Fenomena tagar #KaburAjaDulu yang viral di berbagai kanal media sosial sepanjang 2025 bukan sekadar lelucon digital. Ia merepresentasikan kecemasan yang semakin nyata di kalangan generasi muda Indonesia, khususnya Generasi Z. Ketika kualitas hidup, akses terhadap lapangan kerja layak, dan jaminan kesehatan mental dirasa tak memadai, banyak dari mereka yang memilih kabur secara harfiah maupun emosional. Baik dengan mengejar beasiswa luar negeri, kontrak kerja migran, atau sekadar menjauh dari perbincangan politik yang terasa tidak memberi ruang aspirasi. Fenomena ini patut dibaca bukan sebagai pengkhianatan terhadap bangsa, melainkan sebagai kritik sosial yang sangat keras, ada sesuatu yang tidak beres dalam struktur harapan kita.
Pada saat yang sama, krisis kesehatan mental di kalangan anak muda mencapai level yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data WHO dan Kemenkes, sekitar 11% penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia mengalami gejala gangguan mental dan mayoritas berasal dari kelompok usia produktif. Ketika beban ekonomi, tekanan sosial media, dan iklim politik yang membingungkan bersatu, hasilnya adalah alienasi. Bukan hanya terhadap negara, tapi juga terhadap masa depan mereka sendiri.
Kaburnya Harapan dan Representasi Politik
Di tengah gelombang bonus demografi yang seharusnya menjadi aset strategis bangsa, justru kita dihadapkan pada dilema kepercayaan. Survei Katadata Insight Center (2024) menyebutkan bahwa 59,8% anak muda Indonesia menyatakan minat terhadap isu politik. Namun, kepercayaan terhadap partai politik sangat rendah. Survei IDN Research Institute bahkan menunjukkan bahwa rata-rata kepercayaan Gen Z terhadap partai hanya berada di angka 3,06 dari skala 5 dalam hal kebersihan dari korupsi. Ini menandakan jurang antara keterlibatan dan representasi.
Salah satu penyebab utama adalah strategi komunikasi politik yang terlalu mengandalkan viralitas, bukan substansi. Dalam Pemilu 2024, kita menyaksikan kampanye lewat meme, gimmick TikTok, hingga deepfake Suharto yang digunakan oleh tim sukses tertentu. Meski sukses mencuri perhatian, semua itu gagal menumbuhkan kepercayaan jangka panjang. Sebab bagi Gen Z, gaya boleh penting, tapi makna tetap utama. Narasi soal keadilan iklim, kesempatan kerja berbasis talenta, dan kesehatan mental jauh lebih menyentuh daripada sekadar jargon populis.
Sementara itu, tagar seperti #KaburAjaDulu menunjukkan bahwa semakin banyak anak muda yang merasa sistem politik tidak lagi bisa memfasilitasi cita-cita mereka. Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat lebih dari 297 ribu pekerja migran dikirim ke luar negeri sepanjang 2024, dan angka ini diproyeksikan menembus 300 ribu di 2025. Sebagian besar berasal dari kalangan muda, yang sebetulnya bisa menjadi tulang punggung pembangunan nasional. Fenomena ini adalah bentuk nyata dari krisis ekspektasi: ketika negara gagal meyakinkan generasinya sendiri bahwa mereka punya tempat di sini.
Politik yang Ramah Mental dan Berbasis Aksi
Krisis ini tidak bisa diselesaikan dengan imbauan patriotisme belaka. Kita perlu mendesain ulang ulang cara negara memperlakukan warganya terutama generasi mudanya. Politik tidak bisa lagi didekati hanya sebagai soal elektabilitas, tetapi sebagai ruang partisipasi emosional dan intelektual. Generasi Z tidak alergi terhadap politik, mereka hanya jenuh terhadap kebohongan struktural dan manipulasi simbolik.
Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah menjadikan kesehatan mental sebagai agenda politik yang serius. Sudah saatnya BPJS Kesehatan mencakup layanan konseling dan psikolog secara komprehensif, tidak hanya pada kasus berat. Pemerintah daerah dan pusat perlu membangun ekosistem layanan kesehatan mental yang bisa diakses anak muda di semua kota bukan hanya di Jakarta atau kota besar. Sekolah dan kampus harus menjadi ruang yang mempromosikan literasi emosional, bukan hanya prestasi akademik.
Langkah kedua adalah membuka kanal representasi yang otentik. Misalnya, melalui forum musyawarah digital, townhall rutin antara pembuat kebijakan dan pemuda, serta pelibatan aktif anak muda dalam perumusan kebijakan publik, bukan hanya diundang sebagai tamu simbolik. Politik digital yang membuka ruang diskusi kritis harus dihidupkan kembali, menggantikan narasi satu arah yang selama ini mendominasi.