Ketimpangan ini bukan hal baru, dan bukan pula sesuatu yang terjadi secara alami. Ini adalah hasil dari struktur ekonomi global yang terbentuk selama puluhan tahun—yang menempatkan negara-negara berkembang sebagai penyedia bahan mentah dan tenaga kerja murah, sementara pusat-pusat kekayaan dan konsumsi berada di negara maju.
Dalam kerangka kapitalisme global, negara berkembang menjadi bagian dari rantai pasok yang panjang. Mereka memproduksi, tapi tidak menikmati nilai tambah yang sebanding. Keuntungan terbesar tetap berakhir di tangan perusahaan multinasional dan pemegang saham di negara-negara Barat.
Yang membuat situasi ini lebih rumit adalah lemahnya perlindungan hukum di banyak negara berkembang. Pemerintah sering kali lebih fokus menarik investasi asing dengan menawarkan “tenaga kerja kompetitif”—yang dalam banyak kasus artinya: murah dan tidak rewel. Regulasi ketenagakerjaan diabaikan, pengawasan longgar, dan suara buruh sering kali dibungkam.
Kasus Nike dan Eksploitasi Buruh di Asia Tenggara juga mencerminkan hal ini. Di negara-negara seperti Vietnam, Indonesia, dan Kamboja, Nike pernah diterpa isu besar terkait dengan eksploitasi buruh di pabrik-pabriknya. Pekerja, banyak di antaranya perempuan, sering kali dibayar dengan upah rendah dan bekerja dalam kondisi yang sangat buruk. Laporan pada tahun 1990-an mengungkapkan bahwa banyak pekerja di pabrik Nike yang mengalami pelecehan dan kekerasan, baik verbal maupun fisik, dengan minimnya perlindungan hukum dan keselamatan kerja.
Konsumen Sebagai Bagian dari Rantai
Di sisi lain, konsumen juga memiliki peran besar. Permintaan tinggi terhadap pakaian murah dan tren yang berganti cepat mendorong perusahaan terus menekan biaya. Konsumen, sering tanpa sadar, menjadi bagian dari siklus ini. Kita membeli karena murah, tanpa bertanya: siapa yang menjahit baju ini? Berapa jam mereka bekerja? Apakah mereka diperlakukan secara adil?
Namun, kesadaran mulai tumbuh. Gerakan slow fashion dan ethical fashion mulai menggema, terutama di kalangan anak muda. Konsumen mulai menyadari bahwa di balik kenyamanan dan gaya, ada dimensi etis yang tak bisa diabaikan. Merek-merek kecil yang transparan dalam proses produksinya mulai mendapat tempat, dan ini adalah awal dari perubahan yang lebih besar.
Shein, perusahaan asal Tiongkok yang kini mendominasi industri fast fashion, juga mencatatkan sejumlah masalah terkait dengan etika produksi. Dengan model produksi yang hampir tanpa kontrol dan bergantung pada tenaga kerja murah, Shein menjadi contoh ekstrem dari industri yang terus menekan biaya dengan mengorbankan hak-hak pekerja. Ketidakjelasan rantai pasok dan kurangnya transparansi dalam proses produksinya semakin memperburuk citra perusahaan ini.
Negara dan Peran yang Seharusnya Dimainkan
Selain konsumen, negara juga punya peran penting. Negara tidak bisa hanya menjadi fasilitator pasar atau pelayan investor. Negara harus hadir sebagai pelindung warga negaranya—terutama kelompok paling rentan seperti buruh. Kebijakan upah minimum, jaminan sosial, pengawasan ketenagakerjaan, dan transparansi rantai pasok harus ditegakkan, bukan hanya dijadikan slogan.
Negara juga perlu menegosiasikan ulang posisinya dalam sistem ekonomi global. Apakah kita hanya ingin dikenal sebagai negara dengan upah rendah? Atau kita ingin membangun kemandirian ekonomi yang menjunjung keadilan dan kesejahteraan pekerja?