Mohon tunggu...
Saptina Retnawati
Saptina Retnawati Mohon Tunggu... dosen Universitas Pamulang

Dosen dan peneliti yang gemar mengeksplorasi dunia pendidikan dan pembelajaran bahasa. Percaya bahwa menulis adalah bagian dari proses belajar tanpa henti.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Normalisasi Bahasa Kasar: tren gaul atau Krisis Etika Berbahasa?

11 Oktober 2025   13:06 Diperbarui: 11 Oktober 2025   13:06 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa adalah wajah dari pikiran, budaya, dan karakter suatu bangsa. Dari bahasa, kita bisa melihat bagaimana kualitas komunikasi masyarakat dibangun. Namun, belakangan ini muncul fenomena yang menggelisahkan: semakin lazimnya penggunaan kata-kata kasar seperti anjing, anjay, anjir, dan sejenisnya, terutama di kalangan generasi muda. Kata-kata yang dahulu dianggap tabu kini terasa biasa, bahkan akrab di telinga. Pertanyaannya, apakah ini sekadar tren gaul, atau tanda dari krisis etika berbahasa?

Sebagai seorang akademisi, saya pribadi merasa miris melihat fenomena ini. Kata-kata kasar tersebut kini tidak hanya terdengar di ruang-ruang publik seperti kafe, kantin, atau tempat nongkrong anak muda, tetapi juga merambah ke ruang akademik. Ruang kelas, seminar, atau forum diskusi yang seharusnya menjunjung tinggi kesantunan dan logika ilmiah justru ikut diwarnai dengan ungkapan anjir atau anjay yang dilontarkan secara santai. Lebih jauh lagi, media sosial memperkuat normalisasi ini. Melalui konten-konten yang viral, bahasa kasar seolah mendapat legitimasi sebagai gaya bahasa gaul yang wajar digunakan kapan saja dan di mana saja.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari budaya populer dan media sosial. Banyak konten kreator, selebritas digital, hingga influencer dengan mudah melontarkan kata-kata kasar dalam tayangan mereka. Karena masifnya konsumsi konten digital di kalangan Gen Z, bahasa kasar ini berubah makna: bukan lagi penghinaan, melainkan sekadar ekspresi keakraban, keterkejutan, atau penekanan. Ungkapan anjay misalnya, lebih sering dimaknai sebagai bentuk kekaguman ketimbang kata kasar yang sesungguhnya.

Masalahnya, normalisasi ini membawa konsekuensi jangka panjang. Pertama, ia berpotensi mengikis batas kesantunan berbahasa yang menjadi bagian dari budaya kita. Kedua, ia bisa menurunkan kualitas komunikasi antargenerasi. Generasi yang lebih tua bisa merasa tidak dihargai, sementara generasi muda merasa tidak lagi perlu menyesuaikan diri dengan norma kesopanan. Ketiga, ada risiko penyempitan makna: ketika kata kasar kehilangan bobot negatifnya, batas antara bahasa santun dan merendahkan menjadi kabur.

Memang benar bahwa bahasa bersifat dinamis. Ia selalu berkembang sesuai zaman, budaya, dan kebutuhan komunikasi. Namun, kebebasan berbahasa tetap membutuhkan rambu-rambu nilai. Kreativitas tentu boleh, tetapi bukan berarti kita bisa abai terhadap etika. Apalagi dalam dunia pendidikan, bahasa tidak sekadar alat komunikasi, melainkan sarana membentuk karakter.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Menurut saya, ada tiga langkah penting. Pertama, pendidikan literasi bahasa harus diperkuat sejak dini. Anak dan remaja perlu memahami bahwa bahasa bukan sekadar ekspresi, melainkan juga tanggung jawab etika. Kedua, para pendidik perlu memberi teladan nyata dalam berbahasa. Jika bahasa santun dijaga di ruang akademik, maka mahasiswa akan belajar menyesuaikan diri. Ketiga, media dan konten kreator perlu lebih sadar akan dampak bahasa dalam karya mereka. Kreativitas komunikasi seharusnya bisa dicapai tanpa harus melanggengkan bahasa kasar sebagai hal yang lumrah.

Akhirnya, saya percaya solusi terbaik terletak pada kesadaran kolektif. Generasi muda tentu punya hak untuk berekspresi dengan gaya bahasa mereka, tetapi kesadaran bahwa kesantunan adalah fondasi komunikasi harus terus ditanamkan. Bukan dengan cara menghakimi atau melarang kaku, melainkan melalui dialog, pemahaman, dan teladan.

Bahasa akan selalu hidup dan berkembang. Namun, perkembangan itu sebaiknya tetap berada dalam koridor etika. Normalisasi bahasa kasar bisa jadi tren, tetapi tanpa kesadaran bersama, ia dapat berubah menjadi krisis etika berbahasa. Karena itu, mari menjaga bahasa kita agar tetap dinamis sekaligus bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun