Kritik lainnya adalah soal potensi politisasi dalam kasus ini. Beberapa pihak menyoroti kemungkinan bahwa penegakan hukum bisa digunakan sebagai alat untuk mengganti aktor-aktor tertentu tanpa benar-benar menyelesaikan akar masalahnya. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menepis anggapan ini dengan menegaskan bahwa siapa pun yang terbukti terlibat dalam korupsi akan ditindak, tanpa pandang bulu.
Perbedaan Blending dan Oplosan serta Langkah Pemulihan Citra
Dalam industri migas, blending adalah proses pencampuran bahan bakar yang dilakukan dengan standar tertentu untuk memenuhi spesifikasi yang diatur dalam regulasi. Sementara itu, oplosan memiliki konotasi negatif karena dilakukan secara ilegal tanpa memperhatikan kualitas dan keamanan produk akhir. Perbedaan ini perlu dijelaskan secara luas kepada publik agar tidak terjadi kesalahpahaman yang semakin memperburuk citra Pertamina.
Menurut Tri Yuswijayanto, pengoplosan yang ilegal biasanya dilakukan secara primitif tanpa menggunakan peralatan yang memadai, sementara blending dilakukan di kilang dengan mekanisme kontrol ketat.
Di sisi lain, pemerintah perlu mengambil peran aktif dalam meredam isu ini dengan menyampaikan informasi yang jelas kepada masyarakat. Strategi komunikasi yang transparan dan edukatif dapat menjadi langkah awal dalam mengembalikan kepercayaan publik serta menjaga stabilitas pasar BBM nasional.
Tantangan Hukum dalam Mengusut Dugaan Korupsi
Kasus ini menyoroti tantangan hukum yang dihadapi Kejaksaan Agung dalam mengusut dugaan korupsi di sektor energi. Meski telah ada pengungkapan terkait modus operandi pencampuran BBM, proses hukum masih berlarut-larut.
Ekonom INDEF, Abra Talattov, menegaskan bahwa masyarakat menunggu penyelesaian yang tegas agar kepercayaan publik terhadap Pertamina dapat dipulihkan. Selain itu, ia menilai bahwa keterlibatan berbagai pihak, seperti Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan DPR RI, sangat diperlukan untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam investigasi ini.
Polemik mengenai istilah "blending vs. oplosan" juga menjadi tantangan dalam ranah hukum. Ahli bahan bakar dari ITB, Tri Yuswidjajanto, menjelaskan bahwa blending adalah praktik legal yang dilakukan dengan izin dan standar tertentu. Namun, ketika proses pencampuran dilakukan tanpa izin atau tidak sesuai regulasi, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal yang merugikan konsumen dan negara. Hal ini menjadi landasan penting bagi Kejaksaan Agung dalam merumuskan dakwaan terhadap para pihak yang terlibat dalam skandal ini.
Dampak Terhadap Kepercayaan Publik dan Persepsi Pasar
Tidak dapat dimungkiri bahwa polemik ini telah memengaruhi citra Pertamina di mata masyarakat. Abra Talattov, ekonom dari INDEF, menyoroti bahwa sejak kasus ini mencuat, penjualan BBM tertentu mengalami penurunan signifikan karena konsumen mulai beralih ke SPBU swasta.
Namun, yang perlu dipahami adalah fenomena ini lebih didorong oleh persepsi ketimbang realitas teknis. Banyak masyarakat yang terpengaruh oleh istilah "oplosan" tanpa memahami bahwa BBM yang mereka gunakan tetap memenuhi standar kualitas yang ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu, strategi komunikasi yang lebih transparan dan edukatif perlu dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman lebih lanjut.
Langkah Pemulihan Citra dan Kepercayaan Publik
Sebagai perusahaan energi nasional, Pertamina memiliki peran strategis dalam menjaga ketahanan energi Indonesia. Oleh karena itu, pemulihan kepercayaan publik harus menjadi prioritas utama. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1. Memperbaiki Komunikasi Publik
- Menjelaskan perbedaan blending dan oplosan secara lebih luas kepada masyarakat.
- Melibatkan Kementerian ESDM dan BUMN dalam memberikan klarifikasi agar isu ini tidak hanya ditangani oleh Kejaksaan dan Pertamina saja.