Mohon tunggu...
Muhammed Rivai
Muhammed Rivai Mohon Tunggu... Konsultan - menulis, menlis dan menulis

...menjadi bermanfaat itu lebih bermakna...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Ulang Terorisme

27 Januari 2016   12:48 Diperbarui: 28 Januari 2016   10:37 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

            Terorisme merupakan ancaman serius terhadap keamanan nasional, tindakan teror ini muncul dan berkembang secara global melampaui sekat-sekat dan batas negara. Ancaman serius tindak pidana terorisme ini digolongkan sebagai kejahatan trans nasional (transnasional crime) dimana dampak atas tindakan teror tersebut memberi pengaruh luas terhadap dinamika politik dan keamanan yang melampaui batas teritorial.

            Secara umum terorisme dapat diartikan sebagai upaya penggunaan kekerasan,  menyebar ancaman, teror dan ketakutan kepada publik dengan tujuan dan motif politik tertentu. Merujuk pada Kamus besar bahasa Indonesia, terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan, terutama tujuan politik. Defensi ini menekankan adanya motif politik yang melekat dan menyertai tindakan teror tersebut, sehingga aksi-aksi terorisme sekecil apapun akan dilakukan secara terorganisir supaya pesan politiknya tersampaikan secara luas dan memberi pengaruh terhadap kebijakan pemerintah.

            Penggunaan istilah terorisme tidak melulu menekankan pada posisi negara sebagai aktor yang menjadi target dari tindakan teror, namun dalam banyak kasus melalui analisis krtis menunjukkan gejala bahwa negara menjadi salah-satu penggerak aksi terorisme itu sendiri (state terrorism). Gejala ini bisa dibaca dengan terang-benderang dari berbagai tindakan dan aksi teror di seluruh belahan dunia. Serangan 11 september 2001 yang mengguncang AS adalah bukti nyata kerancuan dalam menempatkan apakah negara adalah ‘’Korban” atau justru menjadi “Aktor” dalam tindakan brutal yang menelan ribuan nyawa. “September Kelabu” ini menyisakan kontroversi yang melahirkan berbagai analisis yang mengarah pada banyaknya kepentingan yang bermain dibalik aksi teror tersebut. Namun yang pasti pasca peristiwa ini AS menabuh genderang perang dan menggalang gerakan global ‘perang terhadap terorisme’.

            Perang terhadap terorisme yang dimotori AS justru semakin mengokohkan argumentasi menguatnya gejala  state terrorism, betapa tidak sesaat setelah peristiwa yang belum pasti siapa pelakunya AS justru menebar teror. Dengan dalih memburu pelaku teror, AS membombardir Afganistan hanya untuk melumpuhkan Al-Qaida dengan pimpinannya Osama bin Laden yang dituduh sebagai aktor tindakan teror yang mengguncang AS. Perang terhadap terorisme yang diusung AS pada akhirnya memposisikan dirinya sebagai polisi dunia, dengan dalih kontra terorisme AS bahkan mencampuri urusan dalam negeri berbagai negara untuk bergabung dengan gerakan tersebut jika tidak mau dicap sebagai pendukung teroris atau setidaknya untuk menghindari tekanan politik. Kebijakan politik luar negeri AS ini dikenal dengan istilah Carrot and Stick, dimana pemerintah AS akan memberikan dukungan dan bantuan apapun yang diperlukan bagi setiap negara yang mau bekerja sama dalam agenda perang terhadap terorisme (Carrot). Namun sebaliknya, AS akan menggunakan Stick untuk menekan negara-negara yang tidak mau bekerja sama dengan agenda yang mereka usung. Tekanan politik sebagai dampak perbedaan pandangan dengan kepentingan AS pada akhirnya menjadikan banyak negara “mengekor” karena takut dicap sebagai negara pendukung teroris yang akan bernasib sama layaknya Afganistan, Irak dan negara-negara timur-tengah lainnya.

            Perang terhadap terorisme ini dalam realitanya menjadi lebih “garang” dari tindakan teroris itu sendiri. Negara sebagai instusi punya banyak sumber daya yang bisa digerakkan untuk melakukan tindakan kontra terorisme. Tindakan sepihak yang diambil negara ini justru berpotensi besar disalah-gunakan, bahkan dalam berbagai kasus negara justru menebar teror terhadap warganya sendiri atau bahkan negara lainnya melalui berbagai kebijakan politik dan propaganda media. Jika hal ini terjadi maka yang menjadi korban sesungguhnya adalah masyarakat, bukan hanya sekadar rasa aman yang dirampas tetapi imajinasi dan pikiran publik juga diracuni oleh berbagai propaganda demi kepentingan sepihak oleh aktor yang mengendalikan negara.

            Jika demikian halnya, kita patut mempertanyakan apakah rangkaian aksi teror yang terjadi merupakan peristiwa yang berdiri sendiri atau justru menjadi pemicu dan dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan menekan dan membasmi kelompok tertentu. Jika kita kembali pada defensi awalnya, maka motif politik yang justru kelihatan sangat dominan adalah agenda kontra terorisme itu sendiri yang justru adalah agenda negara. Motif politik dari para pelaku teror justru tersamarkan dan semakin absurd di tengah pemberitaan media dan analisis amatiran dari berbagai pengamat yang seolah seirama.

            Dalam konteks aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia gejala yang sama setidaknya bisa dilihat dengan samar-samar (jika pakai kacamata hitam,… hehehe). Rangkaian aksi teror yang terjadi di Indonesia pada akhirnya menjadikan Indonesia sebagai salah-satu mitra strategis AS di kawasan Asia tenggara. Sebagai mitra strategis Indonesia mendapatkan kucuran dana yang besar dalam agenda perang melawan terorisme melalui serangkaian kebijakan, pelatihan militer dan tindakan pendukung lainnya. Untuk menopang kebijakan tersebut pemerintah bahkan telah membuat regulasi tersendiri terkait penindakan terhadap terorisme yang banyak dikritik oleh berbagai kalangan. Regulasi ini adalah bukti nyata tunduknya Indonesia terhadap kepentingan politik AS, regulasi ini juga yang menjadi dasar pembentukan detasemen khusus 88 (Densus 88) yang keberadaannya hingga hari ini masih menyisakan kontroversi.

            Secara kasat mata kebijakan ini seolah menguntungkan dan berdampak positif untuk menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Namun perlu diingat kerja sama dan kucuran dana dari AS juga telah menjadikan persepsi, cara pikir dan tindakan aparat terkait dalam memberantas terorisme persis sama dengan cara AS mempersepsi dan menindak teroris. Mengikuti pola AS dalam mempersepsi dan menindak teroris tentu akan menjadikan Indonesia dalam posisi yang dilematis, dimana secara gamblang teroris dalam kacamata AS adalah kelompok muslim radikal bahkan Islam sebagai agama terkadang menjadi bulan-bulanan AS dan sekutunya. Jika mengikuti cara kerja “ala” AS ini, maka negara akan menjadikan rakyatnya sendiri sebagai musuh karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim.

           Mencurigai, memata-matai dan menjadikan warga sendiri sebagai musuh pada akhirnya menjadikan Indonesia lebih kejam dari AS, karena sejatinya AS tidak sekejam itu pada warganya sendiri. Perang terhadap terorisme yang dikampanyekan AS adalah kebijakan politik luar negeri untuk menanamkan pengaruh dan mempertahankan dominasinya dalam percaturan politik global. Secara internal isu terorisme justru menjadi faktor pemersatu yang menjadikan warga AS solid mendukung pemerintah dengan menjadikan teroris sebagai musuh bersama yang harus di basmi.  

Kerancuan Berpikir

           Perang terhadap terorisme yang dikampanyekan AS telah berhasil membangun sebuah stigma negatif terhadap Islam dan masyarakat muslim secara keseluruhan. Setiap ada tindakan dan aksi teror warga muslim adalah tertuduh paling potensial yang akan menjadi sasaran kecurigaan sebagai pihak yang pantas untuk dipersalahkan. Tidak dapat di pungkiri dalam realitasnya sebagian besar kelompok yang menjadi “musuh” AS dan menjadi dalang dalam sejumlah aksi teror membawa-bawa atribut dan simbol Islam, bahkan dengan lantang mengatas namakan Islam sebagai inspirasi perjuangannya. Namun membawa simbol Islam dan mengatas namakan Islam apakah serta-merta menjadikan Islam sebagai agama penebar teror dan mentolerir tindakan teror?. Apakah mereka yang menebar teror layak dikatakan sedang memperjuangkan Islam?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun