maka perubahan apa pun akan siap dihadapi.

Jika menekankan pada hal-hal teknis saja, maka akan ketinggalan. Karena hal-hal teknis tersebut sifatnya sementara dan harus turut berubah seiring perkembangan zaman. Itulah sebabnya ketika perubahan sistem dan metode pembelajaran disosialisasikan, banyak guru mengalami kesulitan. Pelatihan demi pelatihan yang diberikan, menurut pengalaman penulis, biasanya melewati/melompati bagian landasan perubahan yang justru sangat penting. Alasannya, bagian tersebut membosankan dan terlalu teoretis. Biasanya langsung ke penerapan atau praktik. Kalau bisa, salin semua programnya ke laptop masing-masing..

Dengan kata lain, guru pun malas berpikir. Mereka menghindari hal-hal yang menuntut pemikiran mendalam dan reflektif.  Ini adalah kondisi yang memprihatinkan. Jangan harap mendapatkan ide baru atau inovasi pembelajaran dari kondisi seperti ini. Kondisi ini semakin parah jika kita menghadapkannya lagi ke kondisi zaman ini yang disebut sebagai era digital.

Pandangan bahwa era ini adalah era digital telah beberapa kali digaungkan dan dirasakan oleh sebagian besar umat manusia, termasuk sekolah. Seluruh data warga sekolah telah didigitalisasi dan bisa ditelurusi secara online. Beberapa sekolah telah menerapkan sistem absensi digital -- baik guru maupun siswa. Penggunaan teknologi canggih semakin ditingkatkan.

Namun, digitalisasi di sekolah cenderung karena kepentingan pasar. Berbagai promo teknologi terbaru -- dengan iming-iming diskon -- diajukan ke sekolah oleh pihak marketing tertentu. Teknologi ini memang menawarkan kemudahan bagi pekerjaan kepala sekolah atau guru. Tetapi, tidak membawa perubahan dalam proses pendidikan dan pengajaran secara mendasar.

Kepala sekolah memang dimudahkan untuk mengontrol kehadiran guru. Guru pun dimudahkan dalam mengontrol kehadiran siswa. Demikian pula dalam mengajar, guru dapat menyuruh siswa menggunakan internet untuk melengkapi tugas belajar mereka. Kelihatannya memang sangat bagus dan mengikuti perkembangan zaman. Namun, jika ditinjau lebih dalam, proses pendidikannya hanya berubah dari manual ke digital. Tidak lebih dari itu. Ini sama seperti mengganti kapur dengan spidol, papan tulis hitam dengan papan tulis putih, papan tulis putih dengan smartboard, dan seterusnya.

Mungkin hal yang paling mengkhawatirkan adalah kemajuan teknologi membuat sekolah tidak lagi relevan dengan dunia. Arus informasi, baik sifatnya berita maupun ilmu pengetahuan, dapat diakses di mana saja dan kapan saja. Informasi lebih banyak tersedia di luar sekolah ketimbang di sekolah dan mudah didapatkan. Jika ilmu pengetahuan dapat diakses dengan mudah di luar sana, lalu untuk apa sekolah?

Teknologi canggih sekarang menyediakan fasilitas belajar yang sangat menyenangkan buat siswa. Siswa bebas memilih pelajaran, tinggal "klik" maka materi belajar yang diinginkan muncul disertai video menarik, lengkap dengan tips dan trik pengerjaan soal, dan soal-soal latihan yang hasilnya dapat dilihat langsung. Kegiatan ini dapat dilakukan siswa di dalam kamarnya, di ruang tamu, atau di tempat lain manasuka.

Teknologi canggih tersebut tidak pernah marah, bisa diulang lagi dan lagi, menawarkan alternatif lain yang lebih mudah dipahami. Tidak mendapat "penghakiman" kalau hasil tesnya jelek. Sedangkan di sekolah, siswa seperti dalam penjara, dengan bosan mendengarkan guru, dan berbagai aturan harus dipatuhi. Dalam hal ini, peran guru bisa terancam oleh teknologi canggih. Guru hanya dijadikan pelengkap saja di dalam kelas.

Pertanyaannya adalah bagaimana guru menghadapi fenomena tersebut? Sangat sedikit guru yang benar-benar serius memikirkan pertanyaan itu. Dan menurut penulis, itu diterjadi karena guru tidak terbiasa menggumuli pertanyaan semacam itu (termasuk pertanyaan-pertanyaan sebelumnya). Tidak hanya guru, para pembuat kebijakan pun seperti itu.  

Harari, dalam bukunya, Homo Sapiens, mengatakan bahwa kecanggihan teknologi saat ini akan menghasilkan golongan tidak berguna, yaitu golongan manusia yang tidak mampu melakukan apa-apa karena semua hal akan dikerjakan oleh teknologi.  Kehadiran teknologi canggih, yang dikendalikan oleh algoritma, bisa mengambil alih pekerjaan manusia. Ketika algoritma mampu mengajar, mendiagnosis, dan merancang lebih baik dari manusia, apa yang akan kita lakukan? Penulis yakin bahwa pertanyaan tersebut tidak pernah terpikirkan oleh sebagian besar guru di Indonesia.

Menurut penulis, pendidikan di sekolah tetap membutuhkan guru. Guru seperti apa? Guru yang tidak saja kompeten dalam mengajar (jelas ini mutlak diperlukan), tetapi juga mampu berefleksi mengenai tindakannya. Hasil dari refleksi tersebut mendasari tindakan berikutnya sehingga hal itu semakin memperkaya pengalamannya sebagai guru. Guru juga harus mulai belajar mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai masa depan pendidikan.

Mungkin saja ke depan profesi mengajar bisa digantikan oleh sebuah robot, tetapi guru tidak tergantikan dalam hal memahami perasaan orang lain. Guru bisa memiliki ikatan emosional dengan muridnya, teknologi tidak bisa melakukan itu. Teknologi tercanggih di masa depan mungkin saja bisa "membaca" perasaan manusia dengan cara mendeteksi kadar hormon dalam tubuh manusia. Tetapi , ia tidak dapat memberikan pelukan/sentuhan hangat seperti yang dilakukan manusia.

Hal-hal teknis atau pekerjaan rutin seorang guru saat ini, menurut penulis, masih diperlukan. Karena semua itu bermanfaat sebagai pedoman bagi guru. Hanya saja, diperlukan inovasi-inovasi ke depannya agar lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan di masa mendatang.

Bagian tersulit, mungkin, dalam mengubah wajah pendidikan kita adalah pengaruh politik dan kekuasaan. Sebuah pernyataan yang pernah penulis dengar mengatakan, "percuma mendorong penerapan manajemen berbasis sekolah, tapi segala-galanya diatur dari atas".  Selama pendidikan dikuasai oleh kedua faktor tersebut, rasanya sulit memajukan pendidikan. Dibutuhan keberanian, seperti yang dilakukan beberapa sekolah, untuk mengembangkan kurikulum sendiri yang tentunya harus sejalan dengan tujuan pendidikan kita; mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sumber bacaan:

Neil Postman, The End of Education; Redefining the Value of School

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas

Yuval Noah Harari, Homo Sapiens; Masa Depan Umat Manusia

Sumber lainnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun