Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Baruklinting [121]

26 Maret 2013   20:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:10 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ki Ageng Wanabaya diam sejenak karena tiba-tiba Baruklinting menoleh ke kiri dan tatapan sepasang matanya yang  aneh ketika memandang kepada Gunturgeni.

Baruklinting telinganya  seperti disengat lebah, ketika mendengar perkenalan itu. Jadi laki-laki yang bernama Gunturgeni itu adalah ayah kandungnya!

Kiranya orang inilah, yang oleh mendiang ibu kandungnya dipuji-puji sebagai pendekar sakti itu. Dia kini memandang kepada Pandansari dengan pandang mata kebencian, karena yang pertama telah melumpuhkan simpul syarafnya dengan totokan jari tangannya. Yang kedua, ternyata wanita itu adalah isteri lain dari ayah kandungnya.

Gunturgeni dan Pandansari  mendadak terkejut, ketika memandang Baruklinting, dan mereka melihat tatapan sinar mata anak itu penuh ancaman.

“Ihhh...!”

Pandansari mengeluarkan seruan lirih dan Gunturgeni mengerutkan alisnya. Ki Ageng Wanabaya juga merasa heran melihat sikap Baruklinting itu, maka dia bertanya.

“Ada apa Baruklinting?”

Baruklinting tidak menjawab, hanya memandang kepada Gunturgeni dan Pandansari dengan tatapan sinar mata yang aneh. Dan  kini tanpa disadarinya, sepasang mata yang menyinarkan kebencian itu menjadi basah dan dua titik air mata mengalir keluar.

Melihat ini, Guntur geni cepat berkata, “Ayah, dia salah sangka terhadap kami berdua. Ketika ayah terkejut dan tak sadarkan diri, dia langsung menyerangku, dan aku heran sekali melihat dia memiliki tenagaprana yang luar biasa, bahkan memiliki Ajian Sitrul Ambyak!”

Ki Ageng Wanabaya tersenyum dan mengangguk-angguk mengerti.

“Oh, kiranya begitukah? Baruklinting, engkau salah duga. Dia bukan musuhku, dia adalah puteraku. Hayo kau cepat minta maaf, biarpun kau melakukan hal itu tanpa kausadari.”

Baruklinting menunduk, kemudian menghadap kakek itu sambil berkata

“Maafkan saya, kakek.”

Dia tidak minta maaf kepada Gunturgeni, melainkan kepada kakeknya! Dia telah bertemu dengan ayah kandungnya, melihat kenyataan pahit betapa ayah kandungnya telah meninggalkan ibu kandungnya.

Apalagi kini telah menjadi suami dari wanita lain, mana mungkin hatinya tidak dirundung kecewadan kebencian?

“Baruklinting,  yang duduk di sebelah kiri itu adalah puteriku. Namanya Glagah Wangi. Sedangkan pria itu adalah Gajah Ngoling, kakak ipar dari puteraku Gunturgeni, juga dapat dibilang muridku karena hanya dia seorang yang telah mewarisi Ajian Sitrul Ambyak dariku, di samping engkau sendiri, sekarang engkau telah menjadi muridku, maka engkau adalah adik seperguruan mereka, adik paling kecil.”

Kakek itu mengangguk-angguk senang.

“Ayah, siapakah anak ini dan bagaimana asal mulanya sampai dia dapat memiliki tenaga sakti sedemikian hebatnya, dan telah mewarisi Ajian Sitrul Ambyak ?” tanya Gunturgeni.

Dia  merasakan sinar mata kebencian dari anak itu, maka dia pun mempunyai perasaan yang tidak senang kepada Baruklinting!

“Begini anak-anakku, mungkin ceritanya agak aneh, dan memang aneh anak itu, dan banyak pula terjadi hal-hal yang aneh telah menimpanya. Pertama-tama, ketahuilah, Gunturgeni, bahwa gurumu yang dari Sumatera Barat itu  telah meninggal dunia.”

“Ahhh... Paderi Sakti dari Gunung Marapi !” Guntur Geni berseru kaget.

“Ihhh...!”  Pandansari  juga berseru tertahan.

“Hemmm...!”

Gajah Ngoling juga menahan seruannya karena dia pun merasa amat kagum kepada ayah mertuanya itu. Paderi Sakti dari Gunung Marapi Sumatera Barat adalah ayah mertua pendekar ini, karena mendiang isterinya, Tunjung Biru, adalah puteri tunggal dari Paderi Sakti itu .

“Ayah, apakah yang telah terjadi…? “ tanya Gunturgeni

“Bagaimana beliau meninggal dunia…? “ Gajah Ngoling menimpali

“Siapakah yang telah membunuhnya…?” Pandansari mendesaknya.

Ki Ageng Wanabaya hanya  menggelengkan kepala. “Dia memang sudah tua dan pikun, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi Paderi Sakti untuk meninggalkan dunia ini. Betapapun juga, kematian itu terjadi karena kesalahannya sendiri.”

Dengan singkat Ki Ageng  Wanabaya  menceritakan kisah pertemuannya dengan Paderi Sakti, dan telah memaksanya untuk mengadu tenaga dalam.  Dan  Baruklinting kemudian meloncat masuk ketengah arena ketika kami sedang mengadu tenaga dalam. Dia mencoba untuk melerai, namun  tanpa disengaja justru  mewarisi seluruh tenaga dari Paderi Sakti. Meskipun  hal itu juga hampir saja menewaskannya, dan betapa dia terpaksa membuka rahasia Sitrul Ambyak kepada anak itu untuk menolongnya.

Empat orang anak dan menantu  itu mendengarkan dengan penuh kekaguman dan kini pandangan mereka terhadap Baruklinting tidak seperti sebelumnya. Memang anak luar biasa, pikir mereka.

“Bagus, kalau begitu engkau adalah adik seperguruanku, Baruklinting!” Gunturgeni berseru dengan girang.

“Siapakah nama ayah dan ibumu?”

Baruklinting sejenak menatap wajah ayah kandungnya itu. Hampir saja dia menitikkan air mata, dan ingin hatinya berteriak bahwa dia adalah puteranya. Melihat ayah kandungnya mempunyai isteri dan meninggalkan ibu kandungnya, dia tidak mau memperkenalkan diri.

Hatinya terasa pedih, dia lupa bahwa ibu kandungnya juga mempunyai suami baru!

“Aku tidak mempunyai keluarga,” jawabnya sambil menunduk.

“Eh, kenapa begitu aneh?”

Glagah Wangi yang biarpun usianya sudah empat puluh tujuh tahun masih cantik dan masih juga keras hatinya itu berseru.

“Lalu siapakah nama ayahmu?”

Baruklinting  memandang sejenak kepada Glagah Wangi, puteri kakeknya, yang sesungguhnya adalah bibinya itu.

Lalu   dia menunduk dan menjawab singkat, “Aku tidak mengenal siapa ayah bundaku.”

Ki Ageng Wanabaya tersenyum. “Memang dia aneh. Dia tidak tahu siapa ayah bundanya, dan dia hanya ingat bahwa dia bekerja sebagai pembantu pada keluarga Ki Sarayuda. Untuk bertanya tentang asal-usul anak ini kepada keluarga ki Sarayuda juga tidak mungkin karena keluarga Sarayuda  itu dibunuh oleh musuh-musuhnya. Anak ini dibawa oleh seorang wanita kejam yang bernama Kenyakadaka si iblis Betina Selendang Merah, dan entah mengapa wanita iblis itu demikian bencinya kepada Baruklinting sehingga menyiksanya dan aku telah membebaskannya dari tangan wanita itu.”

“Baruklinting, siapakah wanita itu?” tanya Gajah Ngoling yang merasa tertarik karena dia pun tidak mengenal tokoh bernama Kenyakadaka si Iblis Betina Selendang Merah itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun