Guru, Orang Tua, dan Anak: Ketika Wibawa Pendidikan Mulai TerkikisÂ
Belakangan ini, media sosial ramai oleh sebuah video yang memperlihatkan seorang guru menampar siswanya karena tertangkap merokok di area sekolah. Perdebatan pun tak terhindarkan. Ada yang membela siswa, ada yang membela guru. Namun sesungguhnya, persoalan ini bukan hanya tentang tamparan, tetapi tentang makna pendidikan yang kian kabur di mata banyak orang.
Dalam kasus ini, fakta awalnya jelas: siswa melakukan pelanggaran. Guru menegur dengan cara yang keliru --- yakni dengan kekerasan fisik. Orang tua kemudian membela anaknya, seolah semua kesalahan berhenti di pundak guru. Padahal, ketika anak tidak lagi belajar menerima konsekuensi dari kesalahannya, di sanalah benih kesombongan mulai tumbuh.
Temuan dari survei kecil terhadap 17 responden memberikan gambaran menarik tentang cara pandang masyarakat terhadap kekerasan di sekolah:
76% responden (13 orang) menyatakan menampar murid adalah bentuk kekerasan yang tidak boleh dibenarkan.
Namun 82% responden (14 orang) juga menyatakan hukuman fisik ringan boleh dilakukan demi mendisiplinkan murid.
71% responden (12 orang) sepakat sekolah harus memberi sanksi tegas kepada guru yang melakukan kekerasan.
82% responden (14 orang) percaya tamparan berdampak buruk pada psikologis anak.
59% responden (10 orang) menganggap hukuman fisik di masa lalu adalah hal yang wajar.
Yang paling mengejutkan, 82% responden (14 orang) justru menyalahkan siswa dalam kasus penamparan, bukan gurunya.
Angka-angka ini menunjukkan paradoks: kita mengakui bahwa kekerasan itu salah, tapi masih memakluminya jika dianggap "niat baik untuk mendidik". Kita ingin anak-anak menjadi baik, tapi sering mengirim sinyal ganda --- menolak kekerasan, namun merelakan tamparan jika dianggap "pantas".