Program Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan digembar-gemborkan sebagai solusi peningkatan gizi masyarakat, terutama bagi pelajar dan keluarga miskin. Di atas kertas, program ini terlihat menjanjikan: rakyat mendapat makanan bergizi tanpa biaya dan negara seolah hadir lewat kepedulian nyata.
Namun, di balik euforia itu, muncul berbagai cerita yang membuka sisi lain dari MBG khususnya bagi mereka yang berada di lini paling bawah, para asisten lapangan.
Harapan vs Realita
Saya pernah mencoba bekerja sebagai asisten lapangan MBG, dengan harapan pekerjaan ini sesuai aturan ketenagakerjaan: 8 jam kerja, upah layak dan sistem yang manusiawi. Namun kenyataannya jauh berbeda.
Jam kerja membengkak hingga 13 jam nonstop, dari pukul 4 sore sampai 10 pagi keesokan harinya. Tanpa kontrak resmi, posisi pekerja sangat rentan bisa diberhentikan sewaktu-waktu. Akhirnya, saya memilih mundur bahkan sebelum sehari penuh bekerja. Bukan hanya capek, tapi juga merasa terjebak dalam sistem kerja yang tidak adil.
Antara Makan Gratis dan Tenaga Murah
Program MBG memang memberi makanan bergizi gratis untuk rakyat, tapi siapa yang memastikan para pekerja di lapangan juga sejahtera? Jangan sampai slogan "makan bergizi gratis" hanya berlaku bagi penerima, sementara pekerjanya harus rela jadi tenaga murah dengan hak yang diabaikan.
PR Besar Bagi Negara
Program MBG punya niat baik. Tapi, niat baik saja tidak cukup. Jika distribusi dan pelaksanaan di lapangan masih penuh masalah dari jam kerja tidak manusiawi, minimnya perlindungan tenaga kerja, hingga potensi salah sasaran maka yang menikmati kesejahteraan justru hanya segelintir pihak.
Pertanyaan penting pun muncul: siapa sebenarnya yang benar-benar sejahtera dari MBG? Rakyat banyak atau justru segelintir pengelola di balik program?