Mohon tunggu...
Hasan Sanusi
Hasan Sanusi Mohon Tunggu... Teknisi - Nothing else

Think Globally Act Locally

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyelisik Religi TKI di Negara Sekuler

27 Mei 2018   18:58 Diperbarui: 30 Mei 2018   09:31 2550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan penduduk yang mayoritas beragama islam. Berdasarkan catatan The Pew Forum on Religion & Public Life pada 2010, negara yang termasuk dalam kawasan Asia Tenggara ini memiliki populasi Muslim tertinggi dengan persentase mencapai hingga 12,7 persen dari populasi dunia.

Catatan itu membuat Indonesia dengan 205 juta penduduknya, paling tidak, 88,1 persennya beragama Islam. (khazanah.republika.co.id, diakses tanggal 19 Januari 2016).

Sebagai salah satu negara Islam terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia juga `banyak menyimpan potensi sumber daya yang sangat kaya di dalamnya, baik itu sumber daya alam dan sumber daya manusianya.

Namun amat disayangkan dalam realitasnya Indonesia tidak begitu memanfaatkan dengan baik anugerah sumber daya yang melimpah dan dianugerahkan oleh Allah SWT.

Semua sumber daya yang ada di dalam lingkup Indonesia sering kali hanya memberikan kemakmuran sepihak bagi kaum borjuis saja.

Sedangkan kaum proletar, semakin waktunya semakin terlilit beban hidup dengan masalah hidup yang sangat tinggi di negara ini.

Apalagi setelah terjadinya krisis moneter tahun 1998, krisis ekonomi global tahun 2008, dan pelemahan ekonomi hingga saat ini.

'Besar pasak daripada tiang' itulah pribahasa yang dapat menggambarkan keadaan ekonomi rumah tangga di tanah air sekarang,pendapatan yang minim tidak seimbang dengan harga barang yang melambung tinggi.

Ditambah dengan semakin sulitnya mencari pekerjaan sekarang ini menyebabkan banyak penduduk Indonesia menganggur di tanah surga tersebut.

Sehingga secara tidak langsung dalam perkembangannya dengan meningkatnya pengangguran menyebabkan inflasi yang cukup tinggi.

Alhasil negara tidak mampu menangani secara menyeluruh masalah-masalah yang timbul dan akibatkan oleh meningkatnya angka pengangguran di Indonesia.

Dengan adanya realitas yang demikinan,negara yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai dan norma religiusitas dalam kesehariannya ini, seharusnya saling gotong royong memanfaatkan segala potensi alam sebagai salah satu solusi untuk mengentaskan masalah kemiskinan dan menurunkan angka pengangguran yang ada di Indonesia.

Namun, sangat disayangkan, begitu banyaknya potensi alam yang tidak dikelola sendiri oleh Indonesia. Sehingga menjadikan masyarakat Indonesia tidak lagi hanya sebagai penonton di negeri sendiri.

Apalagi jika sampai harus melancong ke negara orang demi mencari sesuap rejeki untuk meningkatkan taraf hidupnya di negara yang makmur ini.

Dalam sejarahnya pengiriman tenaga kerja keluar negeri sebenarnya merupakan produk budaya yang ditinggalkan oleh penjajahan Hindia Belanda yang pernah masuk ke Indonesia, yaitu telah ada sejak tahun 1887-an.

Namun sangat disayangkan produk budaya yang merupakan peninggalan penjajahan Hindia Belanda setelah merdekapun masih digunakan oleh negara.

Alih-alih untuk membantu masalah inflasi yang terjadi pada devisa negara dan mengurangi pengangguran karena negara hampir tumbang terlebih setalah krisis moneter di zaman orde baru, pengiriman TKI pun semakin berkembang saat itu. Sehingga hal ini meregenerasi dan semakin meningkat hingga saat ini.

Berdasarkan data Kementrian Ketenagakerjaan pada 2010 hingga Agustus 2015 setidaknya ada 25 negara yang tercatat menjadi tujuan TKI. Ke-25 negara itu tersebar di tiga kawasan, yakni Asia, Timur Tengah, Afrika, serta Eropa.

Dari ketiga kawasan tersebut salah satu negara favorit yang menjadi tujuan para TKI untuk mengaduhkan nasibnya adalah Korea Selatan. Animo masyarakat Indonesia untuk bekerja di Korea selatan sangat tinggi yaitu sekitar 30 ribu-33 ribu orang setiap tahunnya. Namun karena adanya beberapa seleksi hanya ada sekitar 6.500 orang calon TKI yang lulus tes setiap tahunnya.

Oleh karena itu, sejak tahun 2007 sampai awal 2016, jumlah tenaga kerja asal Indonesia di Korea Selatan sekarang ini telah mencapai sekitar 58 ribu orang .

olah digital dari sumber: youthmanual.com
olah digital dari sumber: youthmanual.com
Dalam segi religiusitas, paham yang dianut oleh masyarakat negara yang dijuluki sebagai negara ginseng ini adalah paham sekuralisme,yakni Negara tidak ikut campur dalam hal religi/kepercayaan masyarakatnya. Sekuralisme yang di negara Ginseng ini tergolong kedalam kedalam sekuralisme ekstrem.

Menurut Drs. D. Hendropuspito, O.C dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Agama menerangkan bahwa yang dimaksud dengan sekuralisme ekstrem adalah pandangan hidup atau ideology yang mencita-citakan otonomi nilai duniawi lepas dari campur tangan Tuhan dan pengaruh agama (D.Hendropuspito,1983: 136).

Sehingga, dengan perbedaan yang terpampang jelas tentang jalur religiusitas yang dimiliki oleh masyarakat Korea Selatan dan yang dibawah serta dianut oleh para TKI ini.

Hal tersebut secara otomatis akan berpengaruh secara signifikan terhadap nasionalisme religiusitas yang dimiliki oleh para TKI.

Pada dasarnya memang religiusitas yang dimiliki oleh para TKI merupakan hak prerogatif masing masing individu.

Namun apabila ditelisik lebih mendetail kekebalan jiwa religiusitas yang dimiliki oleh masing-masing individu secara realitasnya akan mempengaruhi gaya dan budaya hidup mereka.

Karena sejatinya religiusitas yang menjiwa dalam masing masing individu ini merupakan pedoman hidup yang selalu dijadikan patokan ketika mereka akan melakukan tindakan baik atau buruk, benar atau salah sesuai dengan norma serta nilai dianut dalam keagamaannya masing-masing.

Seperti ungkapan bahwa tanpa agama manusia itu akan kosong dalam perjalanan hidupnya. Sama halnya seperti yang terjadi pada religiusitas yang dimiliki oleh para TKI yang melancong ke negeri Ginseng ini.

Pada proses pelanconganya, para TKI dihadapkan dengan pertahanan diri untuk mempertahankan akidah ke-islamannya di negara yang menjadikan muslim minoritas di dalamnya.

Budaya sekural yang bertolak belakang dengan budaya religi yang dibawa TKI Muslim Indonesia membuat mereka berada diantara dilema kenyataan hidup yang harus dibayarnya ketika mengaduh nasib di negeri Ginseng tersebut. Terutama untuk penggunaan makanan yang dilarang dalam akidah religiusitas Muslim, seperti minum Khamr atau makan makanan dari daging babi.

Ditambah lagi dengan pergaulan bebas yang disodorkan oleh gemerlapnya moderenitas negeri K-Pop ini pastinya akan menjadi penggoda keimanan para TKI ketika berupaya untuk mempertahankan Nasionalisme Religiusitas yang dimilikinya tersebut.

Sehingga dalam faktanya banyak para TKI setelah selesai menjalankan kontraknya di negara ginseng ini yang tidak mampu mempertahankan nasionalisme religiusitas yang dimilikinya.

Alhasil mereka yang terbiasa makan dan minum minuman yang diharamkan agama islam tersebut selanjutnya mengulangi penyimpangan penyimpangan sama sehingga mendarah daging dalam kesehariannya. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan dilakukan juga setelah mereka kembali kampung halamannya.

Selain itu, hal yang dirasakan dalam budaya sekularisasi dan pengaruhnya bagi kekebalan pertahanan nasionalisme religiusitas para TKI ini juga disebabkan oleh kebebasan dalam menjalankan ibadah ketika bekerja di negara ginseng.

Meski kebebasan beragama diatur secara mutlak dalam hukum dan pemerintahan Korea selatan, kesempatan untuk beribadah dinegara ini tergantung pada profesi dan lingkungan kerja.

Bagi WNI yang berstatus pelajar dan professional memang tidak mengalami kendala untuk melakukan ibadah kecuali semata mata permasalahannya adalah karena lokasi tempat ibadah yang jauh dan jarang saja.

Namun, ini berbeda halnya dengan nasib para TKI yang terikat dengan waktu dan pengawasan dari perusahaan yang menjadi tempat kerjanya.

Sehingga, dalam realitanya jarang ada perusahaan di negara Korea selatan yang memberikan toleransi untuk menjalankan ibadah terutama sholat wajib 5 waktu, sholat jum'at serta perayaan keagamaan bagi para TKI yang beragama Islam.

Hal itu dikarenakan tidak semua pemimpin perusahaan memahami kebutuhan para TKI dinegara Ginseng yang memahami tentang kebutuhan ibadah. 

Meski di Korea Selatan banyak ditemukan organisasi Islam seperti KMF (Korea Muslim Federation) dan organisasi yang berdasarkan negara asalnya seperti KMI (komunitas Muslim Indonesia), IKMI (Ikatan Keluarga Muslim Indonesia), IMUSKA (Ikatan Muslim Korea), Ikatan Muslim Banglades, Arab dan lainnya (Soneza Ladiana,Skripsi, 2012:259) yang menaungi tentang pelaksanaan ibadah negara sekural ini. Tetap saja, kebebasan untuk menjalankan ibadah keagaaman untuk umat muslim sangat minim didapatkan di negara ini.

Ditambah lagi dengan adanya peristiwa serangan Prancis yang juga berdampak pada islamofobia di Korea Selatan.

Rangkaian kejadian tersebut menimbulkan keraguan di dalam masyarakat Korsel sendiri. Mereka khawatir akan adanya potensi serangan teroris di Negeri Gingseng dan mendesak agar pihak keamanan segera meningkatkan keamanan.

Terlebih lagi setelah Badan Intelijen Nasional (NIS) juga mengumumkan adanya 10 warga Korsel yang secara publik menyatakan dirinya mendukung kelompok Islamic State /ISIS (internasional.metrotvnews.com, diakses tanggal 25 Januari 2016).

Ditambah juga dengan WNI/TKI yang tinggal di luar negeri sering kali menjadi incaran kelompok radikal seperti ISIS tersebut .

Hal ini karena para TKI, memiliki uang yang banyak dan di sisi lain pengetahuan mereka tentang agama tidak begitu baik, sehingga radikalisme berkedok agama sangat mudah masuk dan menjangkiti dalam diri mereka.

Alhasil, islamophobia yang ditujukan para TKI Muslim yang ada di Korea Selatan semakin mencekik mereka untuk mendapatkan kebebasan religiusitasnya di negara ini.

Padahal dalam Hak TKI UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN dijelaskan bahwa para TKI memiliki hak untuk memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinan serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya (buruhmigran.or.id, diakses tanggal 25 Januari 2016)

Dengan adanya fenomena ini, sudah seharusnya kesemuanya mendapat campur tangan pemerintah dalam penanganannya.

Penanaman nasionalisme religiusitas bukan hanya dipatokan pada kebabasan untuk menjalankan ibadah saja dalam setiap pribadi para TKI ini.

Dengan demikian perlu diadakannya motivasi dengan cara mengadakan acara-acara religi yang mana bukan hanya organisasi islam di negara tersebut saja yang sering bertindak.

Namun juga dari pihak pemerintah juga harus ikut andil dalam penanaman spirit nasionalisme religiusitas para TKI pemberi devisa terbanyak untuk Indonesia ini.

Sebenarnya hal ini juga menjadi perhatian dari sejumlah lembaga dakwah dan lembaga bantuan kemanusiaan dari Indonesia, mereka sering mengadakan program-program dakwah dengan mendatangkan da'i /ulama dari Indonesia yang kemudian ditempatkan di lebih dari 50 mushola/masjid Indonesia di korea, namun itu dilakukan hanya ketika datang bulan suci Ramadhan saja dan tidak ada kelanjutannya.

Solusi terbaik adalah pemerintah melalui Departemen Keagamaan agar ikut turun tangan dengan menyiapkan program dakwah dengan menempatkan dai atau ulama ke setiap musala/masjid Indonesia di korea secara berkelanjutan,tidak hanya ketika bulan Ramadhan saja.

Diharapkan dengan adanya program tersebut akan meningkatkan kembali keimanan TKI di Korea Selatan,  memajukan dakwah islam, menghapus radikalisme, serta meredam islamophobia agar masyarakat dunia khususnya rakyat korea mengetahui bahwa sejatinya Islam itu agama yang cinta damai lagi rahmatan lil alamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun