Tahun 2025 diprediksi penuh ketidakpastian ekonomi global. Hal ini dipicu oleh konflik geopolitik, proteksionisme negara maju yang mengganggu rantai pasok, serta kebijakan moneter ketat untuk mengendalikan inflasi. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS).
Menghadapi tekanan ini, berbagai negara mulai mengambil langkah, termasuk Indonesia. Pemerintah menjajaki negosiasi dengan AS lewat revitalisasi perjanjian dagang TIFA. Indonesia juga merencanakan pelonggaran aturan non-tarif, seperti relaksasi TKDN untuk sektor ICT (misalnya GE, Apple, Oracle, Microsoft), evaluasi izin impor, hingga percepatan sertifikasi halal.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, Indonesia juga akan menjaga keseimbangan neraca dagang dengan AS, salah satunya melalui pembelian produk pertanian dari negara tersebut. Pemerintah menyiapkan insentif fiskal dan non-fiskal untuk mendukung impor dari AS dan memperkuat daya saing ekspor.
Meski tantangan tinggi, ekspor produk unggulan Indonesia seperti pakaian dan alas kaki masih punya peluang besar. Produk-produk ini dikenakan tarif lebih rendah dibanding negara lain, dan Indonesia punya fleksibilitas untuk menjaga keseimbangan dagang karena surplusnya kecil dan ketergantungannya rendah.
Ke depan, pemerintah juga menyiapkan langkah jangka menengah, termasuk penciptaan lapangan kerja lewat industri padat karya, optimalisasi DHE SDA, pengembangan bisnis bulion, serta pembukaan akses pasar global lewat kerja sama IEU-CEPA, RCEP, IPEF, dan CP-TPP.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI