Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menguak Polemik Lain Dunia Pasar Saham melalui Kasus Jouska

4 Agustus 2020   06:00 Diperbarui: 4 Agustus 2020   06:02 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Founder sekaligus CO PT Jouska Finansial Indonesia, Aakar Abyasa Fidzuno | Sumber: trenasia.com

Jagat media sosial dihebohkan dengan polemik investasi yang melibatkan PT Jouska Finansial Indonesia. Pangkalnya adalah laporan kerugian yang diderita oleh banyak investor yang dananya dipercayakan kepada Jouska untuk diinvestasi pada portfolio saham pilihan manajer investasi perusahaan tersebut. 

Ada berbagai macam hal yang dipermasalahkan, mulai dari ketiadaan izin resmi dari OJK kepada Jouska untuk mengelola investasi, pembelian saham "gorengan" hasil deal para manajer investasi dengan pihak tertentu, hingga legalitas praktik para manajer investasi yang dipertanyakan.

Sebagai perusahaan yang awalnya hanya berkutat pada kegiatan edukasi dan perencanaan keuangan bagi para kliennya, Jouska memang dapat dikatakan telah keluar jalur alias offside dalam perkembangan bisnisnya ketika kemudian memutuskan untuk secara aktif dan langsung mengelola investasi kliennya. 

Dua bidang ini jelas berbeda, namun kurangnya pemahaman masyarakat terkait hal ini membuat kasus semacam ini rawan terjadi. Terbukti, sebelum adanya kasus Jouska ini, sudah berulang kali kita mendengar kasus investasi bodong yang melibatkan uang dalam jumlah besar, janji muluk-muluk yang tidak dapat ditepati, dan instrumen yang beraneka ragam.

Sedikit mengulang kronologi, kasus ini bermula ketika Jouska dituding mengarahkan para kliennya untuk menandatangani kontrak pengelolaan rekening dana investor (RDI) dengan perusahaan afiliasi Jouska bernama PT Mahesa Strategis Indonesia (MSI) yang pada intinya memiliki kuasa untuk mengakses akun dan mengalokasikan dana pada saham tertentu. 

Pada perkembangannya, dana banyak digunakan untuk membeli saham dan reksadana yang nilainya kemudian anjlok. Selain kerugian besar, klien menuding adanya aktivitas insider trading yang pada akhirnya berujung pada pengelolaan dana secara serampangan.

Aakar Abyasa Fidzuno, CEO sekaligus Founder Jouska Indonesia, telah menyampaikan permintaan maaf terkait "keresahan" dan "kegaduhan" yang ditimbulkan ini dan mengajak seluruh pihak untuk mencari "jalan tengah" terkait polemik ini. 

Sementara itu OJK telah berkoordinasi dengan Satgas Waspada Investasi (SWI) untuk menindaklanjuti kasus ini, salah satunya dengan cara menghentikan segala kegiatan bisnis PT Jouska Finansial Indonesia. 

(Selengkapnya dapat dibaca di: https://money.kompas.com/

Melalui polemik ini, banyak terungkap fakta menarik mengenai longgarnya sistem hukum dan edukasi terkait pasar modal dan dunia investasi sebagaimana pemberitaan pada sejumlah media massa sejauh ini. Di tengah keinginan OJK untuk menciptakan ekosistem pasar modal yang kondusif, akuntabel, dan terpercaya, kasus Jouska menjadi tamparan keras sekaligus langkah mundur bagi upaya tersebut. 

Masyarakat pada akhirnya justru semakin takut untuk berinvestasi karena bahkan pasar modal yang sudah diawasi sekalipun masih menyimpan praktik-praktik busuk seperti yang dipertontonkan oleh Jouska dan para perusahaan afiliasinya.

Namun ketimbang menambah tulisan yang tidak memberi sumbangsih kebaruan mengenai kasus Jouska, penulis hendak mengajak para pembaca untuk menyelami polemik yang lebih halus dan tersamar keberadaannya yang sebetulnya sudah ada di dunia pasar modal Indonesia sejak lama. Karena polemik satu ini, kasus Jouska dan banyak investasi saham bodong lainnya dapat terjadi dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit selama bertahun-tahun kendati otoritas terkait sudah berulang kali mengupayakan perbaikan di berbagai lini.

Polemik pertama adalah terkait minimnya pilihan produk investasi, khususnya saham, yang dapat dibeli oleh para investor. Seperti yang mungkin telah kita sadari sejak lama, sebagian besar investor perorangan dalam negeri merupakan kalangan dengan pengetahuan terkait dunia investasi yang relatif awam. 

Kegiatan investasi umumnya dijalankan secara pasif, mirip seperti cara menabung, di mana para investor ini melakukan penyisihan uang secara rutin untuk kemudian dibelanjakan saham yang rencananya akan dibiarkan dalam waktu lama. 

Tujuan investor jenis ini ada dua, yakni capital gain yang berasal dari apresiasi nilai saham secara jangka panjang sejalan dengan kinerja solid emiten serta dividend yang dibagikan tiap tahun dan diambil dari kas emiten. 

Idealnya lagi, dividend dapat digunakan untuk reinvestasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai compounding effect dengan laju eksponensial. Wajar saja, sebab kelompok ini berinvestasi dalam rangka menyiapkan dana untuk keperluan tertentu di masa depan seperti misalnya biaya pendidikan, rekreasi, maupun pensiun.

Masalahnya, berapa banyak pilihan saham yang tersedia untuk mengakomodir kebutuhan ini? Oke, pastinya "saham gorengan" tidak bisa diandalkan. Tapi bahkan tidak banyak investor yang dapat membedakan antara "saham gorengan" dengan "growth stock", antara yang dapat membuat investor rugi lebih dari 50% secara permanen dengan yang mampu melipatgandakan uangnya hingga berkali-kali lipat.

Saham bluechip? Dengan kenyataan bahwa pasar saham kita saat ini masih didominasi oleh investor asing dan institusi dengan aset triliunan, bahkan saham jenis ini sekalipun rawan sekali "digoreng". Tanpa pemahaman yang memadai secara fundamental tentang saham emiten yang hendak diburu, rencana jangka panjang yang matang, serta temperamen yang tahan terhadap dinamika pasar saham, sulit rasanya untuk berinvestasi di pasar saham bagi kebanyakan peminatnya. 

(Ingat, penulis menekankan investasi di sini, bukan trading. Simak tulisan penulis lainnya untuk distingsi selengkapnya antara investor dan trader.)

Untuk kemudian memilih instrumen lain di luar saham juga tidak kalah berisikonya. Berinvestasi pada obligasi, jika keliru memilih dan tergiur bunga yang tinggi, berpotensi membuat kita memilih obligasi dengan kemungkinan gagal bayar yang tinggi. 

Beberapa emiten saat ini sudah mulai kesulitan membayar jatuh tempo obligasinya akibat pandemi sehingga terpaksa melakukan restrukturisasi dan bukan tidak mungkin ke depannya tidak lagi memungkinkan bagi para emiten ini untuk mengembalikan utangnya. 

Reksadana? Oke, mungkin lebih aman. Tapi apakah kita sanggup menunggu nilainya naik perlahan? Logikanya di dalam pengelolaan reksadana, manajer mengutamakan diversifikasi dan sebisa mungkin mereplikasi pergerakan IHSG. 

Sejalan dengan strategi tersebut, Anda tentu tidak dapat mengharapkan return yang jauh lebih spektakuler ketimbang indeks itu sendiri (terkhusus mengenai diversifikasi, penulis mungkin akan membahasnya secara terpisah di lain waktu).

Bagaimana dengan sukuk, ETF, P2P lending, dsb? Lagi-lagi, Anda tetap dituntut untuk memiliki pemahaman yang cukup dan "perut yang kuat" sebagai investor apabila hendak berinvestasi di salah satu kendaraan ini. Tanpanya, Anda hanya akan diombang-ambing oleh dinamika pasar dan para pemain besarnya.

Kenyataan semacam ini membawa kita pada polemik kedua yang lebih sistematis, yakni sulitnya memperoleh bahan pembelajaran yang memadai terkait dunia saham. Betul bahwa selama ini sejumlah instansi terkait seperti otoritas bursa dan sekuritas telah mengupayakan pemberian edukasi mengenai investasi saham. 

Misalnya saja, bursa secara rutin mengadakan Sekolah Pasar Modal (SPM), hasil kerja sama dengan sekuritas tertentu untuk memberikan edukasi sekaligus memudahkan pembukaan rekening bagi investor sehingga ketika selesai acara, investor bukan hanya teredukasi, melainkan juga dapat langsung memulai. Selain itu, sekuritas sendiri kini gencar mengadakan program pelatihan dan diskusi gratis bagi para kliennya. 

Yang kemudian menjadi persoalan, baik SPM maupun kegiatan lain yang diadakan secara mandiri oleh sekuritas nyatanya jauh dari kata "memadai" dalam mengedukasi para investor. Mengapa demikian?

Mari kita mulai dari SPM. Penulis pernah mengikuti dua rangkaian SPM. Yang pertama diadakan di bursa di mana penulis datang sebagai individu dan yang kedua merupakan hasil kerja sama antara komunitas tempat penulis bernaung dengan bursa. 

Yang penulis amati, materi yang diberikan dalam kegiatan SPM sangat tidak seberapa banyaknya dibanding apa yang butuh diketahui oleh investor.

Tentu ada materi, misalnya, mengenai apa itu saham dan bagaimana valuasinya terbentuk, namun keduanya tidak dapat dipertajam dalam pembahasan lebih lanjut akibat keterbatasan waktu. 

Terdapat juga materi mengenai indikator valuasi populer seperti misalnya Price-to-Earning Ratio (PER), namun yang tidak dijelaskan adalah bagaimana cara mendapatkan angka earning sesungguhnya yang rawan dimanipulasi oleh manajemen perusahaan. 

Masih banyak lagi keterbatasan yang ada di dalam SPM yang hingga kini masih diupayakan untuk diperbaiki. Namun bahkan SPM itu sendiri masih kurang populer di kalangan investor awam. 

Beberapa teman penulis yang berinvestasi saham bahkan tidak tahu bahwa terdapat program gratis semacam ini yang dilakukan secara rutin oleh bursa.

Acara yang diadakan oleh sekuritas pun belum dapat dikatakan memadai. Selain sebagaimana SPM yang hanya mampu memberikan "kulit luar" dari dunia saham, acara yang diadakan sekuritas pun perlu kita lihat secara lebih skeptis dan kritis. 

Acara ini umumnya gratis bagi klien sekuritas yang bersangkutan. Apakah kemudian kita dapat mengatakan bahwa sekuritas sedang berbaik hati?

Tentu tidak. Ingat, sekuritas pun didorong oleh motif ekonomi dalam operasionalnya. Pendapatan mereka umumnya diperoleh dari komisi transaksi jual-beli saham tanpa peduli apakah investor memperoleh untung dari transaksi tersebut atau tidak. 

Dengan berkaca dari kegiatan seminar yang diadakan oleh beberapa sekuritas yang penulis ikuti, penulis mendapati bahwa investor kerap digiring secara halus untuk memiliki cara pandang seorang trader dalam memandang saham yang diperjualbelikannya. 

Bagi yang sering mengikuti seminar semacam ini, tentu tidak asing dengan jargon seperti "beli murah, jual mahal", "ikuti bandarnya",  "jangan lupa cek moving average", dan sebagainya yang kerap terselip dalam seminar. Tentu, ada juga pembahasan mengenai aspek fundamental dari bisnis perusahaan, namun ini juga digunakan sebagai indikator dalam kegiatan trading.

Apakah kemudian trading adalah sesuatu yang buruk? Tentu tidak. Ada banyak orang yang memang memperoleh uang dari kegiatan tersebut. Namun apabila Anda adalah orang-orang yang memang berinvestasi secara jangka panjang, sulit rasanya menemukan media pembelajaran yang komprehensif dan mendalam sekaligus juga terstruktur dan mudah dimengerti layaknya kurikulum di sekolah.

Artinya, Anda mau tidak mau menghidupi ekosistem investasi yang setiap harinya dipenuhi hiruk-pikuk berita, isu, spekulasi, perjudian, dan sebagainya yang dibangun secara kolektif oleh pemain saham lainnya. 

Anda secara psikologis dibentuk untuk melihat saham hanya sebagai kombinasi empat huruf dengan harga yang ditempelkan padanya yang setiap detik selalu berubah. Anda girang dan membeli lebih banyak saham tertentu ketika harganya terus naik, kemudian Anda dibuat cemas dan menjual seluruh saham yang Anda miliki saat harganya turun dengan dalih cut-loss dan sejenisnya.

Di sini seharusnya menjadi celah di mana para financial planner dan "guru investasi" dapat masuk untuk memberikan apa yang tidak Anda dapatkan sebagai investor dari seluruh kanal pembelajaran yang tersedia. 

Namun alih-alih memberikan pengajaran yang lebih baik dan senantiasa bersikap netral dalam memandang produk investasi yang tersedia, mereka cenderung menjelma menjadi pembisik titipan dari para bandar maupun manajemen nakal yang hendak "menggoreng" saham tertentu seperti bagaimana yang terjadi dalam kasus Jouska. 

Anda sebagai investor justru dibuat merasa makin tidak aman dalam berinvestasi karena bahkan para profesional sekalipun justru memperdaya Anda dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit.

Omong-omong soal para manajer investasi profesional, penulis teringat kepada salah satu buku yang ditulis oleh Burton Malkiel berjudul "A Random Walk Down Wall Street". Di dalam buku tersebut, Burton mengungkapkan pesimismenya terhadap kinerja para profesional ini dengan membandingkan kinerja mereka dengan seekor monyet yang melempar anak panah untuk memilih saham secara acak. 

Hasilnya, saham pilihan monyet tersebut bukan hanya mampu mengalahkan kinerja bursa, melainkan juga kinerja para profesional (Malkiel, 1973). Tentu Anda dapat setuju atau tidak dengan Burton, penulis menyerahkan kesimpulannya kepada para pembaca.

Alhasil, hingga saat ini masalah yang menghantui para investor saham di Indonesia tetap ada dan tersembunyi di balik kisruh dan gembar-gembor perbaikan kualitas pasar modal. 

Para investor ini mungkin dapat mengakses buku-buku teks klasik seperti karya Benjamin Graham, Philip Fisher, dan Peter Lynch, namun tanpa bekal pemahaman mendasar, kemungkinan besar para investor ini tetap akan mengalami kebingungan dalam membangun pemahaman yang komprehensif dan memadai seputar dunia saham.

Dari pengamatan penulis, terdapat juga content creator di kanal seperti YouTube yang berupaya membangun pemahaman bagi masyarakat awam mengenai saham, kendati sulit bagi mereka untuk lepas dari tuntutan pasar terkait konten yang sederhana dan menarik dipandang. 

Sekali lagi, tanpa adanya sistem pengajaran dan pembelajaran yang rapi dan mudah diakses sebagaimana sistem pendidikan formal, sulit bagi kita untuk meningkatkan kualitas para investor. Namun apabila hal ini dapat terwujud, potensi perbaikan kualitas pasar saham dengan sendirinya akan muncul kembali dengan optimisme yang lebih tinggi.

Kita dapat membayangkan para investor yang terdidik ini nantinya secara independen mampu memilah dengan baik saham mana yang cocok untuk tujuan dan strategi investasinya tanpa peduli terlalu serius terhadap isu yang dimainkan di pasar. Boleh jadi sejalan dengan itu pula, pasar saham akan lebih efisien sebab tak mungkin pasar dapat menjadi efisien tanpa adanya pelaku yang rasional di dalamnya. 

Semoga kasus Jouska kali ini dapat menjadi pembelajaran yang mampu kita serap hikmahnya, bukan untuk membuat kita takut berinvestasi saham, melainkan membuat kita makin sadar dan mawas diri bahwa banyak hal perlu dipelajari sebelum kita terjun ke pasar saham sebagai investor.

Referensi

Malkiel, B. (1973). A Random Walk Down Wall Street. Amerika Serikat: W. W. Norton & Company, Inc.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun