Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Uniknya Sistem Pertalian Keluarga Masyarakat Jawa

11 Februari 2020   14:20 Diperbarui: 11 Februari 2020   14:28 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keluarga Jawa. Sumber: ajariakumenulis.blogspot.com

Sebagai anggota masyarakat yang sudah 25 tahun lahir dan besar di Jawa, khususnya di kota Wonogiri, Jawa Tengah, menurut saya ada yang unik dalam sistem pertalian keluarga di Jawa.

Sistem pertalian keluarga adalah sistem untuk membedakan sanak saudara yang sifatnya turun temurun atau dari generasi ke generasi dengan melihat aspek orang tua siapa yang lebih tua.

Seperti misal, nenek saya mengatakan bahwa saya dan Eko hanya berbeda beberapa bulan saja lahirnya, di tahun yang sama. Uniknya meski demikian Eko tidak boleh memanggil saya Erni saja. Dia harus memanggi saya lik Erni yang berarti saya adalah tante dia. Sedangkan, saya memanggil ibunya Eko dengan sebutan mbak/mbakyu/yu Sarni, padahal kita terpaut sekitar 25-30an tahun.

Dilihat dari pertalian keluarga, Buyutnya Eko (mbah Sayem) adalah kakaknya nenek saya. Jadi saya memanggil anaknya mbah Sayem/neneknya Eko (mbah Pait) dengan panggilan budhe Pait meskipun beliau lebih tua dibanding nenek saya.

Sehingga saya menyebut ibunya Eko, mbakyu/mbak meskipun ia seumuran ibu saya. Dan Eko memanggil saya lik Erni, meskipun kita seumuran.

Dokumentasi pribadi. Ilustrasi pertalian keluarga Jawa dalam buku Keluarga Jawa karya Hildred Geertz
Dokumentasi pribadi. Ilustrasi pertalian keluarga Jawa dalam buku Keluarga Jawa karya Hildred Geertz

Ketika bercakap-cakap kita juga harus memperhatikan tata krama. Seperti misal saya akan berbicara dengan nenek saya, maka saya menggunakan tata bahasa sangat hormat (krama inggil), sedangkan ketika berbicara dengan pakde-budhe (kakaknya ibu-bapak), paklik-bulik (adiknya ibu-bapak) saya menggunakan bahasa hormat (krama), dan ketika berbicara dengan mas-mbakyu saya menggunakan bahasa akrab namun hormat (ngoko madya). Lalu ketika berbicara dengan yang di bawah saya atau selevel maka menggunakan bahasa akrab (ngoko).

Dokumentasi pribadi. Ilustrasi cara berbicara (tata krama) dalam pertalian keluarga Jawa dalam buku Keluarga Jawa karya Hildred Geertz
Dokumentasi pribadi. Ilustrasi cara berbicara (tata krama) dalam pertalian keluarga Jawa dalam buku Keluarga Jawa karya Hildred Geertz
Orang Jawa biasanya ketika ditanya tentang hubungannya dengan seseorang yang masih ada ikatan saudara akan menunjukkan betapa dekatnya dia dengan orang tersebut dengan cara begini, "oh, dia kakak saya." Meskipun ia dengan orang yang dimaksud dalam realitanya tidak begitu akrab.

Atau misal, ia sedang menceritakan tentang menantunya, maka ia pun akan mengklaim anakku. "Anakku kerja di rumah sakit itu." Padahal yang dimaksud adalah menantunya, atau istri anaknya.

Pertalian keluarga yang sedemikian, menurut saya unik, menunjukkan adanya keakraban, dan keharmonisan sesama kerabat dekat.

Bahkan, tidak jarang orang tua (sepuh) akan mengatakan kepada anaknya atau cucunya "dia itu masih kerabat dekat kita." Lalu akan menjelaskan silsilah bagaimana seseorang yang dimaksud bisa menjadi kerabat dekat kami.

Tidak heran jika dalam satu desa ternyata bisa menjadi saudara atau masih ada hubungan keluarga. Bahkan nenek saya pernah mengatakan, "sedesa Pundung itu masih ada hubungan kerabat dengan sedesa Klepu (desa kami). Karena dulu mbah buyutmu itu orang Pundung. Saudara-saudaranya banyak yang di Pundung."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun