Mohon tunggu...
Fransiskus Sardi
Fransiskus Sardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Follow ig @sardhyf dan ig @areopagus.2023 “Terhadap apa pun yang tertuliskan, aku hanya menyukai apa-apa yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dan dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh” FN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konsep-Konsep Penting dalam Budaya Rongga: Dari Paham Yang Ilahi sampai Konsep Ketidakselamatan

2 Oktober 2021   10:41 Diperbarui: 2 Oktober 2021   10:54 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarian Vera Budaya Rongga, salah satu warisan kebudayaan Rongga. Dok Pribadi: Fransiskus Sardi

Tulisan ini adalah hasil elaborasi saya dari pengetahuan dan pengalaman pribadi saya sebagai orang Rongga. Saya pernah menulis tentag tarian vera yang menjadi kekhasan budaya Rongg. Bisa baca di sini.

Sebenarnya tulisan ini adalah tugas pribadi saya dalam mata kuliah Paham Ketuhanan. Dosen saya meminta kami untuk memetakan konsep ketuhanan dalam budaya lokal kami masing-masing. Alur dan metode yang diterapkan adalah konsep dari Ninian Smart (1927-2001). Roderick Ninian Smart ialah seorang penulis asal Skotlandia dan dosen perguruan tinggi. Ia dianggap pelopor dalam bidang studi religius sekuler.

Berikut saya menerapkan konsp-konsepnya dalam konteks pemahaman budaya Rongga.

Konsep Tentang Yang Ilahi

Sebutan tentang Yang Ilahi dalam Budaya Rongga adalah Ema Mori Ndewa,  Embu Nusi dan Mori Tanah, Mori Watu Nitu tanah. Term-term ini secara keseluruhan dapat dipahami atau disebut sebagai Yang Transenden.

Nama-nama ini memiliki arti sebagai suatu realitas Ilahi yang keberadaanya tidak dilihat secara kasatmata, tetapi diyakini ada dalam dinamika kehidupan orang Rongga.

Nama ini memiliki sisi feminim dan juga maskulin. Karakter kelamin ganda ini tidak terlepas dari keyakinan bahwa Yang Ilahi ini ada dalam alam semesta, roh leluhur dan juga dalam diri hewan-hewan tertentu.

Terlepas dari pemahaman modern tentang maskulin dan feminim, orang rongga memahami sisi ini ada dalam diri pribadi Yang Ilahi karena memiliki kuasa baik dan kuasa buruk.menghancurkan.

Salah satu contoh adalah musibah yang disebabkan bencana alam. Hal ini dinilai oleh orang rongga disebabkan ada disharmoni antara Embu Nusi sebagai Yang Ilahi dengan manusia. Untuk mengembalikan situasi ini maka akan diadakan sesajian di tempat-tempat yang sudah diaggap sakral, misalnya mata air, hutan lebat dan di rumah adat.

Konsep dasar yang kuat dihidupi ialah bahwa Yang Transenden ini berkarakter seperti seorang bapak, yang memiliki kekuatan dalam kehidupan dan berkarakter tangguh dan keras. 

Kata Ema berarti 'bapak', dan kata Embu Nusi berarti leluhur yang juga berjenis kelamin laki-laki. Konsep ini mengafirmasi pemikiran Mircea Eliade yang menegaskan bahwa kepercayaan primitive, menjadi bagian dari sejarah kehidupan.

Rekonstruksi kebudayaan itu membentuk suatu pola yang tidak bisa dilupakan, artinya kebiasan tradisional menjadi acuan untuk mengembangkan kebudayaan modern.

Konsep Tentang Yang Insani

Yang insani atau manusia dalam Budaya Rongga memiliki konsep berlawanan dengan Yang Iilahi. Jika Yang Ilahi itu kuat, maka Yang insani itu lemah dan selalu membutuhkan sosok Yang Ilahi.  Di samping itu dalam kehidupan harian Budaya rongga adalah budaya yang sangat patriakal, karenanya dalam memahami manusia ada pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. 

Laki-laki memiliki peran yang cukup besar dalam kehidupan masyrakat. Laki-laki memiliki peran penting dalam ritual dan kehidupan harian. Sedangkan perempuan hanya memiliki peran sebagai pribadi yang berada di dapur. Hal ini tidak terlepas dari konsep budaya patriakal.

Perempuan memiliki peran sebagai pemasak di dapur. Konsep ini pada akhirnya mempengaruhi pembagian harta warisan keluarga. Biasanya perempuan tidak mendapat warisan tanah dari orang tua. Perempuan juga akan meninggalkan keluarga dan pergi ke rumah suami yang telah meminangnya.

Konsep Tentang Alam Semesta

Alam semesta adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Alam semesta menjadi bagian yang memberikan dampak penting untuk kehidupan manusia. Dalam hidup harian, orang Rongga memahami alam semesta memiliki kekuatan gaib.

Hal ini tidak terlepas dari keyakinan bahwa pohon-pohon besar dan hutan-hutan yang lebat memiliki kekuatan dan aspek sakralnya. Kesakralan ini tampak dalam usaha menghargai alam melalui ritual sesajian yang dilaksanakan di sumber air (mata wae), hutan besar (kala mezhe) dan di batu-batu besar (watu mezhe). Ada satu ritual untuk menghormati mata air dan dilaksanakan secara rutin setiap tahun, ada ritual untuk menghormati hutan lebat yang disebut dengan tradisi renda leke.

Renda leke adalah ritual untuk memberi sesajian di hutan lebat. Hal ini juga dilaksanakan setiap tahun. Selain itu hewan-hewan juga diyakini memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Ayam, babi, kerbau, anjing dan sapi adalah jenis piaraan yang memiliki fungsi besar dalam hidup orang Rongga.

 Ayam biasanya menjadi hewan yang dikurbankan setiap ada ritual dalam budaya Rongga. Ritual sekecil apapun pasti akan selalu membutuhkan ayam dan tua (sopi) sebagai sarana perantara menuju Yang Ilahi disamping doa-doa yang diucapkan oleh tua adat.

 Ada satu ritual untuk menghormati mata air dan dilaksanakan secara rutin setiap tahun, ada ritual untuk menghormati hutan lebat yang disebut dengan tradisi renda leke. Renda leke adalah ritual untuk memberi sesajian di hutan lebat. Hal ini juga dilaksanakan setiap tahun. 

Konsep Tentang Keselamatan

Keselamatan dalam budaya rongga dipahami sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Ada keyakinan bahwa manusia yang hidup akan mati dan juga akan bangkit lagi dalam rupa dan wujud yang ada di alam semesta.

Keselamatan dalam konsep budaya rongga ada dalam kaitannya dengan ritual dan sesajian untuk menghormati orang mati. Ada tradisi dimana pada saat ada orang yang telah meninggal diberi sesajian. Ritual kematian juga ada dalam budaya Rongga sebagai keyakinan untuk pemisahan antara orang mati dan orang hidup. Ritual ini dinamakan dengan nggua (kenduri orang mati).

Kenduri ini menunjukan bahwa mereka yang telah mati akan berpisah selamanya dengan mereka yang hidup apabila sudah ada ritual nggua. Ada keyakinan juga bahwa keselamatan adalah milik orang-orang yang memiliki kehidupan baik selama berada di dunia. Oleh karena itu orang-orang yang mati secara tidak wajar (mata golo) mayat (tombo) dari orang tersebut tidak diperkenankan di bawah ke dalam rumah.

Mayat akan diletakan di halaman rumah dan dibuat sebuah acara hingga dikuburkan. Apabila tidak membuat acara (keti) maka kejadian serupa diyakini akan terus di alami oleh keluarga. Keti secara harafiah berarti potong. Maknanya adalah ritual untuk memohon agar musibah atau kecelakaan yang dialami itu tidak terjadi lagi.

Tindakan ini sebenarnya dapat dipahami sebagai pendamaian dan semua kecelakaan yang menimpa kehidupan dalam keluarga itu dibawah pergi bersama adanya ritual keti. Keselamatan juga akan didapat apabila ada pendamaian melalui sesajian setiap saat dengan leluhur yang telah meninggal. 

Konsep Tentang Ketidakselamatan

Konsep ketidakselamatan dalam budaya Rongga diwarnai dengan tindakan jahat selama manusia berada di dunia. Ada keyakinan bahwa orang yang meninggal akibat musibah adalah orang yang sebenarnya tidak memiliki keselamatan dalam hidup harian.

Ketidakselamatan juga dijatuhkan bagi mereka yang melanggar kaidah dan aturan dalam rumah adat. Pelanggaran dalam tata cara dalam rumah adat akan memberikan sanksi berupa sanksi sosial dan juga material. 

Keti secara harafiah berarti potong. Maknanya adalah ritual untuk memohon agar musibah atau kecelakaan yang dialami itu tidak terjadi lagi. Tindakan ini sebenarnya dapat dipahami sebagai pendamaian dan semua kecelakaan yang menimpa kehidupan dalam keluarga itu dibawah pergi bersama adanya ritual keti.

Seorang yang melanggar tata laku kehidupan dalam rumah adat akan menerima sanksi sosial dan material. Hal senada berlaku juga bagi mereka yang tidak menghargai alam dan lingkungan. Contohnya adalah apabila ada orang yang dengan sengaja merusak hutan akan mendapat sanksi untuk memulihkan kembali relasi dengan hutan tersebut yakni membuat sesajian yang semua biaya ditanggung oleh pelaku perusak hutan tersebut, sebagai bentuk sanksi material dan sosial.

Konsep-konsep di atas adalah bagian yang saya pelajari dan temukan dalam keseharian hidup orang rongga. Praktek hidup orang rongga tidak pernah terpisah dari pemahaman ini. Dalam paradigma umum konsep ini menjadi tuntunan pelaksanan hidup. Di samping kepercayaan pada agama Kristiani, saya melihat orang-orang Rongga masih banyak menerapkan tatanan hidup ini. Warisan konsep ini menjadi kekayaan khazanah budaya rongga. Semoga paradigma ini tetap diwariskan sebagai kekayaan budaya lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun