Kasus pencabutan kartu pers seorang jurnalis CNN Indonesia di Istana baru-baru ini menjadi bukti nyata betapa rapuhnya kebebasan pers di negeri ini. Hanya karena bertanya soal program makanan bergizi gratis (MBG), akses liputan langsung dicabut. Meski kartu itu akhirnya dikembalikan setelah desakan publik dan Dewan Pers, kejadian ini tetap meninggalkan jejak kelam.
Pertanyaan kritis adalah tugas jurnalis, bukan pelanggaran. Sayangnya, kekuasaan justru kerap memandangnya sebagai ancaman. Padahal, membatasi jurnalis berarti membatasi hak rakyat untuk mendapat informasi yang transparan. Demokrasi tidak akan pernah sehat tanpa pers yang merdeka.
Insiden ini harus dilihat sebagai alarm serius. Jika kebebasan pers terus dipangkas, apa yang tersisa dari demokrasi kita selain slogan kosong? Wartawan tidak boleh bekerja dalam bayang-bayang intimidasi. Publik pun tidak boleh tinggal diam ketika pers dibungkam.
Membela jurnalis sama artinya dengan membela kepentingan rakyat. Karena ketika jurnalis dibungkam, yang hilang bukan sekadar suara media, tapi juga hak publik untuk tahu. Speak up adalah kewajiban moral, bukan pilihan.
Kasus jurnalis CNN di Istana adalah cermin buram wajah demokrasi Indonesia hari ini. Demokrasi hanya bisa bertahan jika pers dibiarkan bebas, kritis dan berani bertanya. Diam berarti membiarkan arogansi kekuasaan tumbuh tanpa batas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI