Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Mengenang Lebaran 1997 Kelam di Kalimantan Barat

16 April 2024   16:04 Diperbarui: 16 April 2024   16:07 1592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kerusuhan Antar Etnis di Kalimantan Barat (sumber : boombastis)

Ramadan tahun itu tak seperti biasanya, jam malam dibatasi, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Suasana puasa mencekam, tak ada gegap gempita seperti biasanya dalam  perhelatan Ramadan di kota Pontianak.

Adalah ibukota Kalimantan Barat, Pontianak, kota dimana saya menghabiskan waktu mengenyam bangku sekolah dasar selama 6 tahun. Selama itu saya mengenang betapa suasana Ramadan dan Idul Fitri sangatlah meriah setiap tahunnya di kota yang berjuluk Bumi Khatulistiwa itu. Namun di awal tahun 1997, suasana itu berubah 180 derajat, Ramadan di Kalimantan Barat di tahun itu sangat mencekam akibat konflik antara etnis Dayak dan etnis Madura yang berlangsung pada Desember 1996 hingga Januari 1997.

Walau saat itu saya masih kecil, saya masih ingat betul memori memilukan bagi masyarakat Kalimantan Barat masa itu. Penyebab khusus konflik ini bermula dari Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang  yang terletak 220 KM dari ibukota Pontianak. Kasus ini bermula dari cekcok salah paham antara pemuda Dayak dan Madura saat pertunjukan dangdut di Sanggauledo, yang berakhir penikaman terhadap 2 pemuda Dayak oleh sekelompok pemuda etnik Madura.

Setelah kejadian tersebut, meluaslah konflik di berbagai tempat, saya masih ingat pemberitaan di televisi dan surat kabar saat itu hanya memberitakan konflik hanya di sekitaran Sanggauledo, Sambas dengan jumlah korban yang tak terlalu banyak. Namun, dari cerita ayah saya, konflik justru meluas hampir di setiap kampung-kampung di Kalimantan Barat yang terdapat komunitas etnik Madura.

Konflik bermula di akhir bulan Desember 1996, sementara di Januari 1997 waktu itu sudah memasuki bulan puasa dan konflik tersebut masih terus berlanjut hingga Idul Fitri yang jatuh pada bulan Februari 1997. Saat itu, sebenarnya kondisi ekonomi negara sedang mengalami pra-resesi, dimana inflasi mulai naik perlahan yang memuncak pada krisis moneter 1998.

Saya ingat di saat itu sekolah diliburkan selama bulan Ramadan, untuk mengantisipasi hal-hal terburuk yang mungkin terjadi. Kota Pontianak mendadak ramai ribuan para pengungsi etnik Madura  mengungsi di GOR Pangsuma yang disediakan Pemprov. Ibu saya saat itu masih berdinas di Departemen Sosial, justru di bulan Ramadan beliau sibuk bertugas mengurusi dapur umum yang menyuplai makanan dan minuman bagi pengungsi etnik Madura.

Ayah saya menceritakan, pada saat itu, dia pernah dinas ke luar kota, menyaksikan banyak mayat-mayat (maaf) tanpa kepala bergeletak di sepanjang jalan. Puncaknya kota Pontianak hampir saja chaos kerusuhan massal, ketika ribuan pemuda Dayak berkumpul di jalan protokol Rahadi Oesman, menuntut kenetralan aparat saat konflik.

Pada saat lebaran tiba, hampir semua topik pembicaraan saat silaturahmi adalah saling bertukar cerita kisah-kisah konflik memilukan dari berbagai tempat di Kalimantan Barat. Saya yang waktu masih kecil, hanya bisa mendengar dengan seksama pembicaraan ayah saya dengan para kerabat, kisah-kisahnya benar di luar nalar kemanusiaan.

Ada yang bercerita, suatu saat sekumpulan masyarakat etnik Madura sedang bertarawih di masjid, sedang ditunggu sekumpulan oknum pemuda Dayak di luar masjid, selepas selesai tarawih, maka terjadilah pertikaian. Ada pula kisah penyerangan balasan pemuda Madura ke beberapa tempat kampung Dayak. Kemudian ada juga kisah oknum pemuda Dayak yang merazia kendaraan angkutan umum, dan mengidentifikasi para penumpang yang beretnik Madura, jika kedapatan, maka aksi kekerasan bisa dilakukan di tempat.

Sebenarnya masih banyak kisah-kisah sadis dalam konflik tersebut yang tidak bisa saya tuliskan dalam artikel ini, bahkan bahasa yang saya gunakan sudah diperhalus mungkin. Terlepas kisah-kisah tak berperikemanusiaan tersebut apakah benar atau tidak, karena di jaman itu belum ada smartphone yang bisa merekam kejadian setiap saat, tetapi saya meyakini konflik tersebut benar-benar sangat keji dan di luar nalar.

Konflik antar suku di Kalimantan Barat sebenarnya sudah kerap terjadi sebelumnya, hanya mungkin pemberitaan di jaman Orde Baru agak membatasinya, bahkan pasca konflik 1997, pada tahun 1999 kejadian yang hampir sama terjadi lagi di Kalimantan Barat, bahkan melibatkan banyak suku-suku lain.

Dari kisah konflik antar-suku pada saat Ramadan 1997 di Kalimantan Barat, ada beberapa hal yang bisa diambil pelajaran, agar kisah memilukan tersebut tidak terjadi lagi. Berikut ada beberapa poin yang bisa saya berikan agar supaya kehidupan antar masyarakat di Kalimantan Barat selalu tenteram dan damai.

Netralitas Aparat

Berdasarkan pengamatan saya dari pembicaraan bapak-bapak di jaman itu, bisa disimpulkan konflik menjadi meluas juga diakibatkan kurang netralnya para aparat, baik kepolisian dan TNI dalam penanganan dari kedua belah pihak. Sebagai contoh, ada kesatuan dinas aparat di suatu daerah yang di dalamnya ada etnik Dayak, maka kesatuan dinas tersebut akan berpihak pada suku Dayak, begitu juga sebaliknya apabila kesatuan dinas yang di dalamnya ada etnik Madura, maka yang dibela adalah para warga suku etnik Madura.

Seharusnya dalam penanganan konflik, para aparat harus bersifat netral serta berusaha menenangkan kedua belah pihak, sembari mencari upaya hal-hal yang kiranya bisa mendamaikan situasi menjadi lebih baik.

Pertemuan Rutin Antar Komunitas

Sebenarnya di akar rumput, antar komunitas  suku tidaklah terjadi singgungan, entah itu Melayu, Dayak, Madura, Hakka, Teocheu, Bugis, Minang dan lain-lain. Bahkan saya beretnik Melayu-Jawa punya teman karib dari semua suku tersebut, hampir tiap sore saya bermain bola dengan Musar, teman saya dari suku Madura, dan saya pun punya kerabat saudara dari suku Dayak, semuanya hidup berdampingan selaras.

Hanya saja, saya menilai secara pribadi, kebiasaan minuman keras saat acara-acara seperti resepsi atau konser dangdut, kadang bisa membuat seseorang menjadi temperamen, lalu apabila yang bersinggungan kebetulan berbeda etnik, maka bisa saja menyulut konflik menjadi melebar dan meluas. Solusinya perlu diadakan pertemuan antar komunitas etnik secara rutin, agar supaya apabila ada gesekan, dapat ditanggulangi segera agar tidak cepat meluas

Kampanye Anti Politik Identitas

Terakhir saya sempat bertandang ke Kalimantan Barat, saya merasakan politik terkadang agak membelah persatuan di sana. Politik identitas masih kuat dan kental, sebagai contoh apabila ada Pilkada, ada Cabup A yang pro suku tertentu, kemudian Cabup B yang juga pro suku yang lain. Sungguh hal ini seharusnya tidak boleh terjadi di Kalimantan Barat, karena bisa saja menjadi bom waktu konflik sebagaimana yang terjadi pada medio 90an.

Maka dari itu, seharusnya para pemuda antar-suku di Kalimantan Barat, mulai menyuarakan kampanye anti politik identitas, artinya pemimpin atau caleg yang dipilih didasarkan kapasitas kemampuan kepemimpinannya, bukan berdasarkan latar belakang etniknya, karena pemimpin yang baik adalah sosok yang dapat merangkul semua pihak.

Momen Idul Fitri Sebagai Pemersatu

Tradisi Idul Fitri di Kalimantan Barat sejatinya tidak sepenuhnya milik kaum muslim saja, pengalaman saya, teman-teman ayah saya yang non-muslim banyak yang berkunjung silaturahmi ke rumah kami, sebaliknya apabila hari raya Natal tiba, ayah saya berbalas berkunjung ke rumah teman ayah saya yang beragama Nasrani, menariknya makanan yang disajikan ke kami, langsung diklaim oleh tuan rumah dijamin kehalalannya, sungguh sangat indah jalinan silaturahmi antar suku dan agama di Kalimantan Barat.

Maka dari itu, momen Idul Fitri bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh berbagai pihak di Kalimantan Barat untuk menyatukan visi damai di Bumi Khatulistiwa. Perkataan mohon maaf lahir dan batin harus benar-benar merasuk dari berbagai pihak, bukan sekedar basa-basi semata.

Semoga kenangan Ramadan dan Lebaran 1997 yang kelam di Kalimantan Barat tidak terulang kembali di masa depan, karena sejatinya Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, menyebarkan kedamaian antar umat manusia. Salam Damai, Salam Kententraman. Mohon Maaf Lahir dan Batin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun