Pernahkah kita benar-benar memperhatikan mereka yang berdiri di antara deru kendaraan dan teriknya lampu merah? Suara gitar yang serak, lantunan lagu yang patah-patah, dan langkah yang pelan menuntun tongkat hitam mereka adalah pengamen tuna netra, sosok tangguh yang berjuang di sela kesibukan kota. Kita sering mendengar suara mereka, tapi jarang mendengarkan kisah di balik nyanyian itu.
Ketika Bertahan Hidup Jadi Pilihan Terakhir
Data dari Persatuan Tuna Netra Indonesia (2023) mencatat, sekitar 65% penyandang tuna netra usia produktif menggantungkan hidup pada sektor informal, termasuk mengamen. Meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah menjamin hak mereka, kenyataannya masih jauh dari kata ideal.
Dari hasil wawancara dengan salah seorang pengamen tuna netra di Kabupaten Buleleng, pola yang muncul begitu mirip:
- Pendapatan harian yang tidak menentu, antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000.
- Akses terbatas terhadap pelatihan kerja.
- Stigma sosial bahwa mereka "memilih" mengamen, bukan karena keterpaksaan.
- Minim dukungan pemerintah untuk beralih ke pekerjaan yang lebih layak.
Di balik senyum dan lagu yang mereka nyanyikan, tersimpan realitas pahit tentang perjuangan bertahan hidup  bukan sekadar mencari nafkah, tetapi mempertahankan martabat.
Membaca Keadilan dengan Kacamata Aristoteles
Dalam pandangan filsuf Yunani kuno Aristoteles, keadilan berarti setiap orang mendapat bagian yang sepadan dengan kebutuhannya disebut keadilan distributif. Namun, dalam konteks pengamen tuna netra, keadilan itu seakan tidak berlaku. Akses pendidikan terbatas, minimnya lapangan kerja inklusif , dan kebijakan kota sering kali tidak berpihak. Aristoteles mungkin akan berkata: negara gagal menghadirkan "kehidupan yang baik" bagi semua warganya ketika membiarkan sebagian dari mereka hidup di pinggiran sistem. Keadilan sosial tidak hanya soal bantuan dana, tetapi juga soal kesempatan yang setara untuk hidup layak.
Kant dan Martabat Manusia yang Dilupakan
Filsuf Jerman Immanuel Kant pernah menulis bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Artinya, setiap manusia punya martabat yang tak boleh ditawar apa pun kondisinya.
Namun, realitas di jalan raya kita menunjukkan sebaliknya.
- Kita menikmati hiburan mereka tanpa memikirkan sistem yang memaksa mereka mengamen.
- Pemerintah membiarkan mereka bekerja di tempat berisiko tanpa perlindungan.
- Dan sering kali, kita lupa bertanya pada diri sendiri: "Bagaimana jika saya di posisi mereka?"
Kant mengingatkan kita bahwa empati bukan sekadar rasa iba, melainkan kesadaran moral bahwa setiap orang punya nilai yang sama di hadapan kemanusiaan.