Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen Tutor

Menuang Ide, Merangkai Rasa, Merawat Jiwa ✨

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Tren TikTok: Perjalanan ke Mekkah dengan Cara Tak Lazim, Ibadah atau Monetisasi Agama?

5 Maret 2025   00:09 Diperbarui: 14 Maret 2025   23:17 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibadah umrah di Mekkah, Saudi Arabia. (Foto:Dok/WestJava Today)

Indonesia memang selalu "laku" ketika menjual apa pun yang berhubungan dengan agama. Meskipun itu terlihat menyimpang dan tidak masuk akal sekali pun, tatanan kehidupan sosial masyarakat kita masih sulit untuk menolak atau bahkan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Monetisasi agama dalam pandangan ekonomi

Kegiatan monetisasi agama sebenarnya bukanlah sebuah hal yang baru. Karl Max dalam bukunya yang berjudul "A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right" (1844) menjelaskan bagimana sebuah agama menjadi candu bagi masyarakat. 

Hal ini kemudian akhirnya pada saat itu dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengontrol masyarakat dan mempertahankan struktur ekonomi yang ada.

Kemudian agama lahir menjadi sebuah komoditas yang dapat diperdagangkan dan dikomodifikasi untuk kepentingan pihak tertentu. Di mana ini yang akhirnya mengarah ke bentuk "eksploitasi" dengan memanipulasi individu atau kelompok melalui emosi dan keyakinannya untuk mendapatkan keutungan pribadi.

Fenomena ini juga bahkan bisa dilihat dari kacamata ekonomi syariah. Di mana Ibnu Khaldun (1332 - 1406) seorang sejarawan, sosiolog, dan ekonom muslim ini melihat bagimana dinamika antara ekonomi dan agama. Agama dianggap sebagai faktor penting dalam pembangunan ekonomi, tetapi disaat yang bersamaan beliau juga memperingatkan soal komersialisasi yang berlebihan.

Ibnu Khaldun mengamati fenomena kelompok elite termasuk ulama dan pemuka agama yang terkadang menggunakan agama sebagai sebuah alat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi maupun politik. Sehingga dari sisi etika Islam, komersialisasi agama bisa menjadi haram jika tujuannya semata-mata hanya untuk keuntungan dan tanpa nilai ibadah yang tulus.

Ada juga Muhammad Baqir al-Sadr (1935--1980) seorang ekonom muslim modern yang mengungkapkan kritiknya soal sistem kapitalisme atau sosialisme di dalam ekonomi Islam. Salah satunya adalah bagaimana ketika kapitalisme akhirnya dapat mengeksploitasi moral dan nilai spiritual demi keuntungan.

Jika dihubungkan dengan fenomena TikTok pergi ke Mekkah dengan cara yang tak lazim ini mungkin dapat dikatakan sebagai bentuk kapitalisisme digital yang memungkinkan siapa saja untuk menjual pengalaman spiritual atau ibadahnya dengan tujuan untuk memperoleh kentungan pribadi.

Ekonomi Islam pada dasarnya tidak menolak aktivitas ekonomi berbasis agama, tetapi menekankan bahwa niat dan cara untuk mendapatkan keuntungan tersebut harus bersih dari eksploitasi dan manipulasi. 

Melihat bagaimana tren TikTok pergi ke Mekkah ini justru lebih terasa seperti sensasi demi keuntungan pribadi belaka dibandingkan dengan esensi ibadahnya. Hal ini kemudian yang pada akhirnya menjadi sebuah distorsi nilai ibadah dalam kapitalisme digital.

Oleh karena itu, perlu adanya edukasi yang lebih luas di dalam masyarakat terkait hal ini agar bisa membedakan mana yang masih di dalam koridor syariat Islam dan mana yang masuk ke ranah eksploitasi dan manipulasi. Sehingga harapannya setiap umat muslim tetap bisa menjaga nilai-nilai keislamannya meskipun di era kemajuan digital seperti saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun