Mohon tunggu...
Humaniora

Ujian Nasional, Stress Nasional Katanya...

26 November 2016   09:11 Diperbarui: 26 November 2016   09:26 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jumat siang kemarin, pelajar Indonesia mendapat kabar yang cukup melegakan. Ujian Nasional ditiadakan pada 2017 mendatang dan dari pihak Kementerian sudah menyatakan final, hanya tinggal menunggu Inpres saja. Ini berarti, penentuan kelulusan akan diserahkan ke pihak sekolah melalui pengawasan dari pemerintah tiap provinsi. Anggaran yang selama ini digunakan untuk membiayai Ujian Nasional akan dialihkan untuk pembiayaan revitalisasi sekolah dan kualitas guru sebagai tindak lanjut pemetaan. Pemetaan sendiri dilakukan untuk melihat sejauh mana standardisasi pendidikan di Indonesia, namun Mendikbud Muhadjir Effendy berpendapat bahwa pemetaan sudah cukup, dan fokus akan dialihkan ke perbaikan sekolah-sekolah.

Faktanya, hanya 30 persen sekolah di Indonesia yang telah memenuhi standar nasional, dan 70 persen sisanya masih banyak membutuhkan perbaikan. Bahkan, SDN Bogiyateugi Dogiyai Papua tidak pernah melaksanakan kegiatan belajar mengajar menggunakan meja dan kursi selama 18 tahun lamanya. Ya, 18 tahun. Sangat memprihatinkan, mengingat biaya Ujian Nasional sebesar 2 Triliun rupiah secara berkala terus dilakukan setiap tahun tanpa adanya keseimbangan untuk melakukan perbaikan sekolah-sekolah hingga pelosok negeri. Ujian Nasional akan diberlakukan kembali setelah pemerataan pembangunan disekolah dan pemerataan kualitas pendidikan dirasa sudah memadai.

Pemetaan sekolah memang menjadi imbas dari dihapuskannya Ujian Nasional, namun Lembaga Survei Solusi Pendidikan Internasional, Pearson, menempatkan Indonesia pada peringkat 40 dari 40 negara dalam pemetaan kualitas pendidikan. Lembaga ini juga menyebutkan bahwa rata-rata uji kompetensi guru hanya mendapat 44,5 dari target 70. Tak hanya Pearson, lembaga pemetaan internasional lain seperti PISA juga menilai bahwa dari 65 negara, Indonesia menempati urutan 64 dalam uji pemetaan pendidikan. Kemampuan siswa Indonesia lemah dalam bidang Matematika, Ilmu Pengetahuan, dan bahkan Bahasa Indonesia. Sungguh ironis, mengingat siswa Indonesia tidak memiliki kompetensi terhadap bahasa nasionalnya sendiri.

Inilah ironi pendidikan Indonesia, seakan program-program yang telah dikeluarkan tidak berdampak signifikan bagi perkembangan kualitas pendidikan. Walau penetapan mutu satuan pendidikan Indonesia di nomor duakan, namun menurut saya langkah menghapus Ujian Nasional untuk perbaikan sekolah-sekolah dan kualitas guru sangat bijaksana. Siswa tidak perlu lagi merasa cemas secara psikologis, mengingat banyak siswa yang bahkan hingga bunuh diri karena hanya gagal melewati Ujian Nasional. Mereka hanya gagal di Ujian Nasional, belum gagal dalam hidup. Seakan Ujian Nasional menjadi langkah akhir kecerdasan siswa dipaparkan. Tentu hal ini menimbulkan ancaman dan kecemasan bagi perkembangan psikologis anak, karena Ujian Nasional hanya menilai kognitif saja, dan tanpa menghadirkan penilaian lain, seperti aspek keterampilan dan sikap.

Menurut saya, pembangunan sekolah-sekolah di Indonesia harus terus mendapat perhatian, karena mayoritas sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan belajar mengajar masih di bawah standar. Biaya yang dikeluarkan Ujian Nasional bisa dialihkan untuk pembangunan. Miris melihat siswa Indonesia bahkan harus melewati jembatan putus untuk berangkat ke sekolah, berjalan selama 2 jam melewati bukit yang terjal, bahkan guru-guru di pedalaman harus berjuang melewati arus sungai yang sangat deras untuk berangkat ke sekolah karena tidak ada jembatan yang menghubungkan satu daerah ke daerah yang lain. Mungkin pendidikan kita akan menjadi viral, namun viral karena keterbatasannya. Sungguh ironis bukan?

Ya, semoga pembangunan sekolah-sekolah di Indonesia terus bisa terealisasi. Jangan hanya mementingkan pemetaan saja, dan ketika sekolah yang dihuni siswa untuk belajar terasa nyaman, secara psikologis pula siswa siap untuk menerima materi dengan baik. Memang bukan jaminan, namun setidaknya secara infrastruktur Indonesia telah sampai pada level memadai, sehingga penyampaian materi bisa bervariasi. Materi yang disampaikan tidak melulu hanya melalui media papan tulis, namun juga bisa melalui media seperti lcd, jaringan internet, dan media lain. Sehingga, pelajar Indonesia mampu terbuka wawasannya melalui jaringan global internet. Penanaman mental dan karakter harus terus digalakkan, agar siswa mampu bersaing di dunia kerja, termasuk kecakapan bahasa. Banyak siswa mengalami kesulitan dalam berbahasa, padahal pekerjaan apapun telah terkomputerisasi dan menggunakan bahasa global, seperti bahasa inggris, mandarin, dan lain sebagainya. 

Jadi, penghapusan Ujian Nasional untuk sementara waktu saya rasa sangat tepat, karena pembangunan harus segera dilakukan. Tidak ada lagi berita bahwa siswa harus berjuang sangat keras hanya untuk bisa sampai sekolah tepat waktu. Kenyamanan dalam dinamika belajar mengajar juga harus diutamakan mengingat sarana prasarana yang harus terus dibenahi. Semoga kualitas pendidikan Indonesia semakin meningkat, seiring dengan digalakkannya pembangunan saran dan prasarana sekolah. Syarat kelulusan setiap sekolah juga harus terus diawasi oleh pemerintah daerah agar tidak ada lagi kebocoran soal maupun tindak kecurangan dalam bentuk apapun. Sehingga, Indonesia mencetak generasi yang siap bersaing di dunia kerja Internasional dan memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Karena menurut saya, kualitas seseorang bisa dilihat dari kemampuannya berkomunikasi lewat bahasa yang baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun