Mohon tunggu...
Adi Pujakesuma
Adi Pujakesuma Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

KEBENARAN HANYA MAMPU DILIHAT MELALUI MATA KEMATIAN

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Cerita dari NTB: Penyesalan Inaq Lembain

29 Januari 2017   07:56 Diperbarui: 29 Januari 2017   08:30 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebiasaan anak saya menyadur cerita rakyat belum juga berhenti. Dengan rasa antusias jari-jemari mungilnya lincah mengetik huruf demi huruf perantara komputer hingga menjadi sebuah saduran cerita rakyat.

Kali ini datangnya dari Indonesia, cerita dari daerah Nusa Tenggara Barat sebagai santapannya, terlepas dari plagiat atau copy paste, jerih payah anak usia 8 tahun patut mendapatkan apresiasi dari orang tuanya, agar kelak menjadi anak yang berguna bagi orang tua, agama nusa dan bangsa indonesia, berikut ceritanya.

Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang isteri bernama Inaq Lembain dan Sang suami bernama Amaq Lembain. Mata pencarian merek adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan berkeliling kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi. Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula.

Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat bekerja. Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menarik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “ibu batu ini semakin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, ibu baru saja menumbuk.”

Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampin beras. Suara anak-anak itu semakin makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi. Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.

Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. Dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong oleh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini.

Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Teker. Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.

Cerita diatas menyiratkan pesan, “Janganlah menunda-nunda suatu pekerjaan. Jika ada orang yang meminta pertolongan. Segeralah menolongnya sebelum terlambat.”

29 Januari 2017

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun