Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Pasar Bukan Lagi Pasar: Renungan atas Arus Modernisasi dan Kemanusiaan

15 Juli 2020   05:34 Diperbarui: 15 Juli 2020   06:03 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan Pasar Tradisional dan Pasar Modern | Sumber: https://www.liputan6.com/

Ketiga, pasar tradisional juga masih berfungsi sebagai indikator ekonomi nasional bagi pemerintah, di mana ketika terjadi penyimpangan harga, biasanya pemerintah akan masuk melalui pasar tradisional untuk melakukan stabilisasi harga. 

Dengan semakin berkurangnya pasar tradisional, tentu pemerintah juga akan kekurangan kanal-kanal untuk melakukan stabilisasi semacam ini. 

Tak heran, kegagalan dalam mengelola pasar tradisional yang umumnya berkorelasi dengan kegagalan dalam mengelola ekonomi suatu daerah, dapat menjadi sasaran empuk bagi rival politik untuk menyerang figur incumbent.

Akan tetapi, terdapat satu aspek lain dari pasar tradisional yang selama ini tidak begitu diperhatikan seintens aspek ekonomi, yakni aspek sosio-kultural. Jika kita memandang pasar tradisional dan pasar secara umum berdasarkan aspek ini, kita akan melihat bahwa di dalam pasar, perilaku dari para aktor ekonomi tidak hanya didorong oleh motivasi ekonomi, melainkan juga motivasi untuk bersosialisasi dan berkebudayaan secara lintas strata, kebudayaan, dan generasi. Apa maksudnya?

Jika kita melihat sejarahnya, di dalam pasar tradisional lazim ditemukan jalinan hubungan personal yang lebih intens dibanding sekadar hubungan antara penjual dan pembeli. 

Dalam bertransaksi, para aktor terbiasa untuk mengisinya dengan percakapan ringan maupun diskusi panjang mengenai berbagai hal (Muhsinat, 2016), mulai dari kehidupan rumah tangga yang biasanya dibicarakan di antara para kaum ibu hingga isu politik yang biasa mengisi diskusi di warung kopi di antara tukang becak dan kuli lepas. 

Di dalam pasar tradisional pula dahulunya para aktor gemar mengekspresikan identitas kulturalnya, entah melalui pakaian tradisional, bahasa daerah, maupun produk kuliner khas daerah masing-masing yang diperdagangkan.

Singkatnya kita dapat melihat bahwa pasar tradisional di Indonesia merupakan pusat dari berbagai kegiatan masyarakat dan sebetulnya memberikan pengakuan terhadap sifat multidimensional dari manusia itu sendiri. 

Hal-hal semacam ini perlahan menghilang ketika pasar modern mulai menjamur. Menjamurnya pasar modern seperti misalnya supermarket, pusat perbelanjaan, dan sebagainya sejatinya merupakan pengejawantahan dari gelombang modernisasi dan birokratisasi yang didasari logika tentang progresivitas dan efisiensi. 

Dengan munculnya arus urbanisasi, pertumbuhan pendapatan kelompok ekonomi menengah ke atas, dan ilusi pilihan yang melimpah, muncul keinginan di tengah masyarakat agar kegiatan belanja dapat menjadi semacam rekreasi yang secara bersamaan juga lebih efisien, nyaman, dan mudah (Fauza, 2017). 

Di samping itu, kelompok bisnis besar juga menghendaki adanya suatu model pasar yang memiliki sistem tata kelola yang jelas dan terukur. Tendensi ini yang pada gilirannya menghendaki adanya sistem birokrasi yang jelas yang dapat diterapkan di dalam bentuk baru pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun