Fenomena rendahnya minat baca masyarakat Indonesia bukan hal baru.
Namun, kini muncul bentuk baru dari krisis literasi: generasi yang membaca cepat, tapi tak benar-benar memahami isi bacaan.
Mereka terbiasa mengonsumsi informasi dari potongan video, caption singkat, atau ringkasan berita, tanpa pernah menelusuri kedalaman maknanya.
Ironisnya, di era di mana akses informasi begitu mudah, kemampuan memahami informasi justru menurun drastis.
Krisis ini paling terasa di kalangan pelajar dan mahasiswa generasi yang tumbuh dalam arus digital.
Mereka membaca, tapi bukan untuk memahami; mereka menulis, tapi bukan untuk berpikir.
Bahkan banyak yang lebih nyaman membaca "quotes"motivasi di Instagram ketimbang satu halaman buku pelajaran.
Perubahan ini mulai tampak setelah dunia pendidikan bergeser ke sistem digital, terutama pasca-pandemi.
Sejak proses belajar mengajar dilakukan melalui layar, kebiasaan membaca mendalam mulai ditinggalkan.
Tahun 2025 ini, kita menyaksikan dampaknya: banyak lulusan yang pintar mengetik, tapi gagap memahami teks yang panjan-panjang
Krisis literasi tidak hanya terjadi di sekolah atau kampus, tetapi juga di lingkungan keluarga dan media.
Bahkan di dunia kerja, banyak karyawan yang membaca brief tapi salah menafsirkan maknanya.
Ruang publik kita dipenuhi komentar cepat --- banyak berbicara, sedikit berpikir.
Karena kita hidup di zaman yang memuja kecepatan, bukan kedalaman.
Segalanya serba instan: kopi instan, berita instan, bahkan ilmu instan.
Sementara membaca adalah aktivitas yang menuntut kesabaran, konsentrasi, dan dialog batin dengan teks.
Ketika semua orang ingin cepat tahu, kualitas berpikir pun ikut menurun.
Dampaknya terasa luas:
Mahasiswa sulit menulis karya ilmiah yang orisinal.
Guru kewalahan karena siswa malas membuka buku tebal.
Masyarakat mudah terprovokasi berita palsu karena tidak memverifikasi sumber.
Krisis literasi bukan sekadar soal malas membaca ini soal kehilangan kemampuan berpikir kritis.
Saya percaya, membaca bukan hanya soal menambah pengetahuan, tapi cara menjaga kemanusiaan.
Ketika seseorang berhenti membaca, ia berhenti merenung.
Dan ketika masyarakat berhenti merenung, peradaban pun berhenti bergerak.
Mungkin, inilah saatnya kita menatap kembali buku bukan karena kewajiban, tapi karena rindu memahami hidup lebih dalam dari sekadar layar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI