Mohon tunggu...
Sari Oktafiana
Sari Oktafiana Mohon Tunggu... Guru - A mother of five kids who loves learning

Living in the earth with reason, vision, and missions...but I can't make everybody happy.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masihkan Terus Menunggu Godot Pasca 65 Tahun Kemerdekaan?

24 Agustus 2010   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Barangkali kalau boleh memilih ketika masih menjadi orok dalam rahim ibu untuk lahir dimana, di daerah mana? Negara mana? Akankah kita memilih untuk dilahirkan di bumi Indonesia? Negeri yang kekayaan alamnya melimpah ruah, tanahnya subur makmur loh jinawi, keindahnya bagaikan jamrud katulistiwa, hingga ketenarannya mendapatkan julukan hindia molek. Molek akan segalanya baik kandungan dalam buminya, molek akan keindahan alamnya, dan molek akan tanahnya yang subur. Tetapi ketika melihat bagaimana penduduk yang mendiami negeri itu, pastilah sang orok itu akan berpikir-pikir kembali. Gumamnya, alangkah anehnya penduduk negeri itu yang mesti terseok-seok di bumi yang indah nan kaya itu. Melihat kekayaan dan keindahan alam beserta lautnya pastilah sang orok akan memilih untuk tinggal di negeri itu karena kalau sang orok lahir di negeri tersebut pastilah akan tumbuh berkembang dengan makmur sejahtera menikmati semua karunia yang telah Tuhan limpahkan di negeri itu. Tetapi keanehan terjadi di negeri itu, dimana mayoritas penduduknya menderita. Suatu anomali mungkin. Tetapi anomali itu sebuah kenyataan yang ada di depan mata. Demikianlah kisah orok yang kebingungan memilih tempat dimana dia ingin dilahirkan. Lalu Tuhan memutuskan orok tersebut harus lahir di Indonesia. Untuk bergabung dengan ratusan juta penduduk Indonesia lainnya yang menderita. Kata Tuhan “kamu harus survive!”. Bertahan dan subsisten adalah diksi yang tepat untuk mayoritas rakyat Indonesia. Marilah kita merunut kisah orok tersebut. Bayi itu lahir. Untuk persalinannya kedua orangtuanya mesti mengeluarkan biaya yang tidak murah meskipun hanya ditolong oleh bidan di rumah sakit pemerintah. Karena minimnya subsidi untuk kesehatan masyarakat. Sehingga urusan kesehatan rakyat harus mandiri, bilapun meminta keringanan biaya untuk mengurusnya pun agak berbelit dan terkadang agak menyebalkan karena petugas kurang ramah terhadap orang miskin. Kemudian orangtuanya mesti mendaftarkannya ke aparat desa untuk mendapatkan surat keterangan bahwa dia telah dilahirkan di bumi Indonesia. Selanjutnya agar lengkap urusan administrasi untuk lebih sah dan tercatat lalu orangtuanya mengurus akte kelahiran dari Dinas Kependudukan. Untuk memeperoleh pelayanan administrasi pengakuan kelahirannya ongkosnya pun tidak murah untuk ukuran orang miskin yang berpendapatan Rp 700.000 per bulan. Pada masa tumbuh kembangnya supaya sehat terbebas dari berbagai macam penyakit maka dia harus imunisasi mulai dari tetanus (yang diperoleh lewat ibunya), BCG, polio 4 kali, hepatitis B 3 kali, DPT 3 kali, lalu berakhir dengan campak bila usia si bayi sudah mencapai 9 bulan. Tetapi untuk imunisasi si bayi tersebut tidaklah gratis. Pemerintah yang mestinya memberikan jaminan kesehatan untuk anak-anak tidak melakukannya. Bilapun ada, subsidinya kecil sekali. Kata kader imunisasi desa dana yang disediakan per bulan untuk masing-masing posyandu di desa hanya Rp 12.000. Dari dana yang minim tersebut akankah didapatkan pelayanan yang baik? Tentunya tidak. Ternyata babak perjalanan hidup si bayi yang hidup di Indonesia masih susah untuk imunisasi saja. Jangankan mendapatkan jaminan kesehatan yang dasar. Jaminan kesejahteraan untuk tumbuh kembangnyanya pun terlunta-lunta. Makanya jangan heran kalau masih banyak dijumpai bayi-bayi busung lapar dan malnutrisi. Karena susu, makanan tambahan beserta peralatan makan dan minumnya juga tidak murah. Bahkan ketika sejak lahir si bayi tersebut sudah ikut menanggung hutang jutaan rupiah dari pemerintah yang kian menumpuk. Kisah bayi pun mulai beranjak pada usia lima tahun. Dimana mulai mengenal sekolah dan bersosialisasi dengan lingkungan yang lebih beragam. Ternyata pahitnya keadaan terus membayangi si bocah tadi. Untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di taman kanak-kanak orangtua si bocah mesti pula mengeluarkan biaya yang mahal. Belum lagi buku-buku yang disodorkan para guru demi kemajuan intelegensia si bocah juga mesti bayar. “walaupun sekarang telah lumayan kondisinya, harga buku lebih murah dengan kebijakan buku BSE!”demikian kata para orangtua. Belum lagi jika gedung sekolahnya rusak pastilah para orangtua diundang rapat untuk dimintai sumbangan dengan jumlah sudah disediakan. Kata pak guru, ”Dana dari pemerintah kecil, itu pun turunnya lama sekali dan agak berbelit. Gedung sekolah keburu ambruk bila menanti bantuan pemerintah. Bukankah ini sekolah kita juga?” Alasan ini pula yang sering terlontar. “Kita harus mandiri bapak-ibu sekalian!” ujar kepala sekolah dalam suatu rapat. Kisah pun terus berlanjut hingga si bocah menapaki jenjang sekolah dasar. Sederet kisah klasik tentang mahalnya pendidikan di negeri ini terus berlanjut. Kurikulum yang setiap ganti menteri ganti pula caranya. Gurunya pun bingung dan mesti lokakarya lagi. Padahal kurikulum yang dulu belum dievaluasi secara intensif cocok tidaknya untuk murid. Kurikulum ganti beli buku baru lagi. Karena demi pendidikan dimana harapan para orangtua nantinya akan menjadi bekal kelak masa depan anaknya. Maka berapa pun biayanya akan dibayar entah dengan cara apapun orangtua akan mendapatkan uang untuk membiayainya. Walaupun kebanyakan orangtua terhimpit oleh beban ekonomi untuk hidup yang kian tinggi tetapi pendidikan anak akan tetap diupayakan. Selanjutnya nasib si bocah yang mulai beranjak dewasa pun tak kunjung membaik. Dalam benak si bocah, “Kenapa kemalangan ini terjadi?” Apakah orangtuaku kurang rajin bekerja dan berkarya, apakah aku kurang rajin berdoa, belajar dan membantu orangtua?” Masih segar pula dalam ingatan si bocah ketika dulu waktu menonton dan mendengarkan kampanye baik pada Pemilu DPR, pemilihan presiden, PILKADA Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati. Bahwa akan mendapatkan sekolah murah, beras murah, mencari pekerjaan gampang. Pokoknya semua masalah akan dituntaskan bila para kandidat baik calon DPR, presiden, dan bupati beserta wakilnya bila terpilih dan menang dalam pemilu. Ujar si bocah “Ah, lain pula di mulut lain pula di tindakan, mungkin semua telah lupa akan janjinya kali! Ah semoga saja tidak!” harapan si bocah yang kini telah dewasa. Ketika akan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi di universitas si bocah harus menghentikan langkahnya. Padahal dia diterima tanpa tes di Diploma 3 tahun ajaran baru, Juli kemarin di sebuah PTN/BHMN. Tetapi, setelah melihat perincian jumlah biaya yang mesti dibayar sang orangtua pun menggelengkan kepala. “Maafkan kami ya, thole bagus. Bila sapi yang kita peras susunya setiap hari mesti dijual lalu dari mana kita akan makan? Sedangkan harta kita yang berharga dan bisa kita jual cuma sapi tersebut? Kalau pun hutang ke koperasi rasanya tak mungkin, tunggakan kita masih banyak!” Si orang tua yang mencoba menasehati anaknya. “Nasib orang kecil seperti kita susah untuk beranjak” ujar si bapak. Sudah akhirnya terhenti sudah niatnya untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi. “Bagaimana saya mesti keluar dari lingkaran kemiskinan ini? Bila sekolah saja tak mampu. Mau kerja apa lagi? Ijazah SMU apa laku toh yang punya ijazah sarjana saja banyak yang menganggur? Ah, paling kembali lagi memeras susu dan ngopeni sapi!” mengapa dulu aku kok dilahirkan di negeri ini? Kok tidak di negara lain saja yang lebih baik. Negara yang aparatnya tidak korupsi, pemerintahnya mampu menata kehidupan bernegaranya dengan baik, sehingga tidak seperti negara ini. Menyesal rasanya...” ujar si bocah dalam renungannya. *** Sebuah ironi. Tetapi ironi inilah kenyataan hidup yang dialami oleh jutaan rakyat di negeri ini. Kisah si bocah tadi sebenarnya masih beruntung walaupun hidup sederhana tapi tidak menderita kelaparan, dan tidak menjadi gelandangan. Di seluruh pelosok negeri ini mayoritas rakyatnya miskin. Apakah ini semua salah pemerintah yang gagal mengelola negeri yang sebenarnya kaya raya ini? Jawabannya sangat kompleks. Dalam kehidupannya manusia sebagai warga negara, dia bukanlah mahkluk bebas yang bisa memperbaiki keadaannya sendiri. Karena pada umumnya manusia secara faktual tidak berdaya berlawanan dengan struktur. Ada ruang-ruang yang berkuasa atas diri manusia terutama struktur-struktur yang bersifat makro. Tetapi, dalam keterbatasannya itu tidak lantas membuat semua umat manusia merasa lemah dan berputus asa. Selalu, ada harapan dan gelora untuk terus berjuang. Itulah sebagian besar rakyat Indonesia. Hidup di negara salah urus ini rakyat kecil mesti membanting tulang untuk melangsungkan kehidupan. Mereka adalah manusia yang tahan banting dan terbiasa survive. Bagaimana tidak survive sekian tahun terus didera oleh penderitaan yang kian tak berujung. Negeri ini sudah 7 kali berganti pemerintahan, mulai dari era Orde lama dengan presiden Soekarno, Orde Baru dengan Presiden Soeharto, era reformasi dengan Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, dan sekarang presiden pilihan rakyat Susilo Bambang Yudhoyono. Sekian tahun, sekian kali ganti pemerintahan tapi keadaan penderitaan rakyat kecil tidak berubah. Begitu susah menjadi manusia Indonesia. Krisis multidimensi terus saja berlangsung tanpa ada tanda-tanda kapan akan berujung. Dalam hal ini pantaskah bila kita masih berharap? Bila antara value expectation dari rakyat berbanding terbalik dengan value capabilities dari pemerintah untuk menuntaskan berbagai persoalan ekonomi, politik, hukum, budaya, sosial, lingkungan dan keamanan yang mendera. Catatan dari hampir 2 periode pemerintahan Presiden SBY, memang belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi dari sektor riil juga tidak menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Bagaimana trend pertumbuhan akan membaik bila Menkeu-nya beserta jajaran departemen yang lain masih sibuk dengan Bank Century yang ternyata memang berdampak sistemik, Dengan kasus Gayus sang koruptor yang belum tuntas juga. Pemberantasan KKN juga masih dipertanyakan kapabilitas dan akuntabilitasnya. Dan masih banyak lagi catatan-catatan yang masih bernilai ”merah” dari proses perjalanan pemerintahan SBY. Menilik karya Samuel Beckett sastrawan Perancis, dalam karyanya yang usang Menunggu Godot. Ibaratnya Didi dan Gogo tokoh dalam novel tersebut rakyat kita masih menunggu Godot yang tak jelas kapan datangnya. Karena ada harapanlah kisah hidup akan terus berlangsung. Dan ketika menunggu selama 65 tahun pasca kemerdekaan rupanya masih harus bersabar. Seperti Samuel Beckett yang terus berkonfrontasi terhadap ketidakjelasan keadaan. Harapan merupakan spirit untuk merajut impian di masa depan walaupun menunggu atas keentahan. Sesuatu yang entah akan datang atau tidak. Dan untuk tidak menyesal dilahirkan di negeri ini. Dirgahayu negeriku Indonesia yang ke 65 tahun! Surabaya, 24 Agustus 2010 Wallahu’alam Bishawab. Sari Oktafiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun