Mohon tunggu...
Sarah Anestarina
Sarah Anestarina Mohon Tunggu... guru -

Guru yang berusaha untuk terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dibuka : PAKOC : Perkumpulan Anak Korban Perceraian

3 November 2013   19:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:38 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemikiran ini muncul dari percakapanku dengan salah seorang anak yang sering datang untuk meminjam buku di perpustakaan yang dikelola aku dan suamiku. "Kak, orangtuaku pisah!" Kaget juga mendengarnya karena anak ini selalu ceria setiap kali datang ke perpustakaan. Sangat jarang dia bercerita tentang keluarganya, aku menanggapinya dengan pertanyaan "Kapan terjadinya?" Mulailah dia bercerita : Aku sering lihat Bapak sama Ibu bertengkar. Pertengkaran sering terjadi sejak Bapak mengalami kecelakaan kerja. Aku pernah cerita ke kakak kalau Bapak jatuh dari tingkat tiga saat kerja di pembangunan gedung. Nah pas Bapak dirumah sakit, aku pernah lihat ibu datang dengan seorang laki-laki. Sekarang aku baru tahu kalau laki-laki itu yang buat rumah tangga orangtuaku berantakan karena setelah cerai, ibu menikah dengan orang itu. Padahal baru saja cerai kok langsung nikah berarti kan ibu sudah dekat dulu dengan orang itu. Aku ga mau manggil orang itu Bapak, seperti yang diminta Ibu, aku hanya mau manggil om. Om, sering kasih aku uang, jajanan, tapi aku ga mau. Aku juga ga mau tinggal sama ibu. Kasihan Bapak. Setelah kecelakaan, Bapak belum bisa kerja, kakinya patah butuh waktu buat sembuh. Aku tahu kenapa Ibu meninggalkan Bapak karena Bapak ga lagi bisa kerja dan cari uang buat kami. Aku sedih kak! Selain itu, adikku yang ikut Ibu terkena masalah narkoba, adikku perempuan sering pulang malam, ga betah dirumah. Maaf ya kak, aku jadi curhat." Aku terdiam mendengarnya, aku sama sekali tidak menyangkanya. Tiba-tiba, anak yang lain berbicara karena kami tidak hanya berdua, dia datang bersama temannya, anak yang juga sering datang ke perpustakaan. "Aku juga mengalami hal yang sama kak, orangtuaku cerai, aku tinggal sama mama dan papa tiri. Aku ga tahu papa kandungku ada dimana, aku punya kakak satu terus adik tiga, aku sama adikku beda papa tapi satu mama." Anak yang pertama kali bercerita padaku mengatakan bahwa ada teman yang sering datang ke perpustakaan yang juga mengalami hal yang sama, papa temannya pergi entah kemana dan tidak pernah mengurus anak-anaknya dan tidak hanya satu, ada juga yang lain.
Setelah mereka pulang, aku berpikir : jika ada perkumpulan untuk anak-anak korban perceraian, berapa banyakkah anggotanya?

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--14 September 2013
Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan, angka perceraian di Tanah Air mencapai 212.000 kasus setiap tahunnya.
"Angka tersebut jauh meningkat dari 10 tahun yang lalu, yang mana jumlah angka perceraian hanya sekitar 50.000 per tahun," ujar Nasaruddin di Jakarta, Sabtu.

Nah, mari kita hitung anggota perkumpulan anak korban perceraian :
jika setiap keluarga yang bercerai memiliki :
1anak maka ada 212.000 anak
2anak maka 424.000 anak
3anak maka 636.000 anak, dan seterusnya.

Jika ini memang benar-benar terjadi maka akan ada saatnya muncul generasi yang tumbuh tanpa mengalami kondisi keluarga yang utuh.
Tulisan ini dibuat sebagai bentuk refleksi bagi kita para orang tua tentang dampak perceraian bagi anak-anak. Mungkin jika mereka diberi kesempatan berbicara, mereka tidak rela orangtuanya bercerai. Ada banyak cara yang dapat dilakukan anak untuk menyikapi perceraian orangtuanya, misalnya lebih senang bersama teman daripada bersama keluarga, ya kalau temannya baik, bagaimana kalau tidak baik? Ada juga pelarian dalam bentuk kecandua narkoba, rokok, pornografi, dll. Semuanya itu bentuk pelarian anak-anak. Mengapa begitu, karena mereka tidak mendapat yang seharusnya mereka dapat, yaitu kasih sayang yang utuh dari orangtua yang tinggal bersama sebagai keluarga yang utuh.
Mari berefleksi....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun