Mohon tunggu...
Santiswari
Santiswari Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger | Pemerhati Transportasi Kereta

Bukit tinggi kota idaman ~

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Anggota DPD Memprovokasi Warga Pingiran Rel

16 Agustus 2018   09:49 Diperbarui: 16 Agustus 2018   09:59 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota DPD RI Andi Surya (Lampungpro.com)

Bila kita mendengar kata DPD (Dewan perwakilan Daerah), mungkin kita akan mengingat tugas dan fungsi mereka, yang salah satunya adalah menyerap aspirasi rakyat. Tetapi beda dengan salah satu anggota DPD dari Lampung, Andi Surya.

Agustus 2018 ini, kembali Andi Surya (AS) memprovokasi warga di Desa Rengas, Lampung untuk tidak takut kepada PT. KAI (Persero) sebagai pemegang amanah UU untuk menyewakan lahan-lahan miliknya di sepanjang bantaran rel. 

Seperti dikutip pada portal berita online Lampungpro.com, AS meminta Warga Rengas untuk tidak menghadiri sosialisasi yang akan diberikan oleh PT. KAI selaku pemegang Hak Pengelolaan Lahan sepanjang bantaran rel.

Dalam ujaran yang disampaikan kepada warga, AS selalu menyampaikan bahwa grondkaart tidak bisa dijadikan bukti kepemilikan. Itu sebuah pernyataan yang salah dari seorang anggota DPD RI. Apabila kita telusuri lebih jauh apakah benar Grondkaart sudah tidak berlaku di mata hukum Indonesia? Bukankah AS selaku pembicara pada forum warga tersebut salah satu pelopor pendidikan di bumi Lampung? Harusnya AS mengedukasi masyarakat tentang hal yang benar dan yang salah bukan malah memprovokasi warga untuk turut serta ramai-ramai tinggal di bantaran rel yang nyatanya hal itu milik negara dan pengelolaannya diserahkan kepada KAI.

Seperti yang tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) nomor 32 tahun 1979 pasal 8 yang menegaskan bahwa semua tanah BUMN adalah tanah negara. Bahkan semestinya sepanjang kanan-kiri rel harus kosong dari bangunan apa pun. 

Jarak 6 meter dari sisi rel adalah Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) dan 12 meter dari sisi rel adalah Ruang Milik Jalan (Rumija). Artinya 12 meter kanan kiri pun harus bersih dari obyek yang bisa mengganggu / terganggu oleh operasional kereta api.

AS selalu memutarbalikkan fakta adanya keberadaan Grondkaart, padahal surat dari Menteri Keuangan Nomor B-II/MK.16/1994 tanggal 24 Januri 1995 yang ditujukan kepada kepala BPN merupakan sebuah wujud pengakuan serta keabsahan Grondkaart di lihat dari kacamata mata hukum sekarang.

Perlu juga untuk ditegaskan PT. KAI (Persero) sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak mungkin bertindak sembarangan, semua sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) dan Peraturan Menteri (Permen) yang berlaku termasuk pendayagunaan aset yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-13/MBU/09/2014 tentang pedoman Pendayagunaan Aset Tetap Badan Usaha Milik Negara. 

Hal ini bisa menyangkal semua perkataan AS, sebagai anggota Dewan yang cukup aktif di forum-forum diskusi warga yang bisanya cuma mampu memprovokasi warga untuk tidak menghargai PT. KAI sebagai yang mempunyai lahan.

Kalau memang AS merasa benar akan pendapatnya yang mengatakan Grondkaart itu tidak berlaku lagi, dan 6 meter rel kanan kiri bukan milik KAI kenapa tidak dibawa ke ranah pengadilan saja? Biar pengadilan yang memutuskan untuk permasalahan anomali kontrak PT. KAI bukan AS yang selalu membuat pengadilan jalanan. Mungkin juga ini salah satu cara AS untuk menggaet suara menjelang tahun politik? Wallahua'alam

Metro, 15 Agustus 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun