Aku terhampar di tengah semak-semak, dengan keadaan yang nyaris bugil, dan terbangun ketika purnama malam menyilaukan mata, dan ilalang liar menusuk kulit keningku. Entah mengapa, saban purnama, aku selalu menemukan diriku di luar rumah, tergeletak di tengah rerumputan atau pasir, dan kadang-kadang dengan luka gores yang menyayat kulit sawo matangku.
Kembali ke rumah dengan telanjang, dari balik pohon ke pohon, menghindari bunyi pentungan desa. Terkadang aku merasa bahwa ini hanyalah mimpi berjalan, yang menjadi mitos tidur. Namun aroma sejarah berkata lain, aku adalah musuh masyarakat moderen. Aku adalah mahluk jadi-jadian, yang menjadi legenda turun-temurun masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok.
Tuselak... Jika mendengar nama itu, membuat bulu kuduk masyarakat lokal berdiri. Mahluk jadi-jadian korban ilmu hitam, yang gemar memakan kotoran dan bangkai, dan terbang mengganggu manusia.
Silir-semilir angin malam menembus pori-pori kulit menusuk tulang. Berjalan kembali ke rumah layaknya maling. Dengan telanjang, aku lewati pohon demi pohon desa. Cemas mewarnai setiap langkah, karena jika tertangkap, tidak hanya menjadi sasaran massa, tetapi rasa malu akibat telanjang di tengah malam. Walau aku sadar, bahwa rasa malu bukanlah sesuatu yang alamiah, tetapi produk budaya. Buktinya, perempuan Nusantara pada 1930-an (1) membiarkan bagian dadanya tak direkati sehelai benang penyekat.
Ingatan yang terputus tentang apa yang sebelumnya terjadi. Di otakku, hanya tergambar kobaran api secara samar, seperti pesta pemujaan di bulan purnama. Atau mungkin seperti perjamuan terakhir Sang Mesias, dan mungkin juga seperti ritual Dewi Shinta membuang diri di kobaran api.
Tuselak sudah mendapat makna negatif di tengah masyarakat lokal, yang dahulunya adalah dukun desa (2) yang diupah segelas kopi untuk sembuhkan penyakit, di era Tuan Guru (Kiai) kini menjadi manusia musyrik. Justifikasi salah dan benar diukur dari nilai moral yang sangat subjektif. Kebenaran hanya milik orang-orang yang gemar meniti butiran tasbih di malam suntuk, hingga memiliki tato seperti bola pimpong di dahi. Kebenaran hanya milik orang-orang yang tujuh kali bolak-balik ke Makkah, walau tetangga sebelah dilanda busung lapar.
Akhirnya kaki kumal ini dapat kembali pulang ke rumah, namun sebelum memasuki pekarangan, dari serambi gelap aku melihat rumahku telah menyala, berkobar oleh api kemarahan warga desa, yang kehilangan bayi diduga sebagai ritual pengorbanan malam purnama.
Fitnah ninja Banyuwangi menimpaku. Sekali keluarkan fatwa, kepala orang-orang kecil sepertiku tiada arti. Hingga tubuh kumal ini akhirnya pergi menjauh dari kerumunan kemarahan itu. Entah ke mana. Apakah aku harus meniti butir demi butir tasbih?, ataukah mencari mangsa liarku?. Biarkan sinar purnama hangatkan tubuhku, di depan goa, di kaki bukit.
Sumber:(1) dan (2) Status facebook Adam Gottar Parra, 24 Maret 2016