Langkah Presiden Prabowo Subianto merombak Kabinet Merah Putih untuk pertama kalinya langsung memantik perdebatan publik. Sebagian menilai ini sebagai sinyal bahwa Presiden ingin memperbaiki kinerja pemerintahan dan merespons aspirasi masyarakat. Namun, sebagian lainnya justru melihatnya sebagai manuver politik yang lebih banyak diwarnai kepentingan kekuasaan ketimbang semangat pembaruan.
Reshuffle selalu menjadi momen simbolik. Di balik seremoni pelantikan, publik membaca pesan-pesan politik yang tersirat. Ketika nama Sri Mulyani digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa di Kementerian Keuangan, tafsir yang muncul pun beragam. Ada yang optimistis terhadap arah ekonomi baru, tetapi ada pula yang khawatir pada hilangnya figur teknokrat yang selama ini menjadi penopang kredibilitas fiskal Indonesia. Reaksi negatif pasar saham dan kehati-hatian investor menunjukkan bahwa perubahan kabinet tidak selalu otomatis menumbuhkan kepercayaan.
Lebih jauh, reshuffle kali ini juga memperlihatkan betapa politik masih menjadi poros utama dalam pengambilan keputusan. Masuknya sejumlah tokoh partai seperti Ferry Juliantono, Mukhtarudin, dan Gus Irfan ke dalam kabinet dibaca publik sebagai bentuk konsolidasi politik, bukan sekadar penyegaran birokrasi. Kekosongan posisi Menko Polkam dan Menpora menambah panjang daftar pertanyaan: apakah ini tanda bahwa proses tawar-menawar politik masih berlanjut?
Masyarakat kini semakin kritis. Mereka tidak lagi terpukau oleh retorika perubahan, melainkan menuntut bukti konkret. Harapan tentu tetap ada---bahwa wajah-wajah baru di kabinet mampu membawa semangat kerja yang lebih efektif dan berpihak pada rakyat. Namun pengalaman masa lalu mengajarkan bahwa pergantian orang tidak selalu berarti pergantian pola pikir. Jika yang berubah hanya nama, sementara gaya kepemimpinan dan kebijakan tetap sama, maka reshuffle hanyalah kosmetik politik belaka.
Presiden Prabowo kini dihadapkan pada tantangan besar: mengubah reshuffle menjadi titik balik, bukan sekadar pertunjukan. Masyarakat menunggu bukti bahwa perombakan ini benar-benar lahir dari niat memperbaiki, bukan mengakomodasi. Karena pada akhirnya, rakyat tidak lagi menilai dari siapa yang duduk di kursi menteri, tetapi dari apa yang mereka kerjakan untuk bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI