Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Immanuel Ebenezer, mantan Ketua Relawan sekaligus pejabat publik, kembali membuka perdebatan soal efektivitas strategi pencegahan korupsi di Indonesia. Kasus ini memperlihatkan bahwa meskipun berbagai regulasi, peraturan, dan instrumen integritas internal telah digulirkan, praktik rente dan penyalahgunaan wewenang tetap berlangsung.
Kebijakan publik yang selama ini dirancang untuk membangun integritas aparatur negara tampaknya baru sebatas arsitektur formal. Secara kelembagaan terlihat kokoh, tetapi dalam praktiknya rapuh. Evaluasi terhadap pencegahan korupsi menunjukkan bahwa kebijakan yang ada masih berhenti pada kepatuhan administratif, belum menyentuh akar masalah struktural, biaya politik yang tinggi, budaya patronase, dan lemahnya mekanisme akuntabilitas.
Kebijakan Pencegahan yang Terkunci di Tataran Formal
Dalam kerangka kebijakan publik, pencegahan korupsi di Indonesia telah dituangkan dalam sejumlah instrumen resmi. Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Di tingkat birokrasi, ada PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menekankan integritas aparatur. Selain itu, sistem pelaporan LHKPN, pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik, serta pembentukan unit pengendalian gratifikasi di tiap lembaga telah menjadi "menu wajib" dalam tata kelola pemerintahan.
Namun, dalam perspektif implementasi kebijakan, instrumen ini masih menyisakan sejumlah masalah:
Bias pada kepatuhan administratif. Aparatur lebih sibuk melaporkan LHKPN, menandatangani pakta integritas, atau mengikuti pelatihan antikorupsi, tetapi belum ada perubahan perilaku nyata.
Minim mekanisme evaluasi kebijakan. Laporan Stranas PK yang disusun Bappenas, KPK, dan KemenPAN-RB cenderung menekankan capaian prosedural, bukan efektivitas substansial.
Akar struktural tidak tersentuh. Biaya politik yang mahal, praktik balas jasa, dan kultur rente dalam birokrasi jarang disentuh oleh desain kebijakan.
Data Transparency International (2024) menunjukkan bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 34/100, stagnan sejak beberapa tahun terakhir. Angka ini mengindikasikan bahwa meskipun berbagai kebijakan publik sudah berjalan, kepercayaan publik terhadap efektivitasnya tetap rendah.
Menyentuh Akar Masalah: Reformasi Kebijakan yang Tertunda