Mohon tunggu...
Claudia Larassati
Claudia Larassati Mohon Tunggu... Freelancer - Blog

medium.com/@satiisme

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arena Dunia yang Berlari

22 Oktober 2019   11:52 Diperbarui: 22 Oktober 2019   12:06 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia sedang berjalan dalam kecepatan tinggi, tempo yang meningkat, dengan konsep ruang dan waktu yang semakin dipadatkan. Semuanya seolah diringkas dengan cepat dan tepat oleh ruang digital. 

Ruang digital rupanya menjadi salah satu motor dari 'tiga dewa sakti' penggerak perubahan dunia selain kapitalisme dan pascamodernisme. Ruang digital mampu mengubah, mengonstruksi, mencetak, dan menentukan arah kehidupan global, salah satunya dalam bidang kebudayaan.

Kecenderungan perubahan kebudayaan menuju masyarakat digital rupanya memberikan beban terhadap masyarakat abad 21. Budaya digital atau yang lebih sering dikenal dengan budaya milenial memaksa masyarakat abad 21 untuk siap dalam menghadapi perputaran arus informasi yang semakin cepat. 

Arus ini seolah menjadikan masyarakat 21 menjadi terjebak di dalamnya, sehingga disukai ataupun tidak, perubahan dunia konvensional menuju dunia digital harus dilalui.

Dunia digital telah mengubah masyarakat kita menjadi masyarakat tontonan. Seluruh sektor kehidupan nyaris dijadikan bahan tontonan. Tidak ada kata privasi dalam kamus kehidupan masyarakat digital. Kehidupan pekerjaan hingga kehidupan pribadi menjadi bahan menarik yang selalu diunggah di banyak sosial media, baik berupa foto, status, ataupun konten video blog yang saat ini sedang populer. 

Hal ini dibuktikan dengan adanya data riset yang dilakukan oleh Hootsuite dan We Are Social yang menyatakan bahwa 56% penggunaan internet di Indonesia digunakan untuk keperluan sosial media, selain itu APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) juga mencatat bahwa pengguna internet di Indonesia naik setiap tahunnya. Menurut data terakhir, pengguna internet di naik menjadi 150 juta jiwa. 

Kenaikan ini rupanya tidak hanya mengubah masyarakat kita menjadi masyarakat yang gemar menonton dan mempertontonkan saja, tetapi menjadikan masyarakat kita sebagai masyarakat diam di tempat.

Masyarakat diam di tempat merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Virilio. Masyarakat diam di tempat bisa dikatakan sebagai sebentuk tubuh yang bergerak di dalam ruang. Pada masa kini, masyarakat kita semakin malas bergerak. Mereka telah menumpukan diri pada kemajuan teknologi yang semakin mudah. 

Seringkali kita melihat beberapa mahasiswa yang menyalakan LCD, AC, ataupun TV dari gawai, fenomena belanja via daring, membaca buku via elektronik, hingga yang paling ekstrim adalah penerapan teknologi program AI pada fasilitas rumah. Kemudahan-kemudahan ini rupanya ditangkap oleh masyarakat sebagai cara praktis utama yang selalu dieksploitasi penggunaannya. 

Namun, perubahan percepatan ini tidaklah sebading dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi ledakan ruang digital yang begitu dahsyat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya fenomena kepanikan yang terjadi saat ini.

Berjuta kondisi panik ini mengelilingi masyarakat global. Panik informasi menjadi kondisi panic pertama yang paling dirasakan. Informasi datang sebagaimana bom informasi. Meledaknya arus informasi rupanya ditanggapi dengan ketidakmampuan masyarakat dalam menerima dan mengolah informasi. Hak tersebut menyebabkan banyaknya hoax yang tersebar. 

Dilansir laman resmi KOMINFO, penyebaran hoax dalam dunia maya sedikitnya ada 800.000 lebih situs penyebar hoax dan 70 kasus hoax yang dilaporkan setiap bulannya. Kedua, panik konsumsi adalah kondisi ketika kebutuhan konsumsi manusia menjadi besar. Beberapa orang mengonsumsi apapun, baik informasi, tontonan, produk, hingga gaya hidup secara cuma-cuma.

 Hal ini dibuktikan oleh riset Hootsuite dan We Are Social yang menyatakan bahwa setidaknya pengguna internet menghabiskan waktunya sebanyak 7 menit untuk melakukan teleshopping (belanja via daring) setiap harinya. Jumlah pembeli daring juga dilaporkan meningkat hingga 11,9 persen dari populasi penduduk Indonesia. 

CoupoNation menyatakan bahwa transaksi belanja daring mencapai hampir 114 trilyun rupiah setiap tahunnya. Panik yang terakhir adalah panik kapital. Panik ini menjarah pada sistem perekonomian. Sektor ekonomi tiba-tiba menjadi sistem moneter global tanpa interupsi. 

Perubahan modal dan investasi saham terus bergerak tanpa henti. Start up atau bisnis via daring menjadi pilihan popular. E-market melonjak naik. Hal ini dibuktikan oleh hasil riset teknopreneur dengan jumlah start up  yang naik hingga 800 lebih start up ada di Indonesia. Kenaikan start up ini rupanya mulai menggeser sejumlah usaha kecil dan menengah.

Beragam kepanikan masyarakat global di atas merupakan bukti dari kegilaan dunia digital. Dunia digital seolah menciptakan pegingkaran terhadap realita melalui perayaan realitas virtual. Dunia digital membawa percepatan menjadi asas perubahan secara menyeluruh. 

Dunia seolah berlari dan telah membawa perubahan besar pada dunia kehidupan. Inilah dunia digital, dunia anomali yang di dalamnya kecepatan telah mengacaukan batas-batas dan kategorisasi. Dunia digital telah menciptakan dunia baru, kehidupan baru yang diperkenalkannya, akan tetapi banyak kehidupan lama yang dilindasnya. 

Dunia digital telah menelan kita dalam satu poros yang tak pernah berhenti. Dunia digital telah menyeret kita pada sebentuk arena kehidupan yang berlari. Siapkah kita berpacu dalam arena dunia yang berlari?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun