Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Memahami "The Innovator's Dilemma" dan Kegagalan Perusahaan dalam Menghadapi Persaingan Pasar

15 Maret 2024   15:04 Diperbarui: 16 Maret 2024   08:02 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber: Freepik/mockupdaddy-com

Terciptanya sebuah produk dalam sebuah bisnis merupakan buah dari inovasi. Di mana seseorang atau sekelompok orang melakukan inovasi melalui proses mengembangkan ide, pengetahuan, keterampilan, hingga pengalaman. Bahkan tak sedikit juga yang melalui proses perbaikan dan evaluasi secara terus-menerus hingga tercipatanya produk tersebut.

Produk sudah tercipta, kali ini akan dihadapi pada tahapan berikutnya yaitu proses penjualan. 

Pada tahapan ini kualitas produk akan dinilai dari respon penjualan yang terjadi. Bukan hanya dari seberapa banyak produk yang terjual namun feedback dari konsumen terkait kepuasan akan produk tersebut.

Setelah itu masuk ke tahapan terakhir yang akan menguji seberapa kuat produk tersebut, namun dalam skala yang lebih besar lagi. 

Tidak hanya akan berbicara soal penjualan, kualitas, atau feedback konsumen lagi, tetapi seberapa kuat produk tersebut mampu bertahan di dalam persaingan pasar.

Ketika sudah memasuki pasar, maka produk yang perusahaan ciptakan akan menghadapi kompetitor atau pesaing yang menjual produk serupa. 

Bahkan pada fase ini setiap perusahaan yang menjual berbagai produk yang sama akan berlomba untuk terus melakukan inovasi agar bisa bertahan dan menjadi market leader.

Maka proses inovasi pada dasarnya tidak akan pernah berhenti dengan alasan sederhana untuk bisa 'bertahan' di dalam pasar.

Namun bertahan juga belum cukup karena tentu perusahaan ingin terus berkembang dan maju sehingga dapat memperoleh peningkatan profit dan dapat berkelanjutan dalam jangka panjang.

Michael Boyles dalam artikelnya yang diterbitkan di Harvard Business School Online menjelaskan lebih lanjut mengapa inovasi menjadi penting dalam sebuah bisnis. Inovasi adalah produk, layanan, model bisnis, atau strategi yang baru dan berguna.

Inovasi juga tidak harus sebuah 'terobosan' besar, tetapi dengan meningkatkan layanan pada konsumen atau menambahkan fitur-fitur baru dalam produk (teknologi) juga dapat dikatakan sebuah inovasi. 

Namun kita perlu hati-hati terhadap inovasi, karena dalam praktiknya hasil dari inovasi sendiri bisa jadi sustainable atau bersifat disruptif.

Inovasi yang sustainable berarti inovasi yang dapat meningkatkan proses dan teknologi perusahaan dalam meningkatkan kualitas lini produknya bagi konsumen setianya.

Selain itu inovasi ini juga dilakukan oleh bisnis yang sudah lama dan ingin mempertahankan posisinya di puncak pasar.

Sedangkan inovasi yang disruptif adalah inovasi yang dilakukan oleh perusahaan kecil dalam upaya untuk menantang pesaing seperti perusahaan yang lebih besar dan menjual produk yang sama di dalam pasar tersebut. 

Misalnya, ketika perusahaan baru ingin menjadi segmen pasar alternatif bagi suatu produk yang konsumennya tidak dapat menjangkau produk di perusahaan pesaing yang lebih besar dan harganya mahal.

Namun, Boyles menyimpulkan bahwa perusahaan yang sukses adalah yang bisa menggabungkan kedua hal tersebut sebagai strategi bisnis perusahaan. 

Inovasi yang sustainable bertujuan untuk memastikan posisi perusahaan di dalam pasar, sedangkan inovasi yang disruptif itu dijadikan sebagai acuan agar bisa kompetitif dan mengejar pertumbuhan perusahaan.

Teori hanya sebuah teori. Pada akhirnya seorang inovator atau sosok dibalik terciptanya sebuah inovasi dan terobosan dalam suatu produk tertentu akan mengalami 'dilema' ketika dihadapkan dengan inovasi bertujuan untuk bertahan dipasar dan inovasi yang bertujuan agar dapat bersaing dengan perusahaan pesaing.

Apalagi jika kita sangkutan dengan perusahaan yang bergerak dibidang teknologi. Tidak hanya sulit dalam hal inovasi untuk bisa mempertahankan posisinya di pasar saja, tetapi melalukan inovasi baru untuk bisa bersaing juga tak kalah lebih sulit lagi.

Sumber: Depositphotos/denisismagilov
Sumber: Depositphotos/denisismagilov

Sebuah buku yang berujudul "The Innovator's Dilemma" karya Clayton Christensen memberikan catatan penting mengenai bagaimana sebuah inovasi dapat terjadi, dan mengapa para pelaku bisnis yang memimpin pasar dan pelaku lama sering kali 'gagal' memanfaatkan arus inovasi berikutnya dalam industri mereka masing-masing.

Salah satu alasan mengapa perusahan-perusahan besar mengalami kegagalan adalah 'manajemen yang baik' dari perusahan tersebut. Mungkin bagi kita akan menjadi sesuatu hal aneh ketika sebuah manajemen yang baik jusrtru ternyata bisa mengakibatkan sebuah kegagalan.

Namun manajemen yang baik ini tidak hanya berurusan dengan keberhasilan dalam mengambil keputusan penting dan manajemen sumber daya yang baik saja, tetapi adanya kecendrungan untuk menolak inovasi disruptif yang sebenernya memiliki tujuan baik agar perusahaan tersebut dapat bisa bersaing di pasaran.

Kesalahan persepi perusahaan terhadap inovasi disruptif ini juga dianggap sebagai kegagalan perusahaan dalam menerima atau mengembangangkan inovasi teknologi disruptif karena ketidakmampuan perusahaan untuk beradaptasi secara operasional maupun teknologi.

Sehingga dapat dikatakan bahwa manajemen tidak bisa mengidentifikasi tren terbaru, mengembangangkan ide-ide baru, dan melakukan reorganisasi untuk membawa teknologi baru tersebut ke dalam pasar.

Selain itu perusahaan lama biasanya juga berusaha untuk menerapkan inovasi teknologi yang sudah ada yang dianggap 'berhasil' di dalam pasar.

Seringkali anggapan bahwa teknologi baru masih terlalu baru dan memiliki kelemahan, serta belum matang bila dioperasikan oleh perusahaan menjadi dasar utamanya.

Bahkan perusahaan tak segan untuk menolak investasi berkelanjutan pada inovasi teknolagi baru tersebut karena khawatir akan gagal dipasaran dan mengalami kerugian.

Namun rasanya ini menjadi masuk akal ketika perusahaan mencoba mengukur resiko yang ada terhadap inovasi teknologi baru yang akan diterapkan. 

Menurut Clayton Christensen yang juga merupakan seorang professor di Harvard Business School menjelaskan bahwa hampir 30.000 produk baru diperkenalkan setiap tahun, dan 95% diantaranya mengalami kegagalan.

Angka statistik ini bahkan tidak bisa dihindari pada bisnis apapun, termasuk bisa melanda pada perusahaan raksasa sekali pun seperti Google, Coca-cola, dan Colgate. 

Salah satu contohnya projek google glass yang mengusung teknologi mutakhir pada sebuah kacamata yang menerima investasi jutaan dollar namun mengalami kegagalan dan menghilang begitu saja.

Sumber: techno.okezone (Apa Kabar BlackBerry dan Nokia, Ponsel Sejuta Umat Kala Itu)
Sumber: techno.okezone (Apa Kabar BlackBerry dan Nokia, Ponsel Sejuta Umat Kala Itu)

Selain itu ada Nokia dan Blackberry, dua perusahaan handphone raksasa yang pernah memimpin pasar handphone dunia yang mengalami kegagalan karena tidak bisa menghadapi persaingan terberatnya saat itu yaitu Apple dan pada akhirnya gagal mengikuti arus inovasi teknologi terbaru.

Kedua perusahaan tersebut menganggap bahwa produk mereka adalah 'produk terbaik' dan mengabaikan tren inovasi terbaru sehingga akhirnya mengalami keruntuhan dan menghilang dari pasar handphone dunia. 

Dapat disimpulkan juga bahwa kedua perusahaan ini menolak inovasi disruptif yang justru bisa membawa kesuksesan keduanya di masa yang akan datang.

Selanjutnya datang dari pasar fotografi yang saat itu dipimpin oleh Kodak. Siapa yang tidak tahu merk fotografi analog yang kala itu digemari oleh banyak orang untuk mengabadikan momen berharganya. Namun ternyata kejayaan itu bisa meredup hanya karena tidak mampu bersaing dengan tren teknologi fotografi terbaru.

Sumber: Getty Images 
Sumber: Getty Images 

Kodak saat itu 'terlambat' melakukan inovasi dan mengikuti tren teknologi terkini di mana banyak perusahaan fotografi yang mulai menggunakan teknologi digital pada produk kameranya. Konsumen juga dengan cepat meninggalkan kodak karena kamera digital yang dianggap jauh lebih murah dan praktis.

Meskipun pada akhirnya Kodak meluncurkan lini produk kamera digitalnya, namun dengan terlambatnya mengikuti tren teknologi tersebut membuat posisi Kodak sebagai perusahaan fotografi yang memimpin pasar goyah dan tergantikan dengan perusaan pesaing yang lebih dahulu mengusung tren inovasi teknologi tersebut.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) menjelaskan lebih lanjut lagi tentang mengapa 95% produk baru gagal mencapai target dan memberikan pandangannya agar produk baru yang kelak akan kita luncurkan dapat menghindari hal serupa.

Svafa Grnfeldt seorang professor di MIT Professional Education's online menjelaskan bahwa banyak inovasi yang gagal karena mereka memperkenalkan sebuah produk atau solusi lain tanpa adanya kebutuhan yang nyata. Atau dengan kata lain tidak ada 'pasar' untuk produk atau solusi yang mereka ciptakan tersebut.

Banyak perusahaan yang tidak mempertimbangkan kebutuhan konsumen saat mereka meluncurkan produk baru mereka.

Beberapa kegagalan yang terjadi juga sebagai akibat dari kurangnya perusahaan dalam mempelajari dan memahami kebutuhan konsumen yang sebenarnya.

Selain itu juga perusahaan acap kali terlambat dalam menyadari atau bahkan tidak menghiraukan tren terbaru yang konsumennya sedangkan butuhkan. 

Dan justru mereka mengeluarkan produk yang dianggap dapat menjadi solusi bagi konsumennya namun secara realitanya bahkan tidak bisa bertahan atau masuk ke dalam pasar itu sendiri.

Namun ini merupakan sebuah dilema bagi para inovator produk di perusahaan mana pun. Memilih antara inovasi yang sustainable atau inovasi yang disruptif dalam mengembangkan produk dan mempertahankan posisinya di dalam pasar.

Tetapi perusahan yang baik adalah perusahaan yang mampu mengelola kedua jenis inovasi tersebut. Di mana inovasi yang sustainable dapat membuat perusahaan memastikan posisinya di dalam pasar, sedangkan inovasi disruptif dapat menjadi acuan perusahaan agar bisa mampu bersaing dengan perusahaan lainnya di dalam pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun