Ia, menurut cerita yang dikisahkannya, adalah orang pertama di kampungya yang bisa menjejakkan kaki hingga universitas. Kisahnya itu semakin membuatku terperanjat tak kepalang.
Pada laki-laki berumur 35 tahun itu (waktu itu), aku menjumpai cerita yang nyaris tak masuk akal. "Gaji saya hanya dua juta, pak," katanya.
Hah???!!!!
"Mas Frans bisa mendapatkan jauh dari itu. Puluhan kali lipat kalau mau..."
Kepadanya, saya lantas menceritakan gaji-gaji sangat "fantastik" yang diperoleh dari teman-teman saya yang bekerja di proyek-proyek minyak dan gas raksasa di luar negeri.
"Saya akan bantu mas Frans membuatkan CV ya?", tawar saya.
Frans menggeleng. Ia mengaku bahagia meski gajinya tak seberapa, karena, katanya, selama ia masih bisa terus merasakan momen-momen paling romantis dalam hidupnya; bercengkerama dan bertemu dengan anak-anaknya setiap hari, ia akan bahagia.
Dalam selimut udara pagi di kampungnya yang sangat sejuk, Frans biasa mengantarkan anak-anaknya sekolah, sebelum ia pergi ke tempatnya bekerja dengan sepeda.
"Saya bisa setiap hari melihati anak-anak saya, bercengkerama dan bahagia merasakan lengan saya disandari oleh tubuh-tubuh mungil mereka," kata Frans. "Itu kebahagiaan yang tidak bisa saya kisahkan."
Kesetiaan kepada keluarganya. Pengertian dan pengorbanan. Begitulah yang bisa saya simpulkan dari cerita-cerita yang meluncur teratur dari mulutnya.
Jujur, sekali lagi jujur saja, saya nyaris tidak akan bisa seperti dia....