Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

[Event Semarkutiga] Tips dan Trik dari Guru untuk Siswa dalam Menjalani Kehidupannya

6 Februari 2020   19:42 Diperbarui: 6 Februari 2020   19:45 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak anak sukses di sekolah tetapi gagal di kehidupan nyata. Kok Bisa?

Demikian kata Merry Riana. Banyak anak sukses, pintar, dan cemerlang di sekolah tetapi di kehidupan nyata biasa-biasa saja, bahkan gagal. Padahal di sekolah mudah sekali bagi mereka untuk menyelesaikan soal-soal sulit dan meraih nilai A untuk mata pelajaran penting: matematika, fisika, kimia, bahasa inggris, dan lain-lain.

Di kelas, mereka mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Tetapi kenapa begitu menghadapi kehidupan nyata setelah lulus sekolah, mereka hanya menjadi rata-rata, bahkan di bawah rata-rata?

Antara sekolah dan kehidupan nyata memang berbeda. Anak bisa saja mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran sulit, tetapi belum tentu mampu menjadi problem solver di kehidupan nyata.

Di sekolah, mereka bisa meraih nilai A dan menjadi juara. Tapi di kehidupan nyata, pintar saja tidak cukup, harus pandai bergaul, memimpin orang lain, berkomunikasi, dan lain-lain.


Terkait hal ini, saya pun teringat drama korea berjudul "Cheer up!". Tiga tokoh utama adalah Kang Yeon Doo, Kim Yeol, dan Kwon Soo Ah.

Kang Yeon Doo, Kim Yeol, dan Kwon Soo Ah. Sumber justblogblog.blogspot.com
Kang Yeon Doo, Kim Yeol, dan Kwon Soo Ah. Sumber justblogblog.blogspot.com
Film ini menceritakan tentang kehidupan mereka di sekolah. Kang Yeon Doo, dia adalah si peringkat 196 dari 200 siswa di sekolahnya. Dia tidak suka belajar, tetapi lebih suka dance. Di sekolahnya dia disebut si pembuat onar.  Ia pun memiliki sikap santai meskipun dianggap bodoh di sekolahnya.

Berbeda dengan Yeon Doo, Kim Yeol dan Kwon Soo Ah adalah siswa terpandai di kelas. Kim Yeol adalah presiden klub Baek Ho dan selalu mendapatkan peringkat pertama. Sedangkan Kwon Soo Ah si peringkat ke dua. 

Meskipun keduanya dianggap paling pintar di kelas tetapi mereka memiliki kepribadian yang berbeda. Kim Yeol memiliki sifat pandai bergaul, ramah, memiliki jiwa kepemimpinan, dan suka menolong sesama. Dia pun diam-diam menyukai Yeon Doo, gadis bodoh di sekolahnya. 

Sedangkan Kwon Soo Ah, dia adalah teman akrab Yeon Doo. Dia sering mengajari Yeon Doo supaya bisa mendapat nilai yang lebih baik. Tetapi ternyata selama ini dia membenci Kim Yeol karena dia selalu berada di peringkat ke dua sedangkan Kim Yeol selalu peringkat pertama.

Ia pun menjebak Kim Yeol dengan cara mengambil flashdisk gurunya yang berisi soal ujian dan dimasukkan ke dalam tas Kim Yeol agar Kim Yeol dituduh curang dalam ujian. 

Kwon Soo Ah digambarkan sebagai pribadi yang pendiam, suka belajar, penyendiri, dan ambisius. Di balik sikapnya yang demikian, ternyata selama ini ia memiliki tekanan yang berat dari orang tuanya sehingga mengakibatkan dirinya stress dan menyalurkan stressnya dengan merokok di sekolah secara sembunyi-sembunyi.

Dari film drama korea tersebut dapat dilihat bahwa pintar saja tidak akan menjamin kebahagiaan.

Lihat Yeon Doo yang dianggap bodoh di sekolahnya, tetapi selalu santai menjalani hidupnya, dan sifatnya yang tidak peduli dengan apapun itu malah disukai oleh sang juara kelas, Kim Yeol. Dan Kim Yeol, terlihat seperti pribadi yang diinginkan seluruh orang, pintar, pandai bergaul, ramah, memiliki jiwa kepemimpinan, dan suka menolong sesama.

Mungkin banyak guru yang berharap siswanya seperti Kim Yeol, tetapi realita yang terjadi ada yang seperti Yeon Doo si peringkat terendah atau Kwon Soo Ah si ambisius.

Di anggap bodoh atau dianggap pintar oleh orang lain, itu bukanlah hal penting. Karena realita yang terjadi setelah lulus sekolah.

Banyak anak sukses di sekolah tetapi gagal di kehidupan nyata. Atau, banyak anak gagal di sekolah tetapi sukses di kehidupan nyata.

Seperti yang ditulis oleh kompasianer Robbi Gandamana dengan judul "Belajar Ilmu Kehidupan dari Mereka yang Putus Sekolah". Di dalam tulisannya, tokoh-tokoh yang gagal di sekolah tetapi sukses di kehidupan nyata diantaranya yaitu Cak Nun, Gus Dur, Gus Mus, Susi Pudjiastuti, Bob Sadino, dan lain-lain. 

Tetapi, bukan berarti semua yang putus sekolah akan sukses, toh banyak juga yang sukses karena bersekolah. Menurut orang tua, mereka menyekolahkan anaknya agar kelak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Kenyataannya adalah: gak semua orang dikaruniai kehebatan, kecerdasan, dan nasib baik.

Mereka yang putus sekolah tetapi sukses, kenyataannya adalah meski mereka putus sekolah, tetapi mereka tidak putus dalam hal belajar.

Nadiem Makarim, selaku menteri pendidikan pun turut ambil peran melalui pidatonya di hari guru, ia menyadarkan para guru bahwa tugas guru itu paling mulia, namun juga paling sulit, yaitu membentuk masa depan bangsa.

Nadiem menyadarkan guru bahwa potensi anak tidak diukur dengan hasil ujian, kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, dan setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda.

Nadiem memberi tips dan trik untuk mewujudkannya, yaitu mengajak kelas berdiskusi, memberi siswa kesempatan untuk mengajar di kelas, melibatkan seluruh kelas untuk mencetuskan proyek bakti sosial, dan menemukan bakat dalam diri siswa yang kurang percaya diri.

Apa yang disarankan Pak Nadiem seingat saya telah diterapkan oleh guru saya waktu SMA. Ketika pelajaran biologi, fisika, matematika, dan bahasa Indonesia, guru kami meminta kami berdiskusi lalu salah satu dari kelompok kami, diminta maju ke depan kelas dan mengajarkan kepada teman-temannya.

Kami pun pernah terlibat dalam proyek ketika pelajaran bahasa Indonesia. Seperti meliput berita di luar kelas, membuat kerajinan tangan yang kemudian di jual ke masyarakat, dan bermain drama.

Setiap class meeting pun sekolah kami mengadakan pentas seni. Kami melakukan aksi membaca puisi, bermain drama, menyanyi, dan lain-lain. Ya, semua itu memang bermanfaat bagi kami.

Tapi, kemudian setelah kita lulus, kita akan menyadari.

Dunia luar penuh persaingan, semua harus mampu berkompetisi agar disebut hebat. -Film Taare Zameen Par-

Ya, inilah realita yang terjadi. Entah seperti apa proses pembelajaran di sekolah, setelah lulus, kita akan menghadapi situasi ini. Di mana semua orang ingin dianggap hebat. Siapa yang bergaji tinggi, itulah yang disebut hebat. Siapa yang jadi PNS itulah yang dipandang hebat, bahkan idaman mertua. 

Banyak orang tua yang merasa malu jika anaknya dianggap gagal, bahkan banyak orang tua yang membanding-bandingkan antara anaknya dengan anak tetangga. Anak pun merasa dunia kerja saat ini adalah dunia yang penuh persaingan. Bahkan ada yang suka mencaci orang lain hanya untuk membandingkan dengan dirinya.

Komentar Mas Nawir di tulisan saya "S2 Jualan Tahu Viral, Masalahnya di Mana?", adalah salah satu komentar yang menginspirasi tulisan ini. Ia berkata,

Kalau orang sudah tahu takdirnya akan berakhir di mana mungkin ia tak perlu menempuh pendidikan setinggi itu.

Kenapa S2? karena ingin sukses, kenapa jualan tahu? Juga karena ia ingin sukses. Sejatinya manusia hanya ingin sukses. Hanya saja jalan menuju sukses yang ditempuh setiap orang berbeda-beda.

Maka, menurut saya ada dua hal mendasar dan teramat penting yang harus diajarkan guru kepada siswanya untuk menjalani kehidupan yang terjal ini. Inilah yang saya sebut tips guru untuk siswa dalam menghadapi kehidupannya.

Yaitu ajarkan siswa untuk selalu bersyukur dan apresiasilah dirinya untuk apapun yang ia lakukan.

Buah dari guru yang mengajarkan siswanya untuk selalu bersyukur, dan selalu mengapresiasi siswanya adalah siswa pun akan terbiasa mensyukuri apa yang ia peroleh dan mudah memberi apresiasi kepada dirinya sendiri dan juga orang lain.

Di kehidupannya, siswa tidak akan mudah iri dengan keberhasilan orang lain. Siswa akan paham apa kelebihannya dan apa kelemahannya. Siswa akan mampu menyelesaikan masalah kehidupannya melalui dua kunci tersebut, bersyukur dan apresiasi.

Bersyukur, tips ini saya dapatkan ketika membaca tulisan kompasianer Reba Lomeh yang berjudul "Saya, Eks Anak Kos Bu Diah yang Jadi Petani". Lulusan S1 tidak menjadikan Reba Lomeh tergiur untuk bekerja di kantor dinas atau kantor-kantor lainnya.

Menjadi petani adalah sebuah profesi yang ia cintai, karena ia mencintai alam. Ia tidak peduli dengan pendapat orang, ia mencintai apa yang ia lakukan, ia mensyukuri apa yang ia miliki. Itulah yang saya temukan dari pribadi Reba Lomeh.

Lalu rasa syukur itu juga saya temukan dalam tulisan yang di kisahkan oleh Taufiq Rahman berjudul "Apakah Anda Bahagia atau Sekadar Senang?". Di dalam tulisannya, Taufiq Rahman menceritakan tentang temannya yang bernama Frans. Meski ia lulusan Teknik Nuklir dari universitas bergengsi di Indonesia, ia tetap mensyukuri pekerjaannya saat ini sebagai petugas administrasi dengan gaji UMR.

Saat pak Taufiq menawarkan untuk bekerja di luar negri dengan gaji berkali-kali lipat lebih banyak, ia menolak. Baginya, hal yang paling membahagiakan bukan perihal gaji, tapi tentang ia setiap hari bisa melihat anak-anaknya, bercengkerama dengan mereka, dan anak-anak tidur di lengannya. Itulah hal yang paling membahagiakan.

Di luar sana, mungkin banyak orang yang berjabatan tinggi, bergaji besar, mungkin banyak orang memandang merekalah orang sukses itu, tetapi apakah mereka mensyukurinya? Atau merasa kurang puas?

Bagi saya sukses itu bukan terletak pada apa jabatanmu dan berapa gajimu. Tetapi sukses adalah ketika kita bahagia dengan apa yang kita lakukan.

Maka, bagi saya guru harus mengajarkan siswa untuk selalu bersyukur dan mengapresiasi diri sendiri maupun orang lain atas apa yang telah dilakukan. Karena jika kesedihan datang, dua hal inilah yang akan menjadi motivasi diri sendiri.

Lalu seperti apa trik yang harus dilakukan guru?

Lagi-lagi saya teringat sebuah film, berjudul "I Not Stupid Too". Pak Fu, dia tidak disukai siswa-siswanya karena selalu memarahi siswanya yang nilainya jelek. Sampai akhirnya ia sadar tentang potensi, bahwa potensi siswa itu berbeda-beda. Maka ia pun memberi semangat siswanya yang selalu mendapatkan nilai jelek.

"Jinjing, berapa nilai bahasa mandarinmu?"

"12 pak."

"Meningkat 2 poin dari kemarin. Besok kamu harus meningkat lima poin."

"Apa saya bisa?"

"Kamu pasti bisa jinjing :)."

Jinjing pun bersemangat. 

Inilah apresiasi seorang guru kepada siswanya, apresiasi ini akan menumbuhkan semangat pada diri siswa untuk mau berusaha, bersyukur, dan mudah mengapresiasi dirinya sendiri atas perjuangannya.

Demikianlah tips dan trik guru untuk siswa dalam menghadapi kehidupannya.

Dokumentasi Semarkutigakom
Dokumentasi Semarkutigakom

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun