Mohon tunggu...
Santika Dewi Lestari
Santika Dewi Lestari Mohon Tunggu... Pendidik Bahasa Indonesia

Santika Dewi Lestari Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia UNS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Analisis Wacana Kritis: Mewujudkan Kampus dan Sekolah Berdampak melalui Forum DIKLISA#1

25 Mei 2025   11:15 Diperbarui: 25 Mei 2025   11:15 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dialog Pendidikan, Literasi, Bahasa, dan Sastra (DIKLISA) pertama dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 2025, dengan mengangkat tema “Kampus Berdampak: Peluang dan Harapan Menyambut Hardiknas 2025 untuk Kemajuan Pendidikan dan SDM Indonesia”. Forum ini adalah ruang berdialog untuk berdiskusi bersama yang diselenggarakan oleh Program Studi Bahasa dan Sastra FKIP Universitas Sebelas Maret dan Program Studi Bahasa Inggris Unsoed yang bekerja sama dengan Arfuzh Ratulisa. Analisis Wacana Kritis (AWK) dalam hal ini digunakan untuk memberikan pemahaman yang mendalam pada forum DIKLISA. Dalam konteks pendidikan, Ki Hajar Dewantara mengajarkan prinsip dasar pendidikan yang menekankan pada tiga pilar utama, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga pilar ini membentuk ekosistem pendidikan yang harmonis, saling mendukung, dan memberikan dampak positif.
Prof. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. sebagai pembicara atau narasumber adalah dosen, pegiat literasi, dan sekaligus sebagai pendiri Arfuzh Ratulisa menawarkan konsep 8-B untuk mewujudkan kampus dan sekolah berdampak. Melalui pilar 8-B, dapat dilakukan penggalian lebih dalam tentang bagaimana setiap individu dalam ekosistem pendidikan memiliki peran besar dalam menciptakan kampus dan sekolah yang berdampak positif bagi bangsa dan negara. Rumus 5M juga dirumuskan sebagai siklus yang jika dilakukan secara terus-menerus, pelan tapi pasti akan menghasilkan virus positif dalam dunia pendidikan.

A. Tiga Pilar Pendidikan: Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat
1.Pilar Keluarga dalam Pendidikan
Pilar pertama adalah keluarga, yang merupakan lingkungan pertama di mana anak-anak belajar. Keluarga adalah tempat pertama anak-anak mendapatkan pembelajaran tentang nilai-nilai moral, agama, budaya, serta keterampilan sosial dasar yang penting untuk kehidupan mereka. Pendidikan di keluarga lebih bersifat informal dan berbasis pada pengalaman sehari-hari, tetapi sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak bahkan dalam hal literasi.
Orang tua berperan sebagai pendidik pertama dan utama. Oleh karena itu, peran orang tua tidak hanya sebagai penyedia kebutuhan fisik anak, tetapi juga penyedia kebutuhan emosional dan intelektual. Pendidikan yang terjadi di rumah mencakup keterampilan dasar, seperti kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, serta nilai-nilai sosial seperti disiplin, rasa tanggung jawab, dan empati.
Keteladanan yang diberikan orang tua juga sangat berpengaruh dalam membentuk karakter anak, terutama dalam hal literasi. Membaca dan menulis di rumah adalah kegiatan yang harus dimulai sejak dini, dimulai dengan memberi contoh yang baik oleh orang tua. Faktor penting lainnya adalah komunikasi dalam keluarga. Dalam posisi sebagai orang tua, menjalin komunikasi yang baik dengan anak-anak akan membuat anak-anak merasa lebih dihargai dan lebih terbuka untuk berbagi masalah atau tantangan yang mereka hadapi dalam pendidikan.
2.Pilar Sekolah dalam Pendidikan
Sekolah adalah tempat kedua di mana pendidikan formal berlangsung. Berbeda dengan pendidikan keluarga yang lebih berbasis pada pengalaman langsung dan informal, pendidikan di sekolah bersifat formal dan terstruktur. Sistem pendidikan di sekolah dirancang untuk mengajarkan keterampilan akademis dan pengetahuan yang diperlukan untuk kehidupan profesional.
Keberadaan dosen, guru, dan tenaga pengajar lainnya sebagai pendidik menjadi sangat penting untuk menumbuhkan minat belajar, literasi, serta keterampilan. Mereka bukan hanya menjadi pengajar, tetapi juga berperan sebagai pembimbing dan inspirator. Oleh karena itu, para pendidik harus memiliki visi yang jelas dan komitmen untuk mengajar dengan niat ibadah dan berbagi ilmu
Peran pendidik tidak terbatas hanya pada transfer pengetahuan, tetapi juga memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter dan memberikan pendidikan moral kepada peserta didik. Posisi pendidik juga sebagai contoh dan panutan dalam kehidupan peserta didik. Mereka tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga mengajarkan tentang kedisiplinan, etika, dan keterampilan sosial.
3.Pilar Masyarakat dalam Pendidikan
Masyarakat juga memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan, yaitu sebagai wadah yang mendukung dan mengaplikasikan ilmu yang didapatkan di sekolah. Masyarakat, terutama yang terorganisasi dalam berbagai bentuk lembaga, komunitas, dan organisasi sosial, dapat menjadi tempat yang memberi ruang bagi pembelajaran berkelanjutan.
Aktivitas-aktivitas literasi yang digerakkan oleh masyarakat, seperti forum diskusi, perpustakaan, atau komunitas-komunitas belajar lainnya berfungsi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mendukung proses pembelajaran sepanjang hayat. Dengan ini, peran sebagai masyarakat akan memberikan kesempatan bagi anggotanya untuk terus berkembang dan belajar.
Oleh karena itu, masyarakat bukan hanya menjadi tempat untuk mengaplikasikan pengetahuan, tetapi juga menjadi wadah bagi perkembangan sosial dan budaya bahkan literasi.

B. 8B untuk Mewujudkan Kampus dan Sekolah Berdampak
1.Berniat untuk Ibadah
Pilar pertama dalam 8-B adalah ‘Berniat untuk Ibadah’, yang berarti setiap tindakan yang kita lakukan dalam dunia pendidikan harus dilandasi dengan niat untuk beribadah kepada Tuhan. Dengan menjadikan pendidikan sebagai bagian dari ibadah, kita tidak hanya mencari ilmu untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk memberi manfaat bagi orang lain. Pendekatan ini mengajarkan kita untuk tidak hanya fokus pada pencapaian duniawi, tetapi juga pencapaian spiritual dan sosial.
Pendidikan yang dilandasi dengan niat ibadah akan mendorong para pendidik dan peserta didik untuk melakukan segala sesuatunya dengan penuh kesungguhan, rasa tanggung jawab, dan keikhlasan. Tujuan akhirnya adalah menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berbudi pekerti dan memiliki karakter moral yang baik. Dengan demikian diharapkan seluruh pendidik dan seluruh masyarakat di Indonesia diharapkan meluruskan niatkan untuk ibadah dan niat tulus ikhlas berbagai. Hal ini penting karena komitmen ini yang harus dijaga untuk bisa mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.Bergerak Visioner
Pilar kedua adalah ‘Bergerak Visioner’ yang berarti memiliki visi jangka panjang dalam dunia pendidikan. Dengan bergerak visioner, pendidik tidak akan pernah berhenti dalam berkembang. Kampus dan sekolah yang berdampak harus mampu melihat pendidikan tidak hanya sebagai proses yang selesai setelah lulus, tetapi sebagai bagian dari perjalanan yang lebih panjang dalam membentuk karakter dan kapasitas individu. Visi ini harus mencakup pemahaman tentang tantangan zaman yang terus berubah, terutama dengan kemajuan teknologi yang pesat.
Kampus dan sekolah perlu menyiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan ini dengan mengajarkan keterampilan abad ke-21 seperti kreativitas, kolaborasi, pemecahan masalah, dan literasi digital. Sebagai contoh, pendidik dan pengelola pendidikan perlu berpikir ke depan, melihat tren global dalam pendidikan, dan menyiapkan peserta didik untuk menjadi pemimpin yang inovatif dan adaptif di masa depan.
3.Bersilaturahmi dan Jelajah Semesta
Bergerak visioner untuk membuka jalinan silaturahmi dan berjelajah semesta. Pada pilar ini ada penekanan pentingnya hubungan antar individu, antar lembaga, dan antar komunitas. Silaturahmi bukan hanya dalam konteks sosial tetapi juga dalam kolaborasi pendidikan. Melalui jaringan ini, informasi dan pengalaman dapat dibagikan secara lebih luas. Selain itu, jelajah semesta atau eksplorasi budaya, bahasa, dan pengetahuan dari berbagai belahan dunia menjadi sangat penting untuk memperluas wawasan dan memperkaya pemahaman kita terhadap pendidikan.
4.Bermitra untuk Semua
Pada pilar ini, mengingatkan bahwa kampus dan sekolah tidak bisa bekerja sendiri. Kekuatan pendidikan terletak pada kolaborasi lintas sektor. Kemitraan dengan masyarakat, industri, lembaga pemerintah, penerbit, hingga komunitas lokal adalah kunci untuk menghadirkan pendidikan yang kontekstual dan aplikatif. Dalam konteks ini, kolaborasi tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi menciptakan hubungan simbiosis mutualisme yang memberikan manfaat luas. Proyek-proyek pengabdian masyarakat, kerja sama riset, serta program magang adalah wujud konkret kemitraan pendidikan yang inklusif.
5.Beraksi dan Berkreasi
Aksi nyata dalam dunia pendidikan adalah salah satu kunci utama. Ini bukan sekadar teori atau rencana, tetapi implementasi nyata yang dapat membawa dampak langsung pada masyarakat. Dalam konteks ini, berkreasi berarti menciptakan hal-hal baru yang dapat memperbaiki kualitas pendidikan. Sebagai contoh, menciptakan media pembelajaran kreatif atau program-program yang melibatkan masyarakat dalam pendidikan.
Berkreasi berarti memanfaatkan potensi kreatif yang ada pada setiap individu untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan bermanfaat. Ini bisa berupa inovasi dalam cara belajar, pembuatan produk, atau solusi terhadap masalah yang ada di sekitar kita. Contohnya adalah hadirnya DIKLISA yang tidak hanya sekedar ingin berkata-kata, tetapi ada aksi nyata dalam dialog. Dialog-dialog inilah yang nanti akan membela kita untuk menjadi insan yang berguna, insan hebat yang bermanfaat, insan yang selalu memotivasi dan menginspirasi, serta insan yang maslahat untuk umat.
6.Berproduksi dan Berinovasi
Pilar ‘Berproduksi dan Berinovasi’ menegaskan bahwa produk pendidikan harus nyata dan memberi solusi. Guru, dosen, peserta didik, dan mahapeserta didik harus menghasilkan karya misalnya, berupa artikel, buku, video edukasi, teknologi, atau inovasi sosial yang bisa diimplementasikan. Produk-produk ini menjadi bukti dari keberhasilan proses pendidikan, bukan hanya pada nilai rapor atau ijazah. Dunia pendidikan harus berani tampil sebagai produsen gagasan dan inovasi, bukan hanya sebagai pengonsumsi informasi. Dengan ini, maka akan memperkenalkan cara baru dalam mendidik atau memberikan kontribusi positif dalam literasi pendidikan.
7.Berbagi dan Bercerita
Setelah keenam pilar dilakukan, maka akan masuk dalam pilar ketujuh, yakni ‘Berbagi dan Bercerita’. Konsep ini bermanfaat dalam penyebaran ilmu dan pengalaman. Ilmu yang tidak dibagikan akan stagnan dan kehilangan daya guna. Melalui kegiatan menulis, berdiskusi, atau menjadi narasumber, seluruh warga pendidikan diharapkan berbagi cerita yang inspiratif dan edukatif. Dengan berbagi, kita membangun jejaring empati dan kolaborasi yang memperkaya komponen pendidikan secara menyeluruh.
8.Berbahagia dan Sejahtera
Dengan melaksanakan ketujuh pilar sebelumnya, maka akan dirasa semua menemukan atau memiliki rasa berbahagia dan sejahtera dunia akhirat. tujuan akhir dari seluruh proses pendidikan yang berdampak. Pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak lulusan berprestasi, tetapi juga membentuk individu yang sehat secara fisik, mental, dan sosial. Kebahagiaan dalam pendidikan lahir dari rasa syukur, kebermaknaan, serta hubungan sosial yang positif. Ketika seluruh proses pendidikan dijalankan dengan niat ibadah, kreativitas, kolaborasi, dan ketulusan, maka hasil akhirnya adalah kesejahteraan lahir dan batin. Dalam konteks ini, kebahagiaan bukan sesuatu yang dicari, melainkan diciptakan.

C. 5M sebagai Siklus yang Menghasilkan Virus Positif
1.Mengidentifikasi
Langkah pertama adalah mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan. Dalam konteks ini, peserta didik, guru, atau siapa pun yang terlibat dalam dunia pendidikan didorong untuk melakukan refleksi mendalam terhadap potensi diri yang dimiliki serta kelemahan yang perlu diperbaiki. Proses ini menanamkan pentingnya kejujuran dan kesadaran diri sebagai dasar untuk bertumbuh. Keunggulan menjadi kekuatan utama dalam berkarya, sementara kelemahan bukan untuk dihindari, tetapi dikenali agar bisa diatasi. Ini mencerminkan prinsip bahwa manusia adalah makhluk yang terus berkembang jika bersedia belajar dari dirinya sendiri.
2.Merencanakan
Setelah mengetahui keunggulan dan kelemahan, tahap berikutnya adalah merencanakan langkah-langkah konkret untuk mencapai tujuan tertentu. Perencanaan ini mencakup waktu, sumber daya, strategi, serta bentuk evaluasi yang diperlukan. Dalam konteks pendidikan, perencanaan bisa berarti menentukan apa yang ingin dipelajari, menargetkan karya apa yang ingin dihasilkan, atau program literasi apa yang akan dilakukan. Perencanaan yang baik mencegah kebingungan dalam proses pengimplementasiannya, membuat upaya lebih terarah, serta membantu mengatur prioritas secara sistematis dan realistis.
3.Melakukan
Tahap ketiga adalah aksi nyata. Ini adalah momen paling penting karena dari sinilah rencana yang sudah dibuat mulai dijalankan. Dalam fase ini, individu tidak hanya berpikir atau merancang, tetapi benar-benar bergerak. Melakukan bisa berarti menulis, membaca, mengajar, meneliti, berdiskusi, atau berkarya dalam bentuk lain sesuai rencana. Aksi yang dilakukan dengan disiplin, meskipun kecil dan perlahan, jika konsisten akan memberikan dampak besar. Prinsip ini menekankan pentingnya konsistensi, kesungguhan, dan semangat berproses, bukan sekadar hasil instan.
4.Mengevaluasi
Tahap evaluasi adalah proses untuk menilai apa yang sudah dilakukan: apakah berhasil, apa tantangan yang muncul, dan apa yang perlu diperbaiki. Evaluasi bisa bersifat internal (diri sendiri) maupun eksternal (masukan dari orang lain). Dalam konteks pendidikan literasi, evaluasi bisa mencakup menilai kualitas tulisan, efektivitas pembelajaran, dampak kegiatan, atau bahkan respon dari audiens. Evaluasi bukan untuk menyalahkan, tetapi sebagai alat koreksi dan penguatan. Dari evaluasi yang jujur dan terbuka akan muncul pembelajaran baru untuk perbaikan ke depan.
5.Menindaklanjuti
Tahap akhir dari siklus 5M adalah tindak lanjut, yaitu upaya untuk menyempurnakan hasil dan melanjutkan proses ke tahap berikutnya. Setelah mengevaluasi, seseorang perlu menentukan langkah-langkah baru, yaitu memperbaiki kesalahan, meningkatkan kualitas, atau memperluas dampak. Tindak lanjut juga merupakan bentuk komitmen jangka panjang agar proses tidak berhenti hanya pada satu tahap. Siklus ini terus berulang: mengidentifikasi – merencanakan – melakukan – mengevaluasi – menindaklanjuti, membentuk pola pertumbuhan yang berkelanjutan yang akan menyebarkan virus positif ke seluruh penjuru dunia.

D. Analisis Wacana Kritis berdasarkan Teori Teun A. van Djik
Wacana pendidikan yang disampaikan secara lisan dalam “Dialog Pendidikan, Literasi, Bahasa, dan Sastra (DIKLISA #1)” membentuk suatu narasi besar yang menyatukan nilai-nilai religius, humanistik, dan nasionalistik sebagai dasar pembentukan karakter peserta didik dan komunitas akademik. Menggunakan model Analisis Wacana Kritis (AWK) yang dikemukakan oleh Teun A. Van Djik, pengkajian dilakukan pengklasifikasian sebagai tataran mikro (struktur teks), meso (praktik diskrusif), dan makro (praktik sosial).
1.Tataran Mikro (Struktur Teks)
Secara linguistik, wacana ini menggunakan gaya tutur persuasif retoris yang penuh pengulangan, metafora, dan struktur akronim numerik. Misalnya, pengulangan istilah “berdampak”, “niat ibadah”, serta penyusunan gagasan dalam kerangka 8B (Berniat untuk Ibadah; Bergerak Visioner; Bersilaturahmi dan Jelajah Semesta; Bermitra untuk Semua; Beraksi dan Berkreasi; Berproduksi dan Berinovasi; Berbagi dan Bercerita; Berbahagia dan Sejahtera) menunjukkan adanya intensitas semantik dan pragmatik untuk menekankan pentingnya transformasi personal sebagai akar perubahan struktural. Di sisi lain, metafora religius seperti “amal jariah”, “virus positif”, dan kutipan ayat Al-Qur’an (“Iqra”) menunjukkan adanya narasi normatif yang mengaitkan literasi dengan spiritualitas. Pemilihan gaya tutur informal, bernarasi, dan mengajak ("ayo kita...") menunjukkan orientasi komunikasi yang sederajad, tetapi tetap menempatkan pembicara sebagai figur yang memiliki otoritas.
2.Tataran Meso (Praktik Diskrusif)
Dialog ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari program peluncuran literasi nasional, yakni forum “Dialog Pendidikan, Literasi, Bahasa, dan Sastra (DIKLISA)”. Forum ini ditujukan kepada audiens pendidikan seperti dosen, guru, mahasiswa, seluruh tenaga pendidik, dan penggiat literasi. Dalam hal ini, produksi wacana tersebut bersifat strategis dan kontekstual, yaitu untuk menggerakkan aktor-aktor pendidikan dalam satu jejaring yang berbasis nilai-nilai kolektif. Adanya intertekstualitas dalam wacana, yakni Prof. Dr. Rohmadi, M.Hum. mengutip tokoh seperti Ki Hajar Dewantara menunjukkan bahwa narasi ini dibangun melalui penyambungan wacana lain yang sudah mapan dalam dunia pendidikan Indonesia.
3.Tataran Makro (Praktik Sosial)
Secara ideologis, wacana ini berakar pada nilai religius-spiritual, humanistik, dan nasionalistik yang hendak digunakan untuk membentuk orientasi tindakan dalam dunia pendidikan. Pendidikan diposisikan sebagai ruang ibadah dan pemberdayaan, bukan sekadar transfer ilmu. Wacana ini juga mengandung resistensi terhadap komodifikasi pendidikan. Penolakan terhadap logika yang bertindak pada prinsip-prinsip kapitalisme, dalam hal ini adalah penolokan untuk menjadikan pendidikan sekadar alat memperoleh status, jabatan, atau titel. Pembicara sangat menekankan pentingnya peran guru dan dosen sebagai teladan dan sahabat literasi. Hal ini menunjukkan adanya hegemoni moral, yakni upaya mendominasi ranah pendidikan dengan standar etis dan spiritual tertentu. Selain itu, ide “kampus atau sekolah berdampak” dan “virus positif” cukup menarik secara retoris yang memengaruhi pemikiran, perasaan, dan tindakan audiens.
Secara representasi dan posisi kekuasaan, pembicara menempatkan dirinya sebagai agen transformasi yang sekaligus sebagai otoritas figur otoritatif. Dengan membawa identitas sebagai dosen, tokoh masyarakat, dan penggiat literasi, Prof. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. sebagai pembicara memiliki posisi ganda, yaitu sebagai produsen wacana utama sekaligus regulator moral. Ini mencerminkan bentuk kekuasaan simbolik (symbolic power) dalam pendidikan. Ada pula narasi tentang resistensi terhadap kapitalisme pendidikan, “Jangan mau dijajah oleh kapitalisme yang hanya mengejar titel tinggi dan prestasi”. Pernyataan itu adalah ajakan untuk tidak terjebak dalam rasa kapitalisme yang orientasinya bekerja, sukses, berhasil, berprestasi, titel tinggi, tetapi lupa saling menyayangi sehingga sebagai teladan kita jangan lupa menyayangi dan niatkan untuk ibadah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun